SEBAGAI Negara berkembang, Indonesia menjadi Negara terbesar di Asia serta berpenduduk 5 besar di tingkat Dunia. Jumlah masyarakat Indonesia yang sangat besar, didorongnya pertumbuhan ekonomi dan pendidikan yang belum berimbang, menjadikan kualitas masyarakat Indonesia tentu tidak sempurna dalam melihat dan menilai sesuatu secara edukasi.
Perkembangan global yang menekan Indonesia dari segi ekonomi dipandang, memaksa Indonesia harus siapa bersaing tanpa persiapan dengan skala yang sangat besar. Hal ini tentu membawa Indonesia kearah Negara yang makin konsumtif bilamana Pemerintah tidak mempersiapkan Bangsa Indonesia menjadi mandiri dan kuat.
Pemilu Indonesia yang baru usai dilaksanakan menyimpan harapan agar Pemerintah kedepan mampu segera mempersiapkan Negara mengahadi situasi global (Asian Comunnity). Menelisik hasil sementara Pemilihan umum yang saat sekarang membuat masyarakat resah dengan peran media yang sangat tidak bermanfaat, tentunya menjadikan Indonesia makin tidak stabil.
Rasa saling curiga serta antipati yang muncul antar pendukung dimulai dari tingkat terkecil hingga ke tinggkat elite menjadikan konflik dini mulai bermunculan dinegari pancasila.
Dengan kondisi yang demikian, tentu bagaimana Indonesia mampu mempersiapakan diri bersaing ditingkat Internasional, jika konflik internal mulai mewabah. Ibarat bom waktu. Jika Pemerintah tak mampu menjinakkannya maka bom ini bisa meledak kapan saja.
Menerawang perjalanan bangsa Indonesia dimasa lalu yang beradab bahkan sangat santun dengan rasa tenggangnya (Tenggang Roso) yang menjadi sikap bangsa, nampaknya kini mulai memudar. Reformasi 98 ternyata tidak hanya merubah system ketatanegaraan Indonesia dari Non Demokrasi Parlementer menuju Demokrasi Parlementer. Namun, juga sedikit mengubah sikap bangsa yang beradab menjadi kurang beradab. Sikap tenggang rasa antara warga, mulai dari masyarakat menengah kebawah ataupun keatas tidak lagi mencerminkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang beradab.
Ini terlihat dari sikap masyarakat Indonesia secara Horizontal Masyarakat dan Vertikal Pemerintah. Hal ini tentu menjadi problematika bangsa. Dibutuhkan sosok pemimpin Indonesia yang dapat menjadi tauladan dan percontohan kader bangsa yang ikhlas.
Ketidak mampuan pemerintah saat ini dalam menata pendidikan yang santun dalam pembelajaran disekolah-sekolah membuat bangsa tumbuh dalam kemunafikan serta primordialistik yang belum sirna. Mulai dari sikap menanggapi pemilu, dirasa sikap keilhlasan tak terbangun dalam karakter seorang pemimpin, sehingga wajar bilamana bangsa ini sibuk dengan privasinya secara personal hingga daya memajukan bangsa ini menjadi lambat.
Jika hal ini terjadi, Indonesia sebagai Negara berkembang tentu tidak akan mampu untuk menjadi Negara maju dalam waktu singkat, namun sebaliknya. Dibutuhkan waktu yang lama dalam menata Indonesia berperadaban dan bukan tidak mungkin jika hal ini tidak kita laksanakan maka Indonesia akan terus nyaman menjadi Negara konsumtif terus menerus.
Dibutuhkan keikhlsan yang amat sempurna dalam menata negeri seribu budaya.
Keberagaman Indonesia hendaknya menjadi kekayaan, bukan menjadi sekatan negeri garuda ini. Rasa ikhlas dan mengaku kalah tentunya akan menumbuhkan nilai kenegarawanan dalam pribadi setiap kader bangsa, sehingga mata rakyat akan melihat dan meniru serta menginovasikan sikap ini menjadi sikap anak bangsa Indonesia yang santun khususnya dalam berdemokrasi.
Penulis: Ichsan, Wakil Sekretaris Jendral PB HMI Bidang Otonomi Daerah dan Ketahanan Nasional