Oleh: Khusnul Imanuddin*
RESMI sudah Presiden Jokowi menaikkan Harga BBM bersubsidi. Tanpa banyak berwacana, Presiden Jokowi menaikkan Harga BBM Premium sebanyak Rp.2000 rupiah menjadi Rp.8500 per liter. Kebijakan pengurangan subsidi ditengah anjloknya harga minyak dunia, harusnya membuat kita bertanya, siapakah udang di balik batu?
Pengurangan subsidi BBM sebenarnya adalah agenda lama pemerintahan SBY. Selain berhasil menaikkan harga BBM sampai Rp.6500 per liter, pemerintahan SBY juga pernah gagal untuk menaikkan harga BBM akibat kuatnya penolakan masyarakat. Pada masa itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengeluarkan buku putih yang salah satu isinya adalah menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Bahkan, politisi PDIP terlihat aktif turun ke jalan bersama massa untuk menolak rencana pemerintahan SBY. Namun kini, Presiden Jokowi yang didukung oleh PDIP ternyata melakukan kebijakan serupa SBY. Mengurangi subsidi BBM dan membuat program-program yang intinya memberikan uang tunai kepada masyarakat miskin. Sebuah lagu lama yang dinyanyikan oleh penyanyi baru.
Banyak pengamat yang sudah menganalisa, dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi adalah peningkatan inflasi, kenaikan harga bahan pokok, kenaikan ongkos transportasi, dan ujungnya adalah meningkatnya jumlah masyarakat yang akan di kategorikan sebagai orang miskin. Banyak pengamat tersebut tidak mampu melihat dampak lain yang lebih mengerikan. Yakni tersingkirnya pribumi dari bisnis SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum).
SPBU yang menguasai bisnis bahan bakar adalah SPBU Pertamina, karena mempunyai SPBU Pertamina menyediakan BBM Bersubsidi yang harganya lebih terjangkau. Sementara SPBU merek asing (Shell, Total, Petronas, dll) tidak mempunyai BBM yang mendapatkan subsidi, sehingga harganya jauh lebih tinggi dari harga Premium di SPBU Pertamina. Akibat kondisi ini, SPBU Asing tak pernah terlihat seramai SPBU Pertamina. Bahkan banyak yang gulung tikar akibat sepinya dagangan.
Bisnis SPBU atau bisnis bahan bakar adalah bisnis yang sangat besar. Secara kasar bisa kita hitung, jika kebutuhan bahan bakar adalah 46 juta kiloliter (kuota BBM Bersubsidi) dikalikan harga Rp. 6500, maka potensi pasarnya mencapai Rp.300 triliun. Apalagi jika harganya Rp.8500 per liter, potensi pasarnya sangat lah besar. Selama ini SPBU Pertamina dikelola dengan beberapa sistem, diantaranya ada yang dimiliki dan dioperasikan langsung oleh pertamina, ada pula yang dimiliki dan dioperasikan langsung oleh pengusaha (pribumi). Dengan sistem tersebut, potensi pasar yang sedemikian besar tidak ‘bocor’ keluar negeri. Bahkan dari BBM yang disubsidi pemerintah, para pengusaha pribumi dan karyawannya tetap mendapatkan rupiah yang sangat besar.
Sampai hari ini Haji Hamid, Haji Haryadi, Haji Marzuki dan Haji-Haji lainnya telah sanggup menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi karena mendapat laba dari SPBU yang dikelola sendiri, begitu juga karyawannya telah merasakan kesejahteraan karena bisa bekerja di perusahaan pribumi, dan ini sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 bahwa kekayaan alam dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk mensejahterakan rakyatnya (tentunya dalam hal ini pribumi)
Pencabutan subsidi BBM di Indonesia adalah sesuatu yang sangat ditunggu-ditunggu oleh para pengusaha bahan bakar minyak dunia. Sejak zaman SBY sampai Jokowi, bahkan sampai kapanpun, para pengusaha bahan bakar minyak dunia akan terus menunggu (secara pasif maupun aktif) subsidi BBM dicabut sepenuhnya. Saat itu terjadi, maka BBM yang dijual di SPBU Pertamina maupun SPBU Asing (Chevron, Exxon, Total, Petronas, dll) akan berkompetisi dalam harga yang relatif sama. Bahkan SPBU Asing justru punya kemampuan lebih besar untuk menekan harga supaya lebih murah dibandingkan SPBU Pertamina. Modalnya adalah kepemilikan sumur minyak yang lebih banyak dibandingkan pertamina, pastilah ongkos produksinya lebih murah ketimbang Pertamina yang selalu kekurangan minyak. Selain harga lebih murah, kemungkinan lain adalah pelayanan yang lebih maksimal pada pembeli akan membuat pembeli BBM akan beralih dari SPBU Pertamina ke SPBU Asing (Shell, Total, Petronas, dll).
Saat hari itu tiba, Pak Haji akan gigit jari melihat SPBU-nya sepi, sementara SPBU milik David Reilly (Chevron), Rex Tillerson (Exxon), Tengku Razaleigh (Petronas) penuh sesak sampai mengantri. Ini bukan cerita khayalan, hal serupa sudah terjadi pada bisnis retail yang lain, dimana banyak toko kelontong yang tutup akibat tak kuat bersaing dengan minimarket modern yang menawarkan harga lebih murah, ruang ber-AC, full musik, dan sejuta kelebihan pelayanan lainnya. Dampaknya bukan hanya ‘Pak Haji’ yang merugi, tetapi rupiah akan semakin banyak yang lari keluar negeri.
Entah apa yang ada di benak Presiden Jokowi. Entah siapa yang berhasil mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut subsidi BBM tak sampai sebulan sejak beliau menjabat Presiden. Kita harus mengecam, kita wajib mengkritik keras. Bagaimana mungkin Presiden Jokowi lebih memilih membantu bisnisnya David, Rex Tillerson ataupun Tengku Razaleigh, dan menyingkirkan Haji Hamid, Haji Haryadi, Haji Marzuki dari bisnis di negerinya sendiri. (*)
*Penulis adalah Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIY