Oleh: Ainur Rifqi*
MEMBAHASAKAN cinta adalah pekerjaan subjektif dan relatif, sekaligus hasilnya hanya akan bersifat abstrak. Mengapa demikian, karena cinta adalah ekspresi diri pribadi yang bisa saja berbeda bentuk dan polanya antara satu pribadi dengan pribadi lainnya. Oleh karena itu, kiranya benar jika kemudian Ibnu Hazm menyatakan bahwa cinta tidak dapat dibahasakan kecuali oleh orang yang merasakannya. Dan yang pasti, jika sudah demikian, tidak akan pernah ada kata sepakat tentang definisi cinta. Karena akan selalu berbeda-beda. Membahasakan cinta laksana berupaya mendefinisikan rasa manis, pahit, asin dan yang semacamnya. Mustahil ada sebuah ungkapan yang dapat mewakili pendefinisian rasa-rasa tersebut. Definisi yag tepat untuk rasa-rasa itu adalah dengan cara merasakannya dan mencicipinya langsung. Maka demikian pula dengan cinta tidak akan ada kata yang tepat untuk mewakili definisi cinta kecuali dengan merasakannya.
Namun, Ibnu Al-Qoyyim mencoba mendekatkan pendifinisian cinta dengan mengungkapkan beberapa definisi cinta seperti yang diutarakan para pencinta. Ada puluhan definisi yang beliau nukil dari para pencinta. Diantara definisi yang beliau ambil adalah “cinta merupakan kesetiaan dan ketaatan pencinta terhadap sang pujaan, baik dalam nyata ataupun dalam tiada”. Gagasan ini selaras dengan sebuah syair yang diutarakan oleh seorang pujangga, “jika cintamu memang jujur niscaya engkau akan mentaati yang engkau cinta”.
Kemudian, kita ketahui bahwa setiap sesuatu yang terjadi itu pasti ada sebabnya. Tapi bagi timbulnya cinta tidak ada yang namanya “sebab”. Bahkan dalam buku ini dijelaskan jika kita punya alasan atau sebab dalam mencintai seseorang itu masih belum dinamakan cinta yang sesungguhnya. Karena ketika kita mencintai kekasih kita ada sebabnya, misalkan karena kecantikan, kekayaan, pangkat, keturunan atau yang lainnya, maka cinta kita itu akan lekang seiring dengan lekangnya ketampanan atau kecantikan, atau yang lainnya.
Bahkan, yang lebih ekstrim dari itu pendapatnya Yahya bin Mu’ad, menurut beliau, cinta sejati adalah cinta yang di samping tidak didasari sebuah sebab, juga tidak memandang kelebihan dan kekurangannya, meskipun hanya bertepuk sebelah tangan. (Ar-Risalah Al-Qusyairi : 322). Tetapi harus diakui kadang juga cinta bersemi dengan adanya sebab yang mengawali. Baik itu kecantikan, nafsu atau lainnya. Tapi pada akhirnya jika seseorang benar-benar mencintainya dan ingin memiliki, maka “sebab-sebab” tersebut akan hilang dan menjadi cinta yang tak memiliki sebab (cinta yang hakiki).
Nah, ketika seseorang telah memiliki cinta yang hakiki/sejati. Maka kita wajib menjaganya agar tidak musnah diterpa angin. Buku yang diterbitkan Kitabah Press ini berupaya memberikan konsep-konsep yang harus dimiliki oleh dua mempelai. Pertama, ketaatan. Lumrahnya, seseorang senantiasa mentaati apa yang diminta dan diperintah oleh sang pujaan hati.
Bahkan, melaksanakan apa yang diperintah oleh kekasih merupakan kenikmatan yang tak terperikan. Bukan karena pekerjaan atau sesuatu yang diperintah oleh kekasih itulah yang menjadi sumber kenikmatan. Namun, ruh titah agung yang bersembunyi di balik pekerjaan yang diperintah kekasih itulah yang membuat kita merasakan kenikmatan yang luar biasa. Sehingga perintah tersebut berubah substansi menjadi pelipur lara dan penyejuk dahaga jiwa. (hal. 18)
Kedua, selalu diingat. Jika kita selalu terbayang oleh sosok seseorang, berarti sudah tertanam cinta di kalbu kita. Hadirnya seorang kekasih dalam angan merupakan kenikmatan yang luar biasa. Maka jangan heran kepada orang yang lagi jatuh cinta jika berlama-lama merenung; terlena oleh hadirnya sang kekasih.
Ketiga, cemburu. Cemburu merupakan tanda dengan adanya cinta. Ketika seseorang tidak merasakan kecemburuan maka cintanya tersebut perlu dipertanyakan. Cinta atau tidak?. Maka jangan terlalu dipikirkan ketika kita bertengkar hanya karena kecemburuan. Karena di balik kecenmburuan tersebut tersimpan rasa cinta dan sayang yang mendalam dalam hatinya.
Kemudian, ketika prinsip-prinsip di atas telah terlaksana, maka naungilah cinta kita dengan tabir-tabir islami. Karena rasa cinta itu sangat mulia dan agung. Namun, perlu diketahui bagaimana cinta yang agung? yang selaras dengan ajaran-ajaran Islam?
Dalam buku ini tak hanya menulis tentang makna cinta, tanda-tanda cinta. Namun, Muhammad Hasan juga mengungkapkan mengenai keagungan cinta. Bagaimana cinta yang agung—yang kemudian cocok dengan yang dimaksud oleh Rasulullah?. Penulis buku ini, di dalam mengartikan cinta yang dimaksud diagungkan oleh Rasulullah adalah cinta yang bisa diaffahkan (menjaga kesucian cintanya). Yang dimaksud seorang pencinta dikategorikan mengaffahkan cintanya ialah mereka yang tetap menaruh cinta dalam ‘lemari syari’at’, akan tetap menghiasinya dengan ‘bunga Qur’ani’, dan mengharumkan dengan ‘parfum sunnah nabawi’ (hal. 8). Sempat Rasulullah bersabda bahwa barang siapa yang mengaffahkan cintanya dan kemudian ia mati maka orang itu akan masuk surga. Betapa mulia derajat orang yang menjaga cintanya. Tapi kemudian apakah bisa para muda-mudi saat ini akan menjaga cintanya—di kala lingkungan saat ini telah mulai tak berujung? yang mana pemuda saat ini sudah mulai tidak bisa menahan nafsu mereka. Bahkan Sarlito Irawan, Guru Besar Universitas Indonesia, pernah melakukan penelitian terhadap pelajar dan maha siswa di kota-kota besar, dari 1000 responden 50,05 persen sudah melakukan hubungan seksual. Dengan peristiwa demikian maka ada sedikit kekhawatiran terhadap pemuda saat ini, khawatir mereka tidak kuat dengan ajakan setan. Namun, kekhawatiran itu akan hilang nanti ketika kita bisa mengupayakan para pemuda-pemudi sekarang tetap berpegangan terhadap syariat. Karena Allah nanti akan menaungi mereka yang mensucikan cintanya. Dalam janji tuhan ini perlu digaris-bawahi bahwa mereka yang akan mendapatkan naungan dari Allah adalah orang-orang yang lillah wa fillah.
Kita tiru kisah nabi Yusuf AS. yang berhasil menjaga cintanya. Bahkan Allah SWT. menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa kisah nabi Yusuf adalah kisah terindah. Mengapa kemudian Allah mengklaim kisah nabi Yusuf sebagai kisah terindah?, karena kita ketahui bahwa beliau telah bisa mengaffahkan cintanya. Bayangkan saja, Yusuf yang masih muda perkasa, gelora kepemudaannya sedang mencapai puncaknya, diajak bahkan dipaksa oleh seorang permaisuri yang cantik dan jelita, pujaan semua orang saat itu, Siti Zulaikha. Tetapi dengan keadaan seperti itu Yusuf tetap menjaga mahabbahnya, sehingga Allah memuji dalam Al-Qur’an dengan mengaffahkannya.
Jika kita ingin berada dalam naungan Allah SWT. maka, timbulkan dalam hati bahwa ‘saya harus bisa menjaga cinta yang saya miliki, dan jangan pernah mendekati seorang perempuan yang kita cintai sebelum menjadi halal (nikah), karena orang ketiga ketika kita berada dengan seorang perempuan adalah setan’. Jika ada kekasih kita meminta menggandeng tangannya, menciumnya, bahkan sampai meminta mengecup bibirnya maka, ketahuilah bahwa cinta yang dimiliki kekasih kita itu bukanlah cinta yang hakiki. Ia hanya mensyahwati kita saja. Affahkan cinta kita dengan menolaknya. Tunjukilah ia kepada jalan yang benar. Jika kita telah memiliki prinsip demikian maka kita akan gagal akan menjadi anak asuh setan. Dan otomatis kita akan mendapatkan naungan di sisi-NYA kelak.
Dalam buku ini, memang sangat kontekstual sekali Muhammad Hasan di dalam menulis bukunya yang berjudul “Tafakkur Cinta” ini., maka kiranya sangat cocok dibaca oleh para pecinta. Khususnya para pemuda-pemudi dewasa ini yang seakan tiada hari tanpa cinta. Semboyan hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga benar-benar telah mewarnai kehidupan mereka. Sekali lagi, buku ini hadir untuk turut serta menjadi pegangan hidup muda-mudi yang sedang asyik dengan cinta. Selamat membaca!
Data Buku
Judul Buku: Tafakkur Cinta
Penulis: Muhammad Hasan
Penerbit: Kitabah Press
Tebal: 126 Halaman
ISBN: 979-17199-7-7
* Presensi adalah Ketua Perpustakaan PP. Annuqayah Lubangsa Selatan sekaligus alumni Tarbiyatus Shibyan Jadung Dungkek Sumenep