Sepanjang 2015 Terjadi Tren Vonis Ringan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta

YOGYAKARTA – Dalam catatan Jogja Corruption Watch (JCW), berdasar hasil pantauan langsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Yogyakarta, terjadi tren vonis ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor) pada tahun 2015.  

“Hal ini menggambarkan bahwa kinerja institusi pengadilan Tipikor Yogyakarta belum maksimal dalam menghukum para terdakwa yang terlibat dalam tindak pidana korupsi,” ujar Koordinator Divisi Pengaduan Masyarakat JCW, Baharuddin Kamba dalam keterangan pers kepada wartawan, Selasa (29/12/2015).

Menurut Baharuddin, belum maksimalnya kinerja putusan dari pengadilan Tipikor selain tampak dalam bobot vonis hakim yang rendah, juga tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ringan terhadap terdakwa.

“Selanjutnya juga pemberian remisi bebas kepada kedua narapidana dalam kasus SUTET di Bantul, yang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 70 tahun pada bulan Agustus 2015 lalu. Kecenderungan pengadilan Tipikor menghukum ringan pelaku korupsi terlihat dari banyaknya terdakwa korupsi yang dihukum kurang dari 2 hingga 4 tahun penjara,” tukasnya.

Baharuddin mencontohkan misalnya untuk Ketua Harian Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) Kota Yogyakarta dalam kasus korupsi di tubuh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Yogyakarta, yang divonis hanya satu tahun penjara, sementara tuntutan JPU hanya satu tahun enam bulan. Selanjutnya vonis terhadap Ketua KONI Kota Yogyakarta juga divonis ringan oleh hakim majelis Pengadilan tipikor dengan hanya satu tahun, lebih ringan enam bulan dari tuntutan JPU.

Vonis ringan juga dialami oleh Direktur PT Aulia Trijaya Mandiri dan mantan Bendahara Persiba Bantul yakni masing-masing hanya divonis satu tahun enam bulan. Vonis yang diterima oleh Direktur PT Aulia Trijaya Mandiri ini hanya lebih ringan enam bulan dari tuntutan JPU. Sementara vonis yang diterima oleh mantan Bendahara Persiba Bantul tidak ada bedanya dengan tuntutan JPU yakni satu tahun enam bulan. Vonis ringan yang dijatuhkan juga dialami oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta yakni satu tahun enam bulan lebih ringan enam bulan dari tuntutan JPU yakni dua tahun.

“Tak sedikit pula penjatuhan pidana denda yang rendah. Selain pidana pokok berupa pidana penjara, Pasal 10 Ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang pidana denda. Dalam konteks penjeraan, kombinasi hukuman penjara dan denda dimaksudkan untuk menghukum pelaku korupsi seberat-beratnya guna memberikan efek jera. Sayangnya, fakta berbicara sebaliknya. Karena kebanyakan denda yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta yang diambil adalah yang minimal yakni Rp 50 juta,” tandasnya.

Dikatakan Baharuddin, penjatuhan pidana denda dalam kacamata UU Tipikor masih tergolong ringan. Padahal, kata dia, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menetapkan batas maksimum denda sebesar Rp 1 miliar. Ironisnya, hakim tipikor lebih memilih untuk menjatuhkan pidana denda yang paling ringan ketimbang membebani terdakwa dengan pidana denda berat. Selain itu, Bahar juga menyayangkan jaksa selaku penuntut umum tidak maksimal dalam melakukan penuntutan.

“Pada tahun 2015 ini, rata-rata tuntutan oleh penuntut umum dalam perkara korupsi di Pengadilan tipikor Yogyakarta maksimal empat tahun penjara. Itupun tidak banyak. Begitu pula dengan putusan maksimal hanya empat tahun, misalnya yang dialami oleh terdakwa Hendrawan alias Hendi yang divonis empat tahun penjara,” imbuhnya.

Baharuddin juga menyoal adanya disparitas dalam putusan pidana denda. Misalnya, kata dia,  terdakwa didenda sebesar Rp 50 juta, dengan subsider pidana kurungan hanya antara satu bulan hingga tiga bulan kurungan.

“Dengan subsider kurungan yang rendah, maka bisa jadi para terpidana lebih memilih subsider kurungan tersebut daripada membayar denda yang dijatuhkan,” pungkasnya. (kt1)

Redaktur: Rizal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com