YOGYAKARTA – Belakangan ramai pembicaraan soal konsep negara bangsa (nation state) kembali menghangat. Banyak tokoh mengemukakan pendapatnya, bahkan sebagian sudah banyak yang mengamini dan berpendapat bahwa dasar negara harus ditinjau ulang kembali. Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Sekjen-PB NU) Dr. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini saat menjadi pembicara dalam bedah buku ‘Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan RI’ Dr. Sri Yunanto, M.Si., yang diselenggarakan Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara (PSPBN) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Gedung Prof. RHA. Sunaryo Lt.1 UIN Sunan Kalijaga, Selasa (31/10/2017).
“Dalam hemat saya, fase ini merupakan sebuah kemunduran. Jika kita kembali pada perdebatan tentang dasar negara, berarti kita bukan saja tidak maju malah sebaliknya kita mengalami kemuduran yang sangat signifikan, bahkan menyedihkan,” ungkapnya dalam acara bedah buku yang dibuka oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA, P.hD.
Menurut Helmy, sebagaimana dikatakan Presiden RI ke 4, KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) bahwa nasionalisme yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional (muahadah wathoniyah).
“Kesadaran nasionalisme ini dalam hemat saya merupakan suara dan gerakan yang muncul dari dalam nurani bangsa Indonesia. Nasionalisme bangsa kita bukan lahir dari hapalan serangkaian teori rumit tentang konsep kebangsaan, kontrak sosial, dan sebagainya. Sebaliknya nasionalisme itu tulus lahir dari rasa memiliki dan mencintai ibu pertiwi,” imbuhnya.
Diceritakan Helmy, hubbul wathan minalīmān (Mencintai Tanah Air Sebagian dari Iman) yang dicetuskan oleh hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari bukanlah konsep muluk-muluk yang lahir dari hasil penelaahan teroretik serta kajian akademik tentang konsep berbangsa dan bernegara.
Dalam pada itu, menurut Helmy, sesungguhnya diktum hubbul wathan minalīmān itu merupakan sublimasi pemikiran ulama yang diambil dari perbagai dasar pijakan dalil. Salah satunya adalah sebagaimana diambil dari QS An-nisa: 66.
“Bahwa mencintai dan membela tanah air itu tidak memiliki landasan dalil yang bersifat teologi, dalam hemat saya, merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Bahkan pada tahap tertentu, ia menjadi sangat membahayakan,” kata Helmy yang dalam bedah buku dipanelkan dengan Guru Besar UIN Sunan Kaliga, Prof. Dr. Muhammad Chirzin.
Masih menurut Helmy, meminjam tesis KH. Said Aqil Siroj (2016), Indonesia sangat beruntung memiki jenius-jenius ulama yang bertipologi nasionalis. Ulama atau ahli agama yang nasionalis, kata dia, bisa menjadi pelecut serta pemantik tumbuhnya semangat mencintai tanah air.
“Profil ulama seperti ini hanya ada di Indonesia. Di belahan bumi manapun, bahkan di Negara-negara Arab dan mayoritas Timur Tengah, kita tidak akan menemukan profil ulama yang memiliki semangaat nasionalisme yang tinggi,” ujarnya.
Dalam sejarahnya, menurut Helmy, sikap nasionalisme NU ditunjukkan ketika isu pendirian Darul Islam (DI/TII) yang dipimpin oleh Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo sedang ramai-riamanya, NU mengeluarkan keputusan bahwa Presiden Soekarno merupakan waliyyul amri ad dhoruri bis syaukah (pemimpin darurat yang sah).
“Keputusan ini diambil melalui diskusi intens para ulama dalam kurun rentang 1952-1954. Keputusan tersebut memiliki dampak yang sangat luar biasa. Selain mendelegitimasi pengakuan dan klaim Kartosowirjo, keputusan ini juga mampu meredam gejolak yang ada, menaikkan legitimasi Presiden Soekarno dan juga sekaligus menyatakan bahwa umat Islam, utamanya NU, tetap setia dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan yang sedang berkuasa,” bebernya.
“Melihat pegalaman yang ada, proses ‘menjadi Indonesia’ yang telah kita lalui bersama, saya sangat menyayangkan jika kemudian kita harus kembali mundur ke belakang memperdebatkan bentuk Negara serta sistem pemerintahan yang tepat bagi bangsa yang kita cintai ini. Bentuk negara kita sudah final,” tutup Helmy Faishal Zaini.(kt1)
Redaktur: Rudi F