Oleh: Alwi Husein Al-Habib
Tidak dapat dipungkiri bahwa cinta datang kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa salah satu penyebab jatuh cinta adalah karena adanya daya tarik fisik. Ketertarikan itu akan semakin bertambah apabila terdapat kesamaan. Sher dalam teori assortative matting menyatakan bahwa orang dapat jatuh cinta karena terletak kesamaan di antara keduanya.
Manusia dan cinta adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Meski demikian, mendifinisikan cinta adalah sesuatu yang sulit. Berbeda dengan Bowning yang menyatakan bahwa cinta itu bersifat subjektif. Antara satu dengan lainnya memiliki pemahaman yang berbeda tentang cinta. Sebab ia sangat tergantung dengan pengalaman dan perasaan individu.
Salah satu alasan terbentuknya perasaan cinta adalah tingginya intensitas pertemuan. Psikoterapis dari South Carolina, Tina Tessina, Ph.D mengungkapkan, berinteraksi dengan lawan jenis setiap hari, membantu ketika kesusahan, memberi motivasi ketika sedang dilanda keterpurukan, dan merayakan keberhasilan pada hasil pencapaian adalah potongan-potongan momen yang mempercepat proses terjalinnya cinta.
Alasan lain yang membuat orang jatuh cinta adalah kesamaan nasib atau ada kesamaan-kesamaan lainnya. Perkara-perkara di internal pengurus komisariat HMI bisa menjadi bahan diskusi yang menarik. Khususnya bagi mereka yang berada pada satu kepengurusan atau satu bidang yang sama. Kesamaan akan mudah ditemukan.
Persamaan aktifitas yang dijalankan bersama pada akhirnya menciptakan kenyamanan. Hal tersebut menjadi wajar bila profesionalisme kerja organisasi beralih menjadi jalinan relasi yang romantis.
Relasi romantis tersebut mesti dibatasi. Profesionalisme kerja haruslah tetap dijunjung tinggi. Apakah relasi romantisme tersebut berdampak kepada produktivitas kerja? Sebuah rangkuman penelitian Anderson dan Hunsaker (1985) menyatakan bahwa produktifitas menurun karena banyak jam yang dihabiskan untuk bersama. Khususnya relasi romantis antara atasan dan bawahan lebih mungkin mengakibatkan penurunan produktivitas dibanding relasi romantis dengan teman sebidang.
Penurunan produktifitas tersebut diyakini hanya beberapa saat saja, yakni ketika awal menjalin relasi romantisme. Namun, ketika sudah memasuki tahapan berikutnya, maka pruduktifitas kerja dan profesionalisme akan stabil kembali bahkan mengalami peningkatan.
Ada hal yang perlu dipertimbangkan saat membangun relasi romantisme teman kerja di dalam sebuah organisasi. Yakni kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, baik antar kader HMI maupun dengan pengurus lainnya. Masalah produktivitas juga mesti dipertimbangkan. Sebab kemajuan organisasi lebih penting ketimbang relasi romantisme pribadi. Menentukan fokus dan prioritas juga menjadi satu hal yang wajib dipertimbangkan.
Siska Wulandari (2014) lebih menyetujui hubungan positifisme ketimbang hubungan romantisme. Sebab, hubungan positif antar sesama pengurus akan menciptakan aktifitas yang lebih produktif, membangun, dan memuaskan. Sebagai contoh adalah saling support antar pengurus dan ketua umum yang bijaksana.
Hubungan cinta di kepengurusan yang berakhir buruk juga memperhambat laju kaderisasi. Susanana pengurus akan menjadi lebih canggung dan kaku. Apalagi di HMI banyak agenda yang memerlukan waktu duduk bersama, misalnya raker, upgrading, dan RAT. Maka dari itu, semua efek cinta yang berakhir buruk haruslah matang-matang dipikirkan sejak awal.
Cinta memang sulit untuk dihindari. Apalagi kepada orang yang setiap saat bertemu. Hal yang harus ditekankan bila cinta itu sudah merasuki adalah mesti dapat memisahkan masalah pribadi dengan masalah organisasi. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada yang menyebabkan atmosfer berorganisasi menjadi ganjil dan tidak menyenangkan.
Bersikaplah sewajarnya ketika sedang cinta atau luka. Perubahan sikap yang drastis akan sangat berpengaruh terhadap proses kaderisasi. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada reputasi.
Tidak ada putus cinta yang tidak membawa luka. Namun, bila kesedihan tersebut terus berlarut akan berpengaruh terhadap produktifitas atau kinerja dalam berorganisasi. Kader HMI mesti dapat menyeimbangkan emosi negatif dengan selalu berfikir positif dan rasional. Mengutip perkataan David Maister, “Professional is not a label you give yourself, It’s description you hope others will apply to you”. Wallahu a’lamu bi al-shawwab. (*)
*Penulis adalah aktivis HMI, mahasiswa UIN Walisongo Semarang,