Oleh: Mohamad Safii*
Dalam budaya politik sebuah masyarakat dibagi dalam tiga klaster. Yang pertama parokial, yang kedua kaula, dan yang ketiga partisipan. Ketiga ini sangat menentukan kemajuan dari sebuah masyarakat atau menjadi masyarakat madani. Masyarakat parokial ialah masyarakat yang masih acuh ta acuh dalam sebuah acara politik atau tingkat partisipasi sangat rendah. Biasanya masyarakat dalam klaster parokial tinggal di pedesaan dan dari segi ekonomi, maupun sosial rendah. Yang kedua, masyarakat kaula tergolong pada klaster yang ekonomi cukup baik atau sosialnya. Namun masyarakat kaula tergolong pasif dalam partisipasi poliitk. Yang ketiga, masyarakat partisipan tergolong masyarakat yang dari segi ekonomi, sosial baik dan aktif dalam partisipasi politik.
Untuk menuju masyrakat madani, setidaknya membangun budaya politik yang berklaster partisipan. Akan tetapi dalam proses ini tentu tidak mudah, perlu adanya kebijakan yang visioner dan radikal untuk merefeshnya. langkah awalnya adalah memilih pemimpin yang berkemampuan atau para pengambil kebijakan yang tidak mendzolimi kebenaran. Kenapa yang menjadi letak pertama seorang pemimpin bukan masyarakat total, seorang pemimpin akan menentukan dari seluruh atau total masyarakat. Maka dari itu perlunya seorang pemimpin yang mempunyai visi, misi, planning, dan akhlak yang baik. Baru kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak mendzolimi kebenaran serta berpihak kepada masyarakat.
Untuk memilih pemimpin yang tidak mendzolimi kebenaran, perlu pendidikan politik yang bersifat masif dan mengakar kebawah, menganyam kesamping, dan mengikat keatas. Pendidikan politik tidak hanya bersifat kekanak-kanakan “tidak serius” pendidikan politik didasari pada kesadaran fundamental yang bertujuan terwujudnya masyarakat yang berwawasan kedepan dan menghasilkan pemilih yang rasional bukan irasioanal.
Di tahun 2020 ini menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang berakhlak, tidak akhlaknya dibuat pencitraan sehingga menghasilnya citra religius. KPU, BAWASLU dan beberapa stakeholder lainnya harus memfokuskan pendidikan politik agar masyarakat tahu mana calon pemimpin benar dan mana calon pemimpin yang bengkok.
Sejauh ini pendidikan politik hanya bersifat magang atau ada pas musim pemilu. Pendidikan politik harus tetap ada baik ada atau tidaknya pemilu guna membangun masyarakat yang berbudaya politik partisipan. Pemerintah harus hadir lebih fundamental untuk membangun pemilih rasional yang lebih memfokuskan pada progam, tujuan, serta tidak mendzolimi kebenaran.
Dalam politik elektoral menjelaskan elektabilitas pasangan calon dibagi menjadi tiga model sosiologis, psikologis dan pemilih rasional atau rational choice. Inti dari model sosiologis adalah kesamaan karakteristik sosial menentukan pilihan politik. Model psikologis menyatakan prefeerensi politik tidak ditentukan oleh variable sosilogis demografis, tapi oleh faktor-faktor psikoligis (kepribadian). Sedangkan rational choice justru lebih mementingkan progam atau isu-isu teknokratik dalam menjelaskan paslon.
Maka dari itu pemilih harus melihat ukuran lainnya elektabilitas calon juga bisa ditentukan oleh kualitas personal serperti seberapa jujurnya calon, seberapa bersihnya calon dari korupsi, memperhatikan rakyat, tegas dan berwibawa serta berpenampilan menarik sehingga membangun citra di masyarakat baik.
Jika kita mengesampingkan atau tidak mengukur kualitas calon pemimpin maka wajah perpolitikan akan tampak semakin keluar dari tujuan bersama, wajah politik menjadi ajang pragmatisme, menguasai dan memperkaya diri. Parahnya wajah perpolitikan negara kita yang demokrasi akan dikausi sekelompok orang dengan serakus-rakusnya yang bernalar dzolim dalam kebenaran.
Biasanya kelompok seperti ini mudah kita temui baik kita lihat di TV, atau bahkan sekitar kita. Perlu bukti? Baik saya akan memberikan bukti pendek. Kelompok ini akan mudah berpindah haluan dalam dinamika politik yang kemarin sangat kotra pada rivalnya lalu mendadak dalam lingkaran dan menghilangkan pada yang kemarin ia kontrakan hanya karena di beri kursi empuk dan melupakan kebenaran masyarakat yang ia emban.
Ini jelas pemandangan politik yang memilukan hati. Marwah politik, kebenaran, amanah rakyat menjadi dadu yang sewaktu-waktu diputar dan menjadi taruhan. Semuanya itu mengurai pada narasi “di politik tidak ada kawan, lawan, guru, murid atau keluarga yang ada hanya kepentingan”. Seharusnya kita mempertnyakan pada mereka, mau dibawa kemana negara dan marwah politik negara pancasila ini. Jika pada saat pemilu ada narasi vox populi vox dei “suara rakyat suara tuhan” apakah itu semua Cuma kepentingan. Lalu buat apa ada sumpah atas nama agama, tuhan, dan diatas kitab suci jika kebijakanya hanya bersifat kepentingan dan mendzolimi kebenaran.
Perlu kita sadari dan renungi bahwa wajah perpoltikan kita hari ini cukup tragis dan miris. Maka dari ini kita pemilih harus mengedepankan rasional kita dalam menentukan calon pemimpin kita. Di PILKADA 2020 penulis mengajak pada seluruh masyarakat indonesia agar memilih pemimpin yang visioner, progamnya jelas, tidak korup, berakhlak, dan yang ditakuti hanya satu yaitu Tuhan. Penulis sadar bahwa ia masih dalam tahap menentukan calon pemimpin yang ideal, dan penulis juga masih sadar bahwa ia dalam proses pembentukan yang ideal.
“Salah Satu Resiko Menolak Berpartisipasi Dalam Politik adalah Kamu Akan Dipimpin Oleh Orang-Orang yang Lebih Rendah Derajatnya Dibanding Kamu Sendiri” ~Plato. (*)
*Penulis adalah mahasiswa ilmu politik Unwahas Semarang