Oleh: Muhamad Irsad Satriya
Setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik atau buruk. Apabila berbuat baik, maka imbalannya adalah kebahagiaan (surga). Sedangkan berbuat buruk maka balasannya adalah siksa (neraka). Kebaikan dan juga keburukan ini lahir dari berbagai faktor baik dari internal maupun eksternal.
Dalam hal ini, keburukan dalam diri manusia memunculkan sifat-sifat yang serupa. Secara turun temurun sifat-sifat baru itu mendukung pada kesesatan dan kedzaliman. Diantara sekian sifat buruk manusia, malas adalah salah satunya.
Malas merupakan suatu sifat dalam diri manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) malas adalah tindakan tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu atau segan. Menurut Edy Zaques, rasa malas diartikan sebagai suatu keengganan seseorang untuk melakukan sesautu yang seharusnya atau sebaiknya dilakukan. Beberapa sikap yang termasuk malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, suka menunda-nunda dan lain-lain.
Apa penyebab seseorang menjadi malas?
Berdasarkan penelitian para ahli, ada beberapa faktor yang menyebabakan timbulnya rasa malas. Menurut Philip G. Zimbardo dan Scott Foresman dalam buku Psychology of Life, kemalasan memiliki dua bentuk. Pertama, kemalasan yang bersifat sementara. Kedua, kemalasan yang bersifat akut.
Kemalasan yang sementara merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh faktor luar atau eksternal diri seseorang. Biasanya hal ini menjangkit hampir setiap orang. Sebagai contoh, seorang siswa SMP malas berangkat sekolah karena tak menyukai pelajaran Fisika. Atau contoh lain, seorang karyawan perusahaan malas berangkat bekerja karena merasa memiliki gaji yang kecil.
Sedang kemalasan akut berbeda dengan kemalasan yang sementara. Ia ternyata lebih berbahaya dari yang sementara. Sebab sifatnya menetap dan sukar disembuhkan. Bahkan jika dimotivasi pun belum tentu bisa keluar dari kemalasan. Contoh, seorang karyawan malas pergi ke kantor. Meski ia dimotivasi dengan gaji dalam jumlah besar, ia tetap malas saja dalam bekerja. Hidupnya hanya untuk hal yang serba instan dan pragmatis.
Karena itulah, para ahli bekerja keras untuk meneliti sifat kemalasan ini. Ahli Psikologi dari Universitas Oxford melakukan penelitian tentang malas. Mereka mencoba menguraikan apa perbedaan antara orang malas dengan yang bukan malas.
Penelitian ini menggunakan pemindaian magnetic Resonance maging (MRI) untuk mempelajari gelombang otak di dalam 40 sukarelawan. Dalam percobaan itu, peneliti memberikan pesan agar mereka (sukarelawan) memutuskan melakukan sesuatu hal karena ada hadiahnya.
Dan hasil penelitian menunjukan bahwa korteks pre-motor dari otak pemalas cenderung lebih terang dibanding korteks pre-motor orang yang rajin. Para peneliti menjelaskan bahwa otak pemalas menunjukan bahwa mereka harus bekerja sangat keras. Dan ini berbanding terbalik dengan orang rajin karena mereka sudah terbiasa dan tidak mengalami lonjakan semangat yang ekstrim.
Dalam suatu penelitian lain tentang kemalasan bahwa dopamine dalam tubuh berhasil mempengaruhi kemampuan seseorang atas motivasi yang diterimanya.
Dopamine adalah senyawa alami tubuh yang memiliki peran penting dalam pengiriman sinyal pada otak. Semakin aktif hormon dopamine seseorang, maka semakin aktif sinyal dari otak ke tubuh. Akibatnya, manusia ini akan menjadi bahagia, senang dan gembira serta rajin dalam beraktivitas. Sebaliknya, apabila mengalami kekurangan hormon dopamine, maka ia cenderung bad mood, stres, hingga bisa depresi.
Alhasil, dalam uraian diatas bahwa malas atau tidaknya seseorang itu tergantung pada kondisi otak. Otaknya sehat, aktivitas lainpun sehat. Dan ini juga sekaligus menunjukan bahwa malas itu merupakan suatu penyakit. Oleh karena itu, tentu sangatlah bisa ditangani untuk disembuhkan.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan kemalasan. Diantaranya, pemberian motivasi kepada diri sendiri untuk melakukan hal-hal positif dan bermanfaat terutama yang berkaitan dengan cita-cita. Cita-cita yang membuat adrenalin menjadi kuat. Dan bukanlah hal sulit untuk membiasakannya.
Kedua, mengikuti tuntunan agama. Jika sudah menemukan cita-cita. Maka cek kembali. Apakah cita-cita itu memiliki kemanfaatan bagi manusia. Sebab bukankah Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan,
“Sebaik-baik manusia adalah ia yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Ketiga, lakukan hal positif yang sederhana secara rutin. Misal, olahraga 10 menit atau membaca buku 10 halaman setiap pukul 7 pagi. Lakukan kegiatan ini setiap hari secara konsisten. Terus dan terus hingga menjadi satu kebiasaan. Yakinkan pada diri bahwa malas dapat merusakan kesehatan dan berdampak buruk bagi masa depan. (*)
Penulis : Pegiat Literasi dan Peneliti di Monash Institute Semarang