Bedah Problem Pertanian, PB HMI Menyoal Ketahanan Pangan di Masa Pandemi

JAKARTA – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menyoroti ketahanan Pangan nasional dimasa Pandemi Covid-19. PB HMI menilai sektor pertanian yang menjadi penopang ketersediaan pangan di Indonesia perlu lebih diberdayakan dimasa Pandemi.

Ketua PB HMI, Raihan Aditama mengatakan, sebelum Pandemi Covid-19, persoalan pangan sudah sering didiskusikan di PB HMI dalam beberapa decade terakhir. Menurutnya Pangan merupakan faktor esensial dalam kehidupan manusia yang tidak bisa tergantikan,

“Maka diskusi pangan harus kita terus up date dan kita fokuskan ke depan. Jika berkaca kepada negara-negara di luar Indonesia, saat ini sudah mengutamakan sektor pangan dalam pembangunan suatu bangsa,” katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) daring, Kamis (29/07/2021) malam.

Dalam diskusi bertajuk BUMN Untuk Indonesia; Membangun Ketahanan Pangan di Era Pandemi tersebut menghadirkan 3 narasumber alumni HMI. Ketiganya yaitu Awaluddin Iqbal (Sekretaris Perum Bulog Indonesia), Henry Saragih (ketua Umum Serikat Petani Indonesia), dan Adhitya Herwin Dwiputra, S.P (Founder Gerakan Aku Petani Indonesia).

Dalam pemaparannya Iqbal mengatakan, sektor pertanian dari hulu relative tidak banyak terpengaruh pandemi. Menurutnya dari sisi produksi tidak terganggu dan masih stabil,

“Kalau toh ada pengaruh lebih pada distribusi dan keterjangkauan daya beli. Problem kita adalah daya beli. Kalau Panen relative berhasil. Bahkan prediksi BPS, September nanti bisa panen besar. Selain itu harga relative rendah saat ini. Dalam hal ini tugas bulog mengontrol harga,” ungkapnya.

Terkait impor komodititas pangan, Iqbal mengungkapkan bahwa sesuai  Undang-Undang (UU) 18 tahun 2018 tentang Pangan, pemenuhan pangan adalah produk dalam negeri. Sedangkan Impor, kata dia, hanya dilakukan bila tidak bisa dicukupi atau tidak bisa diproduksi. Beberapa komoditas yang masih import antara lain Gula, Kedelai dan Daging Sapi.

“Untuk ketersediaan pangan dari dalam negeri sebenarnya kita relative cukup,” ujarnya.

Di sisi lain Iqbal menjelaskan, Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 48 tahu 2016, ada 11 komoditas prioritas, namun yang menjadi mandatori (kewenangan pengelolaan) Bulog hanya 3 komoditas yaitu Beras, Jangung dan Kedelai. Menurutnya setiap komoditi memiliki persoalannya sendiri-sendiri. Ia berharap PB HMI bisa mendiskusikan dan mengakaji beberapa komoditi pangan dari  hulu, distribusi hingga hilir.

“Untuk masalah pertanian harus dikaji secara komprehensif. Tidak perlu 11 komoditi, beberapa saja dulu. Saya yakin banyak kader dan alumni yang sangat berkompeten dan memiliki kapabilitas. Kemudian dari kajian ditemukan solusi untuk masukan pemerintah, lalu dikawal dengan semangat kepemudaan HMI,” imbuhnya.

Sementara itu, Henry Saragih mengatakan, saat ini Pandemi Covid19 sudah menjadi problem di pedesaan. Pandemi menurutnya bukan sekadar problem kesehatan, melainkan juga berdampak kepada ekonomi dan pertanian,

“Jumlah penduduk miskin di pedesaan juga bertambah kendati pada maret 2021 mengalami penurunan tipis di angka 15,37 juta”bebernya.

Berbeda dengan Iqbal, menurut Henry memang benar Nilai Tukar Petani (NTP) petani meningkat, namun untuk sektor perkebunan, sementara untuk holtikultura dan tanaman pangan terjadi penurunan,

“Dulu sempat di atas 100, sekarang di bawah 100. Ini justru persoalan yang sangat serius. Aktivitas pertanian memang belum terlalu terpengaruh tapi daya serap holtikultura mengalami penurunan. Harga holtikultura rendah sekali sehingga akhirnya tidak berproduksi,” tukasnya.

Dalam pandangan SPI, Kata Henry,  dengan adanya Covid-19 ataupun tidak, negara atau pemerintah harus berperan untuk mengintervensi pasar,

“Kita tidak percaya dengan pasar bebas, apalagi kalau mengikuti konstitusi (UUD Tahun 1945) pasal 33 dan 34.  Jika tidak ada bulog, mungkin dalam masa pandemi kita bisa lebih parah,” ujarnya.

Selain isu Pangan dan pertanian, ia juga berharap agar Bulog dan BUMN lain juga berperan mendorong Reforma agraria yang sejak 2014 menjadi program pemerintah, juga pembangunan pedesaan,

“Model-model usaha tani juga memang harus didemokratisasikan. Kita tidak bisa lagi tergantung dengan kekuatan besar baik dari benih, pupuk, maupun pemasaran. Menurut saya harus ditumbuhkan demokrasi ekonomi dalam pertanian, bukan konsentrasi ekonomi. Inilah yang saya pikir menjadi pokok perhatian kita,” tandasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Adiyta Herwin lebih menjabarkan solusi dan alternatif-alternatif ketahanan pangan melalui pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) petani muda dengan memanfaatkan teknologi. Ia menjelaskan, Aku Petani Indonesia concern bagaimana mengedukasi dan mengkampanyekan gerakan agar anak muda kembali tertarik Bertani. Banyak program yang telah dicetuskan Aku Petani Indonesia, diantaranya konsultasi dan pendampingan petani, diskusi melalui sosial media, dan terobosan-terobosan baru lainnya,

“Banyak jejaring kami di Aku Petani Indonesia yang sukses dengan Bertani. Jadi memang Aku Petani Indonesia ini concern untuk merubah mind set bahwa petani itu tidak menarik dan kurang bernilai ekonomi. Selama 5 tahun ini kami sudah membuktikan banyak petani muda yang sukses,” tegasnya.

Adhit juga berharap agar HMI sebagai organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia bisa menjadi contoh sekaligus memberikan manfaat kepada masyarakat untuk ketahanan pangan,

“Diharapkan nanti setiap cabang HMi juga menjadi Puspermas (Pusat Pertanian Masyarakat), artinya petani bisa berkonsultasi kepada kader-kader yang memiliki kompetensi dibidang pertanian. Juga ada gerakan 1 Cabang 1 komoditas,” harap Adhitya Herwin. (rd1)

Redaktur: Ja’faruddin AS

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com