Oleh: Fajar Dian Aryani, M.H*
Terdapat beberapa sistem yang telah diterapkan untuk mewujudkan peradilan pidana yang efektif dan efisien di Indonesia. Pertama, dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Kedua, whistleblower yang termuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu yang pada pokoknya dalam SEMA tersebut hanya memberikan pedoman terhadap penanganan kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower).
Ketiga, justice collaborator, pengertian dari konsep tersebut termuat dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, namun demikian dalam pelaksanaannya beberapa sistem di atas belum mampu terlaksana dengan maksimal dikarenakan tidak ada aturan yang secara rinci mengatur mekanisme pelaksanaan dari sistem tersebut terutama terkait perlindungan dan penghargaan yang dapat diberikan.
Menurut hemat penulis sistem-sistem tersebut belum mampu mengatasi permasalahan penumpukan perkara serta belum mampu mewujudkan peradilan pidana yang efektif dan efisien. Dari keadaan tersebut perlu ada pemecahanmasalah berupa satu pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Adapun suatu pembaharuan dapat berupa pengadopsian sistem baru yang dinamakan Plea Bargaining System.
Plea Bargaining yang telah dikenal dan diterapkan di beberapa negara juga akan dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di Indonesia, yaitu dalam Pasal 198 ayat (5) dan 199 RKUHAP. Sistem Plea Bargaining yang selama ini dipraktikkan di banyak negara dan dianggap berhasil untuk mengatasi penumpukan perkara pidana di pengadilan. Dalam naskah akademik RKUHAP disebutkan ada mekanisme plea bargaining yang diberi judul jalur khusus dalam penyelesaian perkara pidana.
Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa: “Plea bargaining is the process whereby the accused and the prosecutor in a criminal case work out a mutually satisfactory disposition of the case subject to the court approach. It usually involves the defendant’s pleading guilty to lesser offense or to only one or some of the counts of multi counts indictment in return for a lighter sentence than that possible for the graver charge”.
Plea Bargaining Sytem merupakan suatu negosiasi antara penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya. Motivasi utamanya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana sehingga proses penyelesaian perkara pidana akan berjalan efektif dan efisien. Negosiasi harus dilandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui perbuatannya dan kesediaan dari penuntut umum untuk memberikan ancaman hukuman yang lebih ringan.
Mengingat plea bargain idealnya bentuk negosiasi antara Penuntut Umum dan terdakwa agar mengakui kejahatannya dan hukumannya lebih ringan, dalam hal ini tetap ada peran pengadilan setelah negosiasi para pihak tercapai. Nantinya tetap terdapat putusan majelis hakim atas pemidanaan terdakwa. Pihak yang terlibat dalam plea bargaining antara lain adalah Penuntut Umum, terdakwa dan/atau Penasihat Hukum, dan Hakim. Sebagai catatan, untuk perkara yang melibatkan perekonomian atau uang, maka bisa dihadirkan pula auditor atau badan pemeriksa keuangan di dalamnya.
Ketika konsep plea bargain dalam RKUHAP diadopsi, maka Jaksa tidak mempergunakan hukum acara biasa. Tetapi, menggunakan hukum acara pemeriksaan singkat yang cukup menggunakan nota dan catatan umum guna mempercepat proses beracara di pengadilan.Dalam konsep plea bargain terdapat negosiasi atau tawar menawar (bargaining). Tapi, dalam RKUHAP tidak menerapkan metode tersebut, tapi menekankan pada bagaimana pleabargaining hanya meringankan tuntutan. Ketika konsep plea bargain dalam RKUHAP diadopsi,sesuai ketentuan Jaksa tidak mempergunakan hukum acara biasa. Tetapi, menggunakan hukum acara pemeriksaan singkat yang cukup menggunakan nota dan catatan umum guna mempercepat proses beracara di pengadilan.
*Dikutip dari berbagai sumber.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal