Oleh: Nasywa Ghina Zein*
Kejahatan korupsi masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Hal ini tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) RI yang belum lama ini dirilis oleh Transprancy Internasional (TI). Menurut lembaga yang berpusat di London itu, IPK RI pada tahun 2019 adalah 40. Asumsinya, semakin besar angka IPK, maka negara tersebut dipersepsikan makin bersih dari korupsi. Sebaliknya, semakin kecil angka IPK suatu negara, maka menunjukkan semakin terjerembab-nya suatu negara dalam kubangan korupsi. Secara matematis, Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 180 negara yang dikaji. Itu artinya, Indonesia hanya membaik 8 poin bila dibandingkan dengan IPK 2012.
Apabila ditelusuri lebih jauh, korupsi bertalian erat dengan aktifitas pemerintahan yang ikut mempengaruhi transformasi sosial, ekonomi dan politik. Governance Indeks Indonesia pada 2020 adalah 5,4 dari skala 0-10. Perlu diketahui, bahwa semakin tinggi skor indeks pemerintahan maka semakin baik pula capaian suatu negara. Terkait dengan itu, skala 5,4 yang dicapai Indonesia, menunjukkan masih berkutatnya negeri ini dengan kejahatan korupsi yang tak kunjung dapat diselesaikan. Alhasil, kebijakan mencegah dan memberantas korupsi dalam setiap periode pemerintahan bisa dikatakan jalan ditempat sebab sejak 2012, skor Indonesia pada indikator mengatasi korupsi stagnan dinilai 4. Dengan demikian, dalam konteks kejahatan korupsi—Indonesia konsisten di jalan yang salah.
Secara epistemologi, jenis korupsi yang acapkali ditemukan dalam lingkungan pemerintahan entah itu di pusat atau daerah adalah korupsi yang berkaitan dengan pelayanan publik. Dalam hal ini, kejahatan korupsi terjadi dalam lingkungan birokrasi atau unit layanannya. Hasil studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang Tata Kelola Ekonomi Daerah Tahun 2018, menunjukkan bahwa korupsi pelayanan publik yang paling sering terjadi adalah perizinan atau izin usaha. Sebagian pelaku usaha menyatakan mengalami hambatan untuk mendapatkan izin usaha, seperti prosedur yang rumit, waktu yang lama, dan biaya yang tidak terduga. Dalam hal integritas kepala daerah, sepertiga pelaku usaha berpendapat bahwa bupati/walikota terlibat dalam aktivitas korupsi bagi kepentingan pribadinya. (KPPOD, 2018:5).
Temuan KPPOD tersebut, sejalan dengan survei penilaian integritas yang dilakukan oleh KPK pada 2018 yang lalu. Hasilnya, menunjukkan bahwa pelayanan publik menjadi tempat yang paling rawan dikorupsi karena dipengaruhi oleh budaya organisasi, sistem anti korupsi tiap instansi dan pengelolaan sumber daya manusia (KPK, 2018:17). Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa pelayanan publik seperti perizinan menjadi lahan basah bagi pelaku dengan modus gratifikasi atau suap termasuk melibatkan calo (KPK, 2018:18).
Adapun Satuan Kerja (Satker) di daerah yang rawan terjadi korupsi perizinan atau pelayanan publik adalah Energi dan Sumber Daya Mineral, Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu serta Badan Pertahanan Nasional (KPK, 2018:21). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sektor pelayanan publik menjadi wilayah yang sangat rawan disalahgunakan di suatu daerah.
Bertalian dengan itu, Indonesia Corruption Watch pada akhir tahun 2018 telah mengidentifikasi bebagai berbagai kasus korupsi pelayanan publik atau perizinan yang acapkali menjadi sasaran empuk para mafia birokrasi adalah izin usaha pertambangan, izin surat usaha pariwisata, tanda daftar pariwisata, izin usaha industri dan tanda daftar gudang. Selain itu, ada pula pengurusan surat izin mengemudi, perekaman KTP elektronik serta pengadaan barang dan jasa (ICW, 2018:21).
Berangkat dari berbagai fakta di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu tipe korupsi yang rentan terjadi adalah pelayanan publik khususnya menyangkut perizinan dalam segala variannya. Pelbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah tetapi hingga kini belum bisa menekan laju korupsi pelayanan publik. Dalam konteks itu, penelitian ini akan mengulas secara sistematis korupsi pelayanan publik yang dikorelasikan dengan suatu pendekatan kebijakan kriminal.
Edwin H. Sutheralnd dan Donald R. Cressey, menyatakan bahwa ada 3 cara mencegah kejahatan sebagai bagian dari kebijakan kriminal. (1) menjaga segregasi antara orang yang menunjukkan perilaku jahat dengan masyarakat di sekitarnya. (2) mengintegrasikan warga menjadi masyarakat yang taat hukum. (3) mendefinisikan kembali situasi sosial masyarakat yang dapat mendorong terjadinya kejahatan (Sutherland & Cressey, 1955:629)
Bertolak dari doktrin tersebut, dapat dikatakan bahwa manakala berbicara tentang pencegahan kejahatan atau tindak pidana pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari faktor pendorongnya dan proses penegakan hukumnya—pasca kejahatan terjadi. Maka posisi aparat penegak hukum, peradilan yang efektif, dan hukum yang berwibawa dapat menjadi benteng kokoh untuk mencegah terulangnya kejahatan di masa depan. Selain itu, peran serta masyarakat dan upaya responsif dalam mengidentifikasi potensi kejahatan oleh aparat penegak hukum menjadi poin yang tidak kalah pentingnya (Satria, 2019:11).
Graycar dan Prenzler selanjutnya menyatakan situational crime prevention (SCP) has provided the most important framework internationally for developing effective crime-prevention strategies, and it can also be used for corruption prevention. It involves the introduction of measures designed to foreclose opportunities in the location – or situation – in which offences occur (Graycar & Prenzler, 2013:71). Dengan demikian, SCP menawarkan kerangka kerja yang paling penting secara internasional dalam mengembangkan strategi pencegahan kejahatan yang efektif termasuk pencegahan korupsi.
Sehubungan dengan itu, Cornish dan Clarke telah memetakan beberapa teknik spesifik dalam mencegah pelbagai kejahatan termasuk korupsi, yang dikelompokkan dalam 5 tujuan, antara laian: (1) increase the effort. (2) increase the risks. (3) reduce the rewards. (4) reduce provocations. (5) remove excuses (Graycar & Prenzler, 2013:73). Maka beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mencegah kejahatan korupsi, misalnya: meningkatkan upaya pencegahan, analisis risiko, mengurangi imbalan, mengurangi penyebab dan menghapus pendorong terjadinya kejahatan korupsi.
Bila ditarik hubungannya dengan korupsi pelayanan publik maka pencegahan primer diarahkan pada pencegahan yang dimulai dari lingkungan rumah tangga, tempat bekerja hingga ke masyarakat luas. Sistem integritas mesti dimulai dari dalam rumah tangga sampai kemudian berkembang ke tengah-tengah masyarakat. Intinya, integritas mesti dibawa dari rumah ke lingkungan kerja atau tempat lainnya sebab dapat mempengaruhi lingkungan sosial seseorang. Sedangkan pencegahan sekunder, fokusnya mengidentifikasi dan memprediksi potensi terjadinya kejahatan korupsi pelayanan publik melalui perbaikan sistem birokrasi.
Berangkat dari uraian mengenai teori regulasi tersebut, kaitannya dengan korupsi pelayanan publik—untuk mencegahnya maka diperlukan peraturan yang memiliki kejelasan (lex certa) dan ketegasan (lex stricta) sehingga tidak mudah disalahgunkan dalam praktiknya. Ketentuan mengenai pelayanan publik, misalnya aturan dalam perizinan perlu disederhanakan, diperjelas dan dipertegas. Melalui cara yang demikian, pembentuk undang-undang secara sadar telah mengarahkan peraturan yang dibuatnya mengikuti model responsive regulation dan smart regulation. Kedua bentuk karakter peraturan ini akan dengan mudah dipatuhi masyarakat dan birokrasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya korupsi pelayanan publik.
*Dikutip dari berbagai sumber.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal