YOGYAKARTA – Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) belum lama ini berhasil membongkar kasus pedofilia. Para pelaku Pedofilia di Yogyakarta ini diduga memperjual belikan ribuan konten pornografi dan kontak para korban yang masih di bawah umur dengan jaringan server di luar negeri.
Korban dari para Pedofil yang sudah mendekam di jeruji besi Polda DIY ini adalah empat bocah perempuan usia 10 tahun, warga wilayah Kapanewon (Kecamatan) Sedayu, Kabupaten Bantul.
Hingga Jumat (17/07/2022) Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda DIY masih mengembangkan kasus dengan delapan pelaku yang sudah diringkus.
Child Grooming Menjadi Mula Buka
Kasus ini terkuak ke publik adalah ketika seorang Bhabinkamtibmas yang bertugas di sebuah desa di wilayah Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantuk menerima laporan dari guru sekolah dan orang tua siswa, kalau anaknya menjadi korban kekerasan seksual dengan pelaku yang beraksi di dunia maya.
Dari laporan tersebut, Polisi melakukan penyelidikan dengan Kasus ini berhasil terungkap pada tanggal 21 Juni 2022 lalu dengan pelaku awal yang diamankan berinisial FAS (27).
FAS sendiri diketahui sudah melakukan aksinya sejak bulan Mei 2022. Si FAS ini tergabung dalam beberapa grup WhatsApp. Setelah sebelumnya juga bergabung di sosmed Facebook. Dari jaringan sosial media tersebut, ia mendapatkan nomor dan akun para korban yang masih anak-anak.
Setelah mendapat nomor dan akun korban yang ditarget, FAS kemudian melancarkan child grooming .
Apa Itu Child Grooming? Itu adalah sebuah upaya orang dewasa untuk membangun hubungan, kepercayaan dan ikatan emosional dengan seorang anak atau remaja, sehingga mereka dapat memanipulasi atau mengeksploitasi, bahkan melecehkan korban.
FAS mengaku sebagai teman sebaya atau kakak kelas. Sudah barang tentu, FAS mengetahui bahwa anak-anak mudah dimanipulasi.
Setelah FAS ditangkap, Polisi kemudian menyisir pelaku lain yang terlibat. Al hasil, polisi berhasil menciduk tujuh tersangka lainnya. Peran mereka adalah sebagai distributor konten pornografi namun baru teridentifikasi pada satu korban saja.
Ketujuh tersangka baru itu terlacak dari dua grup WhatsApp dimana FAS menjadi salah satu membernya. Dalam dua group WhatsApp tersebut mereka sangat aktif mengirimkan berbagai video dan gambar dengan objek korban anak-anak. Ketujuh penjahat kelamin itu ditangkap di 6 provinsi berbeda.
Hasrat Kerja Mudah Hasil Melimpah
Pendalaman motif kasus jaringan grup pedofil yang menggemparkan daerah Istimewa yang kental dengan budaya adiluhungnya ini terus dilakukan Direskrimsus Polda DIY.
Apa sebab pelaku tega menorehkan pengalaman traumatis kepada anak-anak dan meluluh-lantakkan perasaan orang tua korban, menjadi pertanyaan publik. Apakah karena demi cuan berlimpah tanpa kerja bermandikan peluh?
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda DIY, AKBP Roberto Pasaribu, sejauh ini kemungkinan motif ekonomi itu muncul dengan memanfaatkan sistem iklan melalui dark web.
Website gelap dunia maya memang tak jarang dijadikan para pelaku kejahatan siber untuk meraup keuntungan. Konten-konten pornografi atau pornoaksi anak-anak itu disematkan pada advertising yang ada di dark web tersebut untuk menghasilkan dollar.
Roberto juga mengungkapkan ada beberapa modul yang digunakan pelaku dalam memuluskan bisnis sadisnya itu. Namu demikian ia tidak bisa mengungkapkan kepada media karena dikhawatirkan akan menginspirasi orang-orang untuk belajar melakukannya,
“(Modul) Hanya bisa kita buka di pengadilan,” kata Roberto kepada wartawan di Mapolda DIY, Jumat (15/07/2022).
Polisi juga masih mendalami lebih jauh asal nomor kontak anak-anak yang menjadi korban tersebut dan bagaimana cara para pelaku mendapatkan konten berupa foto dan video porno dari para korbannya dengan proses pelacakan data digital sumber awal.
“Masih kita lakukan pengangkatan data digital karena butuh waktu untuk proses penganalisaannya dan barang bukti masih ada di laboratorium digital forensik,” tandasnya.
Pasal Berlapis, Ganjaran Bagi Para Pedofil
Sebanding dengan perbuatannya, para Pedofil itu bakal diganjar dengan hukuman berlapis-lapis. Selain Undang-undang ITE dan pornografi, juga dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tentu saja, semakin banyak pasal yang disangkakan tentu akan semakin memberatkan.
Hal itu selaras denga napa yang diucapkan Wakil Kajati DIY Rudi Margono. Ia menjelaskan, tiga pasal itu di antaranya dengan Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) Jo 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar dan menyangkut kesusilaan/ekploitasi seksual terhadap anak.
Selain itu juga, diancam dengan Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.
Lalu ditambah Pasal 14 Jo Pasal 4 Ayat (1) Huruf (I) Jo Pasal 4 Ayat (2) Huruf (E) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
Dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp200 juta.
Perangkat Digital: Antara Praktis dan Dilematis
Sejak Pandemi Covid-19, anak-anak belajar dari Rumah (BDR). Konsep BDR ini membuat anak-anak yang tadinya “dilarang” menggunakan alat komunikasi digital atau gadget malah menjadi wajib dikenalkan. Tidak bisa tidak, gadget mendekatkan diri dengan media sosial. Tapi itu mau tak mau. Sebab cara yang paling memungkinkan agar anak-anak tetap mendapat hak Pendidikan di masa pandemi adalah dengan sosial media.
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Dari mulanya terbatas untuk belajar, lama-lama orang tua, apalagi yang pekerja, tidak bisa selalu mendampingi Ketika putra-putrinya belajar atau menggunakan gawai. Ada yang berpikir praktis, anak-anak dibelikan HP sendiri, agar Ketika zoom atau membuka class room tidak mengganggu komunikasi orang tua.
Nampaknya efek negatif gawai sudah sangat disadari oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY.
Jauh sebelum mencuat kasus kejahatan seksual terhadap anak berupa eksploitasi dan distribusi konten pornografi melalui media sosial ini, Kepala DP3AP2 DIY Herlina Hidayati beserta jajarannya sudah mewanti-wanti orang tua agar mendampingi anak-anaknya saat memegang gedget.
“Bahkan, sejak awal Covid-19,” ucapnya belum lama ini.
Ia mengingatkan bahwa anak adalah tanggung jawab orang tua. Anak-anak perlu dioptimalkan tumbuh kembangnya, tidak hanya fisik, tetapi juga psikisnya.
“Orang tua diharapkan lebih sadar akan kerentanan yang bisa menimpa anak-anak mereka,” ujarnya.
Dengan adanya kasus kejahatan seksual anak yang berhasil diungkap Polda DIY, Herlina mengaku perihatin dan akan lebih menggencarkan upaya meningkatkan kesadaran semua pihak untuk ikut bertanggung jawab dalam melindungi anak-anak.
Ia menandaskan dalam upaya perlindungan anak, semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Menurutnya hal itu sudah tertuang di dalam UU Perlindungan Anak.
“Bahwa semua pihak harus ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Tentu saja undang-undang ini memang harus diimplementasikan dengan baik,” imbuh Herlina. (kt1)
Redaktur: Faisal