YOGYAKARTA – Banyak negara saat ini tengah dihadapkan pada krisis global, baik di sektor energi, pangan dan keuangan. Hal ini terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim ekstrim, pandemi covid-19, ketidakpastian perekonomian global, terjadinya tensi geopolitik, dan disrupsi pasokan.
Kondisi tersebut mengakibatkan harga pangan naik dan pembatasan ekspor pangan oleh sejumlah negara. Oleh karena itu penganekaragaman konsumsi pangan berbasis potensi dan kearifan lokal sangat penting sebagai alternatif dalam menghadapi krisis pangan yang terjadi.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, Jum’at (23/9) dalam Kuliah Umum berjudul Kebijakan Pangan Nasional dan Pentingnya Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan di Balai Senat UGM.
Arief mengatakan dalam situasi krisis pangan, beberapa negara-negara produsen pangan di dunia mengambil kebijakan restriksi ekspor terhadap komoditas tertentu, seperti gandum, gula, daging sapi, dan kedelai. Sejumlah negara seperti negara Rusia, India, dan Ukrania yang membatasi ekspor gandum. Pembatasan ekspor ini berakibat pada naiknya harga komoditas pangan global.
“Oleh karena itu Indonesia harus menyikapi dengan mengoptimalkan potensi pangan dalam negeri,” tegasnya.
Sampai saat ini dikatakan Arief, Indonesia juga masih menghadapi masalah keamanan pangan antara lain penolakan ekspor dan masalah penyakit bawaan pangan (foodborne disease). Hal ini menimbulkan dampak sosioekonomi seperti menurunnya produktivitas masyarakat hingga penurunan citra negara di mata dunia.
Ia memaparkan ada persoalan lain yang juga perlu dicermati bersama terkait ketahanan pangan. Merujuk peta ketahanan dan kerentanan pangan Indonesia saat ini masih terdapat 74 kabupaten/kota yang rentan rawan pangan. Berdasarkan angka Prevelance of Undernourishment (PoU) Tahun 2021 yang merupakan indikator SDGs ke-2, sebanyak 23,1 juta jiwa penduduk Indonesia (8,49%) mengkonsumsi kalori kurang dari standar minimum untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Jumlah tersebut meningkat sebesar 510 ribu jiwa (0,15%) dibandingkan tahun 2020.
“Salah satu alternatif dalam menjamin ketahanan pangan nasional adalah dengan meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan lokal,” sebutnya.
Ia membeberkan data berdasarkan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) diketahui bahwa kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia belum beragam, bergizi seimbang. Hal ini terlihat dari masih tingginya dominasi konsumsi padi-padian serta minyak dan lemak dan kurangnya konsumsi protein hewani, sayur dan buah, serta umbi-umbian. Sementara dalam pemenuhan konsumsi pangan, diperlukan jaminan keamanan pangan untuk meningkatkan daya saing produk pangan lokal di pasar global.
Arief mengatakan Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati sehingga memiliki potensi tinggi untuk melakukan lenganekaragaman konsumsi pangan. Dengan penganekaragaman pangan diharapkan nantinya bisa melepas keterganrungan pada satu jenis pangan tertentu. Potensi penganekaragaman pangan ini dikembangkan dengan memanfaatkan pangan lokal secara masif dan pengembangan inovasi, serta formulasi rekayasa sosial.
Lebih lanjut Arief menyampaikan pihaknya saat ini sedang mensosialisasikan Gerakan Makan Enak, Makan Sehat, Makan B2SA (Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman). Salah satunya melalui Program B2SA Goes To Campus yang bertujuan untuk Kampaye, promosi dan edukasi pangan B2SA, Peningkatan kapasitas SDM keamanan pangan, pengawasan terpadu keamanan pangan segar, pengembangan menu B2SA pada kantin kampus, dan merdeka belajar melalui pendampingan kegiatan B2SA oleh mahasiswa.
“Saya sangat mengapreasi UGM sebagai kampus inisiator gerakan B2SA. Mari kita bersama mensukseskan program ini,” ucapnya. (pr/kt1)
Redaktur: Hamzah