Hadiri Simposium Perdamaian Internasional di Malaysia, Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga Sampaikan Solusi Mengatasi Konflik Antar Agama

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr Inayah rohmaniyah, (tengah) saat menjadi panelist dalam forum perdamaian dunia di Kuala Lumpur, Malaysia. Foto: Doc FUPI UIN Sunan Kalijaga
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr Inayah rohmaniyah, (tengah) saat menjadi panelist dalam forum perdamaian dunia di Kuala Lumpur, Malaysia. Foto: Doc FUPI UIN Sunan Kalijaga

KUALA LUMPUR – Konflik antar agama di berbagai belahan dunia masih terjadi. Empat Lembaga di Malaysia yaitu Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Internasional Center For Law And Religion Studies (ICLRS), Brigham Young University (BYU), UID Sejahtera Malaysia, dan Sekolah Teoloji Malaysia menyelenggarakan simposium internasional perdamaian antar umat beragama dunia.

Forum bertajuk The International Symposium on “Upholding Human Dignity for Peaceful Coexistence” tersebut dilangsungkan pada Rabu (05/07/2023) hingga Jumat (07/07/ 2023) mendatang di Seri Pacific Hotel Kuala Lumpur.

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, S. Ag., MA., M.Hum hadir sebagai salah satu panelis dalam simposium yang menghadirkan para narasumber cendekiawan dari berbagai negara dan latar belakang agama.

Prof Inayah menuturkan, tujuan dari forum internasional tersebut adalah untuk memberikan kesempatan pada akademisi atau organisasi yang berbasis agama untuk menggali pemahaman tentang human dignity (martabat manusia) dari perspektif Islam.

“Kegiatan ini menjadi ruang untuk mengartikulasikan kepada audiens Barat tentang martabat manusia dalam perspektif Asia,” tuturnya dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu (05/07/2023).

Prof Inayah berbicara pada panel pertama dengan tema “Perspectives on Human Dignity from Religious/faith-Based Understanding”.Dalam pemaparannya ia menjelaskan bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan dan menjunjung tinggi martabat manusia, demikian juga dengan agama Islam.

Norma Ideal Islam adalah Taqwa untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin (Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam), sebgaimana idealism diturunkannya Nabi Muhammad SAW, serta firman Allah SWT,

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Ambiya (21):107]).

“Konsep rahmat bagi semesta ini termanifestasi dalam prinsip-prinsip normatif yang dipegang oleh setiap Muslim, apapun alirannya,” tuturnya di hadapan para delegasi dari berbagai negara tersebut.

Namun demikian, Prof Inayah mengakui, meski pada level normatif semua muslim menerima prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dalam membangun hubungan verikal dengan tuhan maupun horizontal dengan sesama manusia, namun pada kenyataannya pemahaman dan praktik Islam beragam.

Hal tersebut salah satunya disebabkan karena perintah Allah SWT selalu mengacu pada teks Al-Qur’an yang bertumpu pada alat perantara bahasa. Dengan demikian, teks mempunyai realitas objektifnya sendiri. Teks pada dasarnya terbuka untuk dibaca dengan cara yang bervariasi tergantung pada perspektif pembacanya, sehingga memunculkan berbagai bentuk pemaknaan dan pemahaman yang berbeda-beda.

“Permasalahan serius yang muncul adalah ketika pemahaman terhadap teks digunakan sebagai ‘alat’ untuk menghakimi pihak lain, menimbulkan disharmoni, mempolitisasi agama, dan merusak martabat kemanusiaan,” ujarnya.

Menurutnya, beberapa persoalan krusial yang muncul dalam ranah kehidupan masyarakat Islam adalah pemahaman dan praktik yang bertentangan dengan nilai fundamental Islam, yaitu rahmatan lil ’alamin. Kemudian, Kekerasan atas nama Agama, fundamentalisme, radikalisme dan terorisme.

Selain itu ada pula institutionalisasi Agama, seperti munculnya Peraturan Daerah (Perda) syari’ah dan pengaruh Agama dalam perundang-undagan.

“Persoalan lainnya yang muncul adalah diskriminasi atas nama Agama, androsentrisme, sexisme dan patriarchy yang muaranya adalah diskriminasi berbasis gender,” imbuh guru besar Sosiologi Agama pertama di UIN Sunan Kalijaga ini.

Atas persoalan tersebut, Prof Inayah menawarkan konsep mengintegrasikan wilayah pemahaman dan praktek secara simultan. Hal penting yang perlu dilakukan antara lain membangun pemahaman Agama berbasis norma Ideal dengan pendekatan inklusif (keterbukaan).

Kemudian, memahami nilai universal fundamental Agama Islam, memahami konteks Ayat Al-Qur’an secara kesejarahan atau pembacaan hermeneutis.

Selanjutnya Membedakan antara pesan Al-Qur’an dan pemahaman manusia, memahami problematika terjemahan atau tafsir serta melakukan kontekstualisasi atau menafsirkan sesuatu dengan mempertimbangkan konteks atau latar belakang yang relevan (sesuai keadaan).

“Selain itu perlu menumbuhkan tiga kompetensi sebagai modal untuk mengembangkan praktik yang menjunjung tinggi Human Dignity (harkat dan martabat manusia). Kompetensi inilah yang kami kembangkan. Diantaranya kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Leimena Institute. Kami membangun kompetensi ini di kalangan para Guru di sekolah-sekolah berbasis agama dalam sebuah workshop bertema Literasi Keagamaan Lintas Budaya,” ungkapnya.

Prof inayah menjelaskan, kompetensi dimaksud mencakup Kompetensi Pribadi, yaitu Kemampuan individu untuk bisa memahami ajaran dan tradisi agama yang dianutnya dan ajaran terkait dengan agama lain. Kompetensi ini menjadi dasar bagi seseorang untuk membangun relasi dengan orang atau kelompok agama yang berbeda.

Selanjutnya kompetensi komparatif, yaitu kemampuan individu untuk memahami ajaran dan tradisi agama lain dari perspektif keimanan para penganutnya. Pemahaman langsung tentang agama lain dari perspektif penganut akan semakin membuat keimanan seseorang semakin kuat dan inklusif.

Terakhir, kompetensi kolaboratif, yaitu kemampuan untuk bekerjasama atau berkolaborasi dengan individu atau kelompok yang memiliki latar belakang agama, keyakinan, dan budaya yang berbeda demi tercapainya suatu tujuan atau kepentingan bersama.

Dalam ranah kelembagaan, untuk mewujudkan Human Dignity perlu mengembangkan pendidikan inklusif, mengoptimalkan fungsi keluarga, membangun sensitifitas atau kesadaran di kalangan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat untuk mempromosikan praktik beragama yang damai, Membangun Budaya TOLERAN dengan memanfaatkan media.

Sedangkan tempat-tempat strategis untuk merealisasikan Human Dignity yaitu Keluarga, Pesantren, Lembaga Agama, Universitas Islam, Organisasi Keagamaan, Lembaga Pemerintah yang berideologikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), LSM, organisasi wanita, dan organisasi anti radikalisme agama

“Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah melaksanakan workshop upgrading Penyusunan RPP dan Program Berbasis Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Program ini didesain untuk mengajak para Guru untuk berjumpa langsung (silaturrahmi) dengan orang atau kelompok agama yang berbeda dan Mempraktikkan beberapa ketrampilan,” ujarnya.

Prof Inayah menguraikan, keterampilan tersebut diantaranya keterampilan untuk mengevaluasi pemahaman tentang dirinya sendiri (kesadaran diri) dan pemahaman tentang diri orang lain (understanding others), dan memahami konteks yang dihadapi, agar dapat bekerjasama lintas agama secara positif dan berkelanjutan.

Kemudian, keterampilan negosiasi yaitu Ketrampilan untuk menemukan kesepakatan atau titik temu ketika menghadapi perbedaan, sehingga dapat bekerjasama lintas agama secara produktif dan berkelanjutan.

Selain itu juga keterampilan Komunikasi untuk melakukan komunikasi secara empatik sehingga melahirkan saling percaya, yang melandasi kerjasama lintas agama secara produktif dan berkelanjutan

“Kolaborasi untuk kerja kerja kemanusiaan ini melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mempromosikan persatuan dan kehidupan beraga yang damai, membangun dan menyebarkan budaya toleran, tentu juga dengan memanfaatkan Media,” pungkasnya.

Selain Prof Inayah, delegasi Indonesia yang hadir dalam acara tersebut adalah mitra kerjasama Literasi Keagamaan Lintas Budaya diantaranya, Prof. Dr. Abdul Mu’ti (Panelist). Dr. Faried Saenong (Panelist). Prof. Dr. Lukman S. Thahir (Panelist). Dra. Yayah Khisbiyah, MA (Panelist). K.H. Abdul Halim Mahfudz (Observer/Participant). Dan Matius Ho (Observer/Participant). (rd1)

Redaktur: Faisal

 

54 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com