Ada anekdot tentang Pemilu yang cukup rasional jika kita hitung angkanya. Hal ini dirasa perlu menjadi perhatian bagi Masyarakat secara luas, karena masyarakat yang memiliki hak suara. Anekdot yang beredar di sosial media cukup menarik, judulnya “Harga Diri dan Suara”, isinya “ jika anda bersedia dibayar Rp. 100.000,- untuk memilih calon Presiden dan Wakilnya. Maka ketahuilan: Rp. 100.000,- : 5 tahun = Rp. Rp. 20.000,- . 1 tahun (Rp. 20.000,-) : 12 bulan = Rp. 1.666,- dan Rp. 1.666,- : 30 hari = Rp. 55.5,-. Jadi harga diri dan harga suara anda = Rp. 55.5/ hari. Lebih murah dari harga sebuah permen karet. Jangan berharap negeri ini bebas korupsi kalau suara anda masih bisa dibeli ”.
Demokrasi tingkat Nasional dan lokal pada gelaran Pemilu tidak dipungkiri membutuhan biaya tinggi, gagap gempita pesta demokrasi ini bisa dihitung, mulai dari pengeluaran pencalonan, kampanye dan biaya opreasional lainnya. Hal ini teruangkap di media saat kasus La Nyala Mataliti mencuat dipermukaan terkait “Mahar Politik”, biaya yang sangat tinggi mulai pembentukan tim kampanye, survey, atribut kampanye, kampanye di media cetak dan elektronik serta menyiapkan saksi di setiap TPS. Itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit, hitungannya tidak lagi ratusan juta namus sudah puluhan milyar bahkan ratusan milyar bahka trilyunan.
Bandingkan dengan pendapatan resmi yang diperoleh jika sudah menjadi Presiden,Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi/Kabupaten terpilih, jika diasumsikan gajinya Rp. 10 juta/bulan, maka total pendapatanya adalah Rp. 600 juta, selama lima tahun memimpin. Masyarakat pun bertanya bagaimana para pelaku demokrasi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan? yang terjadi adalah menggunakan aji mumpung, seperti kondisi saat ini banyak terjadi Anggota DPR dan Kepala Daerah tertangkap tangan KPK melakukan tindak pidana korupsi, inilah bagian dari risiko demokrasi, di dalamnya ada politik transaksional.
Secara umum, pemilu yang demokratis adalah pemilu yang dilakukan secara berkala, dan diselenggarakan berdasarkan prinsip bebas, serta jujur dan adil (free and fair election). Sifat demokratis pemilu diperlukan untuk menjaga bahwa pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Melalui pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga memilih program yang dikehendaki sebagai kebijakan Negara pada pemerintahan selanjutnya. Tujuan pelaksanaan pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu yang tidak mampu mencapai tujuan itu hanya akan bersifat formalitas sebagai pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu demikian adalah pemilu yang kehilangan ruh demokrasi. (Jenedjri M. Gaffar: 2013: 5)
Di tahun politik 2024 ini yang tinggal bebrapa hari lagi, secara serentak akan menyelenggarakan pemilu, masyarakat memiliki harapan akan muncul pemimpin nasional dan daerah yang amanah dan berkualitas, harapan akan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya daya saing daerah dan meningkatnya pelayanan umum yang cepat dan berpihak kepada masyarakat.
Bukan tugas yang mudah demi mewujudkan pemimpin yang berkualitas dalam pemilu tahun ini, cara yang cerdas adalah menggunakan hak pilihnya dengan tepat. Hindari apatisme dan tidak memilih yang sering di sebut golput.
Menjadi pemilih cerdas adalah memilih dengan hati nurani dan akal sehat, bersikap objektif tanpa dipengaruhi suku, agama, kekerabatan bahkan faktor uang, memilih dengan melihat sisi moralitasnya apakah pernah tersadung kasus korupsi atau tidak, pernah selingkuh atau tidak, secara intelektual mumpuni atau tidak, intelektualitas penting karena bersangkutan pada penyerapan aspirasi rakyat. Profesionalismenya dalam menyelesaikan permaslahan yang bersifat teknis. Hal yang penting juga melihat riwayat pendidikannya, karena pendidikan yang membentuk karakter kepemimpinan secara bijak dan tepat sasaran, hal ini sangat penting untuk dicermati sebagai bahan pertimbangan sebelum dipilih.
Sebagai pemilih cerdas, harus mengetahui visi dan misi calon, program kerja yang realistis, dan aspratif, visi dan misi tergambar dalam bentuk program kerja yang terukur selama lima tahun, dengan melihat visi dan misi kandidat dapat mengukur kapsitas calon. Hal inilah yang seharusnya pemilih cermati dengan menjadi pemilih cerdas, bukan pemilih yang pragmatis dengan mengorbankan pilihan karena sejumlah uang, jangan menggadaikan kesengsaraan rakyat selama lima tahun. Hal ini perlu disosialisasikan secara massif agar masyarakat sadar bahwa pilihannya menentukan hajat hidup orang banyak.
Sebagai warga negara yang baik di tahun politik 2024 adalah memberikan peran dengan memilih pemimpin dengan cerdas, pilihlah pemimpin yang dianggap paling baik diantara calon yang lain, satu suara sangat menentukan siapa pemenangnya, jika kita menentukan pilihan yang tepat kepada calon yang baik artinya menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, akan tetapi jika kita golput apalagi apatis maka yang akan berkuasa adalah orang jahat yang akan merugikan masyarakatnya itu sendiri.
Cermati bagaimana cara memilih dengan benar apakah dengan cara mencoblos atau mencentang sehingga pilihan kita sah dalam pemilu. Sudah saatnya kita menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pemimpin yang berkualitas di tahun politik 2024.
(*)
*Mukharom adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM)