Permasalahan Pidana Penjara

Oleh: Siswanto*

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa pidana merupakan salah satu jenis pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pengunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin            memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam.

Masalah pidana penjara memang menjadi suatu dilema, dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menjadi paradoks (berlawanan) disatu sisi menjadi dominan di sisi yang lain sangat dibenci, hal ini menjadi fakta di masyarakat bahwa ternyata penjara sudah tidak lagi ditakuti oleh para pelaku tindak pidana. Dalam sistem penghukuman, penjara seakan telah menjadi bagian dari budaya barat. Hal ini karena di antara berbagai jenis pidana yang ada, pidana penjara selalu saja jadi primadona. Penerapan pidana penjara menempati posisi yang paling dominan karena merupakan jenis pidana yang paling banyak diancamkan dalam kitab-kitab penghukuman dan juga paling banyak dijatuhkan oleh hakim.

Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional.

Sebenarnya, pidana penjara memiliki kelemahan dan dampak negatif: Pertama, jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak pidana oleh hakim. Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana penjara banyakmenimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana penjara.

Kedua, krisis kepercayaan efektifitas pidana penjara dan lembaga penjara. Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.

Ketiga, over capacity menyulitkan pembinaan, pengawasan dan pemeliharaan sanitasi. Over capacity atau kelebihan tingkat hunian merupakan permasalahan utama yang dihadapi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terutama di Pulau Jawa. Tingkat hunian yang sudah melebihi daya tampung ini sangat menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan maupun pemeliharaan sanitasi para warga binaan itu sendiri dan adanya beban pembiayaan yang sangat besar dalam pembinaan.

Keempat, pidana penjara menjdikan tempat pendidikan para penjahat. Pidana penjara juga membawa slogan “pendidikan kejahatan oleh penjahat”. Lembaga Pemasyarakatan seringkali berfungsi sebagai “tempat kuliahnya para penjahat” yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. Dengan lahirnya penjahat profesional ini, pada saatnya akan menambah beban kepada masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar.

Kelima, penjara  memberikan     efek     negatif berupa dehumanisasi. Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan kemerdekaan bergerak. Terpidana membutuhkan proses adaptasi sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.

Sedangkan beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan terhadap narapidana menurut C.I.Harsono,antara lain:

  1. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadan atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos of Personality).
  2. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang nyaman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya (Loos of Security).
  3. Dengan dikenal pidana jelas kemerdekaan indidualnya termpas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Loss of Liberity).
  4. Dengan menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasakan kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Personal Commonication).
  5. Selama di dalam Lembaga pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Good and Service).
  6. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga (Loos of Heterosexual).
  7. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari pertugas maupun sesama narapidana lainnva, dapat menghilangkan harga dirimya (Los of Prestige).
  8. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan narapidana dapat.menjadi kehilangan akan rasa percaya diri (Loos of Belief).
  9. Naripidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena perasaan tertekan pada kehilangan daya kreatititasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinya (Loos of Creatifity).

Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend/kecenderungan internasional, adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuk sebagai sanksi alternatif (alternative sanction). Upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari suatu kenyataan, bahwa di dalam perkembangan pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan, maupun atas pertimbangan ekonomis. Termasuk juga melakukan pembaharuan hukum khususnya terkait dengan pidana yaitu dari aspek jenis pidana (strafsot), lamanya pidana (strafmaart) dan pelaksanaan pidana (strafmodus).  (*)

Dikutip dari beragai sumber.

*Siswanto adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

58 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com