Implementasi ibadah yang Allah Swt perintahkan kepada hambanya akan tercermin dalam kepribadiannya, ada sebuah capaian ketika sudah melaksanakan ibadah secara sempurna yaitu ketaqwaan. Gelar taqwa bukanlah pengakuan dari seseorang maupun orang lain, bahwa dirinya bertaqwa. Namun, hal ini dapat dilihat dari perilakunya sehar-hari, perilaku tersebut terurai dalam kehidupan secara individu, keluarga dan bermasyarakat.
Kesalehan spiritual dan kesalehan sosial sebagai bentuk perwujudannya dalam kehidupan, yang tentunya dilandasi Al Qur’an sebagai pedoman hidup.
Bualan Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa dan dirindukan oleh ummat Rasulullah Muhammad Saw, karena di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Keistimewaan yang lain dibandingkan bulan selain Ramadhan adalah diturunkannya Al Qur’an sebagai pedoman hidup, baik hidup di dunia maupun di akhirat nanti (QS. Al Baqarah: 185), kemudian di dalamnya penuh rahmah, maghfirah (ampunan) dan pembebasan api neraka.
Di bukan Ramadhan pahala dilipat gandakan, tidak hanya 10 kali lipat tapi sampai 700 kali lipat sesuai dengan kehendak Allah Swt, hal ini sesuai dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda “setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya, suatu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah Swt berfirman: kecuali puasa, puasa untukKu dan Akulah yang membalasnya”. Sungguh, bulan yang kedatangannya sangat dirindukan dan sebaliknya ditangisi kepergiannya oleh orang-oarang yang shaleh.
Tujuan puasa Ramadhan adalah mencapai derajat taqwa. Puasa adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah Swt, hal ini telah tercantum dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah Ayat 183 yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertaqwa.
Tujuan taqwa inilah yang menjadi acuan bagi ummat untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan nilai ibadahnya, jangan sampai berpuasa tapi tidak mendapatkan apa pun, yang didapat hanya haus dan lapar, hal ini telah diwanti-wanti oleh Rasulullah Saw yang artinya: “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengkaji keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, guna meningkatkan amal ibadah selama Ramadhan dan sesudahnya, agar nilai-nilai ibadahnya terus meningkat.
Taqwa secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Sedangkan secara terminologi adalah takut kepada Allah Swt dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan arti dasar taqwa yaitu menjaukan diri dari segala sesuatu yang tidak disukaiNya.
Di dalam Al Qur’an kata taqwa ditemukan sebanyak 259 kali dengan derivasi dan makna yang beragam. Sebagai contoh bertaqwa dari maksiat, maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Hal ini mengandung arti bahwa esensi taqwa adalah tidak hanya membahas soal ibadah ritual saja akan tetapi bisa dalam aplikasi muamalah, bergaul dan menjalankan ajaran untuk melakukan kebaikan-kebaikan antar sesama manusia dengan mengharap ridlo Allah Swt.
Taqwa berorientasi guna mencegah manusia untuk menghidari dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt karena takut akan dosa dan azab Allah Swt. Oleh karena itu, bagi orang yang dapat menjalankannya akan mulia di sisi Allah Swt, sesuai dengan firmanNya “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13).
Adapun karakter orang bertaqwa telah digambarkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 2 sampai dengan 4, karakter orang bertaqwa diantaranya adalah menafkahkan sebagian rizqinya. Momentum bulan Ramadhan kita gunakan sebagai sarana latihan untuk saling berbagi, harapannya menjadikan kebiasaan dan pola hidup dilingkungan keluarga dan masyarakat, karena bulan Ramadhan, kita ini dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dalam bentuk sosial, dengan melatih kesalehan sosial, berupa kepedulian terhadap orang yang secara materi masih dibawah standar hidup yang layak
Tujuannya adalah fakir miskin dapat merasakan kepedulian yang disalurkan oleh kaum berada atau mampu secara harta benda atau materi. Membangun kesalehan sosial perlu dilatih sejak dini, artinya melatih rasa peduli bagi sesama harus diajarkan dari anak-anak, sehingga kelak dewasa akan terbiasa membantu antar sesama. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan dan dibangun oleh individu maupun kelompok, dalam hal ini adalah instansi atau lembaga swadaya dengan tujuan mengorganisir untuk membantu sesama.
Sinergisitas antara membangun keslehan spiritual dan kesalehan sosial harus secara bersama-sama, tidak dipisahkan, jika tidak seiring dan sejalan maka akan timpang, karena implentasi kesalehan spiritual adalah dalam bentuk sosial, sedangkan kesalehan sosial bagian dari ajaran agama secara spiritual, hal ini sesuai dengan Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 3 yang artinya “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Di dalam konteks ayat di atas sudah jalas, antara kesalehan spiritual/individual dan kesalehan sosial tidak dipisahkan, Allah Swt memerintahkan untuk mendirikan shalat (kesalehan spiritual) kemudian memerintahkan untuk menafkahkan sebagian hartanya (kesalehan sosial). Kedua karakter tersebut merupakan bagian dari ciri-ciri orang bertaqwa.
Ramadhan kali ini dengan situasi dan kondisi cuaca yang sangat ekstrim, bencana banjir, tanah longsor terjadi di negara kita. Jika kita mengambil hikmah dari suatu musibah yang terjadi, kita akan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan meminta permohonan keselamatan serta menggugah kepedulian dalam diri untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar yang lebih membutuhkan. Itu semua bagian dari implemtasi nilai-nilai sepiritual dan sosial yang muaranya kebahagiaan dunia dan akhirat.
Semoga kita dapat mengaplikasikan perintah Allah Swt dengan sungguh-sungguh hanya mengharap ridlo Allah Swt, sehingga apa yang kita kerjakan, kebaikan yang telah diperbuat, amal ibadah yang senantiasa istiqamah, semuanya itu didasari iman, ikhlas dan tidak mengharapkan imbalan dari makhluk, namun semata-mata bentuk ketaatan dan tunduk atas perintahNya dan masuk kategori sebagai hamba yang muttaqin.
(*)
(*) Mukharom adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) dan Pengurus Masjid Al Hasyim Kota Semarang