AKHIR-AKHIR ini Kalangan akademisi, guru besar hingga para tokoh nasional ramai-ramai melayangkan Amicus Curiae, atau dalam istilah awamnya adalah sahabat pengadilan kepada Mahkamah Konstitusi ( MK ).
Ya, Amicus Curiae memang cukup lazim muncul ketika dibukanya Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum ( PHPU ) Pemilu atau Pemilihan Presiden (Pilpres) di MK.
Secara formal sebenarnya Pemilu 2024 sudah berakhir ketika Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mengumumkan hasilnya.
Namun di sisi lain memang ada aturan formal yang memungkinkan dibukanya ruang gugatan di MK.
Hanya saja, memang masih menjadi sebuah perdebatan di ruang-ruang diskusi, apakah MK itu hanya mengadili hasil atau proses.
Dalam perkara PHPU 2024 ini, pemohon adalah kubu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor 01 (Paslon 01) Anies Baswedan-Muahaimin Iskandar (AMIN) serta Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Ganjar-Mahfud).
Namun PHPU Pilpres kali ini agak berbeda, karena kedua pemohon mencoba mendorong MK untuk lebih memproses dugaan kecurangan Pilpres yang bersifat Terstruktur, Sistematif dan Masif (TSM).
Artinya bukan semata dari sisi hasil, melainkan proses yang dinilai mempengaruhi hasil.
Kedua kubu pemohon dalam permohonannya menyoal keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggunakan berbagai aparat atau alat negara strategis serta anggaran negara terutama untuk Bantuan Sosial (Bansos).
Itu tentu selain juga menyoal keabsahan Gibran Raka Buming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto (Paslon 02), yang dinilai cacat hukum dan melanggar etika bernegara.
Lolosnya Gibran sang Putra Presiden Jokowi yang tak lepas dari ketukan palu ketua Hakim MK saat itu, yaitu Anwas Usman yang tak lain Paman Gibran atau adik Ipar Jokowi dinilai kedua kubu pemohon sarat Nepotisme, mengkhianati amanah reformasi 98 dan mencederai Demokrasi.
Amicus Curiae yang dilayangkan para akademisi dan tokoh nasional, salah satunya oleh Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri, pada intinya juga menyoal hal yang senada dengan para penggugat.
Meski belakangan juga mencuat semacam ‘Amicus Curiae’ tandingan dari kubu pihak terkait (Paslon 02).
Ada yang optimis Para Hakim MK bakal mengabuklan permohonan pemohon dengan asumsi formasi Hakim MK minus Anwar Usman.
Namun sebalinya ada yang pesimis atau bahkan yakin permohonan para pemohon akan ditolak, terlebih karena pemohon membawa-bawa Jokowi yang baru akan lepas jabatan pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Kelompok optimis jelas dari kubu pemohon, atau sebutlah Paslon yang kalah. Namun untuk kubu yang pesimis atau tak yakin MK Kabulkan permoonan ini lebih banyak kelompok.
Kelompok kubu o2 jelas, namun ada kelompok yang sifatnya lebih realistis. Kenapa realistis? ya, itu dimulai dari pertanyaan sederhana: Bagaimana mungkin membuktikan kecurangan yang bersifat TSM?
Namanya saja Terstruktur, sistematis dan Masig yang melibatkan alat negara dan kekuasaan, dan itu penguasa tertinggi pula? kalau lingkup Pilkada mungkin saja bisa dan memang sudah ada contohnya di Indonesia. Catat: di Indonesia, artinya jangan bandingkan dengan negara lain!
Kedua berbicara Curang dalam Pemilu, Adakah yang benar-benar bersih dan bebas kecurangan dari ketiga Paslon?
Kalau melihat film Dirty Vote yang sangat viral jelang pencoblosan 14 Februari lalu, ternyata indikasi kecurangan juga dilakukan kubu ketiga paslon.
Kecuarangan tetaplah kecurangan, mau kadarnya sedikit atau banyak, TSM maupun non TSM sama saja bukan?
Bahkan jangan-jangan bukanlah “Curang” terminologi yang tepat dalam politik perebutan kekuasaan melainkan “Strategi” atau “Taktik”.
Nah, kaitannya dengan Amicus Curiae, mungkin yang lebih objektif dan akademis adalah yang dilayangkan oleh para profesor hukum dari berbagai perguruan tinggi. Meski terkesan naif berharap para Hakim MK berani mengambil langkah ‘berbeda’ bukan sebagai ‘Mahkamah Kalkulator”.
Ini sama saja naifnya jika mengharapkan Hakim-Hakim yang dilantik Fir’aun ribuan tahun silam untuk menghukum Fir’aun itu sendiri.
Bukan bermaksud membandingkan masa lalu dan masa sekarang , namun ini lebih pada analogi, atau tepatnya mengimajinasikan. ya, sebab sama sekali tidak relevan jika diperbandingkan.
Dahulu kala ada penguasa yang sangat lalim, bernama Fir’aun. Dalam struktur pemerintahannya juga ada Hakim. Salah satu keputusan para hakim di bawah Fir’aun adalah bahwa Nabi Ibrahim terbukti bakal membuat makar!
Kurang apa curangnya Fir’aun? tapi siapa hakim yang berani mengadili Fir’aun? yang ada malah mendukung Fir’aun, sehingga Ibrahim dan pengikutnya nyaris kalah, di kejar hingga ke laut.
Untungnya, Ibrahim itu Nabi dan Kesayangan Tuhan. Maka di saat genting itu, Tuhanpun menolong dengan memberikan kekuatan pada ibrahim untuk membelah lautan dengan tongkatnya.
Fir’aun plus pengikutnya yang mengejar kemudian ditenggelamkan.
Jelaslah bahwa yang menenggalamkan Fir’aun dan pengikutnya bukanlah Ibrahim dan pengikutnya, melainkan Tuhan!
Sudah barang tentu Fir’aun itu masa silam, tidak ada hubungannya dengan konteks Pemilu 2024, apalagi menyamakan Presiden Jokowi dengan Fir’aun.
Jelas sekali bahwa Jokowi Bukan Fir’aun dan Fir’aun bukan Jokowi. Beda Nama, beda zaman, beda tempat!
Saaat ini sudah tidak ada Nabi, jadi jangan berharap akan ada mukjizat Tuhan diberikan kepada seseorang, bahkan sekaliber tokoh nasionalpun.
Jika benar ada penguasa zalim di masa kini, maka yakinlah bahwa Tuhan sendiri yang akan menghakiminya, bukan Hakim – Hakim yang kekuasannya lebih rendah dari Presiden atau Raja!
Namun ada pepatah: Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Ketika rakyat bersuara dan melakukan tindakan secara bersamaan dengan eskalasi yang terus meningkat, maka penguasa yang dinilai zalim itu pastilah tumbang.
Contohnya di Indonesia sudah ada, yaitu pada saat reformasi ’98. Itu bukan manusia yang menumbangkan Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 Tahun.
Itu adalah gerakan Tuhan. Sebab, suara rakyat adalah suara Tuhan! (*)
*Penulis adalah penulis, penggiat Kata Mata Pena Jogja