JOGJAKARTANEWS.COM, YOGYAKARTA – PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 6 memberi kepastian dan bantuan pembongkaran bangunan di Bong Suwung kepada warga. Bantuan ini untuk mempermudah pengosongan lahan seluas 2.800 meter persegi di sebelah barat Stasiun Yogyakarta (Stasiun Tugu).
Para warga melakukan perundingan dengan pihak manajemen Daop 6, Selasa, 24 September 2024. Perundingan ini dilakukan terkait dengan rencana sterilisasi aset Daop 6 yang berada di kawasan Bong Suwung yang berlokasi di Jlagran, Pringgokusuman, Gedongtengen, Kota Yogyakarta.
“Daop 6 dalam sterilisasi ini akan bergerak sesuai dengan prosedur dan ketentuan. Daop 6 Yogyakarta sudah melayangkan Surat Peringatan ketiga pada 20 September 2024 yang berlaku selama 7 (tujuh) hari ke depan atau berakhir Kamis tanggal 26 September. KAI Daop 6 masih memberikan batas waktu hingga Jumat (27/9) jam 15.00 WIB bagi yang sepakat menerima kompensasi uang biaya bantu bongkar dan bantu angkut,” kata Manager Humas Daop 6 Yogyakarta Krisbiyantoro, Selasa, 24 September 2024.
Ia merinci biaya bantu bongkar sejumlah Rp200.000,-/m2 untuk bangunan semi permanen dan Rp250.000,-/m2 untuk bangunan permanen. Kemudian juga ditambah Rp500.000,- untuk biaya bantu angkut per hunian.
“Setelah tanggal 27 September 2024, Daop 6 Yogyakarta sudah bisa melakukan sterilisasi. Kondisi saat ini hampir 50 persen warga Bong Suwung sudah sepakat dengan rencana sterilisasi tersebut dan sebagian sudah menerima uang tanda sepakat untuk pembongkaran,” ia menambahkan.
Kris melanjutkan, nantinya uang kompensasi akan diberikan penuh setelah melakukan pembongkaran dan menandatangani berita acara. Sehingga setelah selesai pembongkaran, uang bisa ditebus.
Kawasan Bong Suwung merupakan kawasan yang masih berada di area emplasemen Stasiun Yogyakarta. Dengan dilakukannya sterilisasi tentu akan mengembalikan fungsi ؤ tersebut untuk kegiatan operasional kereta api.
Lalu, kenapa kasawan itu arus dikosongkan dan diambil-alih oleh KAI, karena memang lahan itu merupakan milik KAI.
Menurut pengamat sejarah perkeretaapian, Yudah Prakoso, pada era 1970 an hingga 1980 an, awalnya kanan kiri rel ditutup tembok. Karena sepi terus dipakai istirahat para pemulung. Karena nyaman, para pemulung itu membuat bedeng-bedeng untuk tempat tinggal.
“Seiring berkembangnya waktu di situ mulai banyak pekerja seks komersial dan banci. Tembok pun akhirnya dilubangi dan di balik tembok dibuat bedeng bedeng untuk kamar-kamar,” kata Yudah.
Sejurus kemudian, mulai banyak warung liar yang menjual makanan dan minuman. Juga ada bir dan minuman beralkohol. Suasana semakin ramai. Transaksi seks semakin marak dan besar. Muncul perjudian seperti rolet dan ciliwik. Juga muncul para preman.
“Karena dulunya banyak tanaman liar maka disebut Kebon. Bon Suwung. Kebon yang sepi. Kini orang menyebutnya Bong Suwung,” kata dia.
Akhirnya kebon itu dibabat dan dibangun rumah non permanen secara liar sebagai tempat tinggal, warung, dan sekaligus menyewakan kamar kamar untuk aktivitas seks komersial kelas bawah sampai akhirnya akan diambilalih oleh KAI.
PT KAI memang sejak 2010 sudah meminta agar mereka pergi karena kawasan dekaden itu milik KAI (emplasemen PT KAI) dan akan menjadi pengembangan KAI.
FULL