Bedah buku Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Dalam Menangani Perkara Mardani H Maming. (FULL)
JOGJAKARTANEWS.COM, YOGYAKARTA – Para pakar hukum dari beberapa perguruan tinggi sepakat ada kesalahan dan kekhilafan hakim dalam putusan perkara Mardani H Maming. Mardani divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 110 miliar subsider 4 tahun oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus penerbitan izin usaha pertambangan (IUP).
Centre for Local and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) telah mengadakan eksaminasi kasasi MA atas perkara yang menjerat mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan itu. Bahkan kesimpulan eksaminasi sudah dibukukan dengan judul Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Dalam Menangani Perkara Mardani H Maming.
“SK (surat keputusan) Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN, tidak melanggar aturan,” kata salah satu eksaminator, Mahrus Ali, Saat acara bedah buku itu di Hotel Eastparc Yogyakarta, Sabtu, 5 Oktober 2024.
Ada sepuluh eksaminator yang hadir dan memberikan catatan. Di antaranya Hanafi Amrani, Ridwan, Mudzakkir, Eva Achjani Zulfa, Mahrus Ali, Karina Dwi Nugrahati Putri, Ratna Hartanto, Ridwan Khairandy, Arif Setiawan, dan Nurjihad.
Menurut Mahrus, norma pasal 93 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu ditujukan kepada pemegang IUP, bukan pada jabatan Bupati. Sepanjang syarat dalam ketentuan tersebut terpenuhi, maka peralihan IUP diperbolehkan.
Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UII, Ridwan Khairandy mengatakan, permohonan peralihan IUP-OP tidak perlu melampirkan syarat administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial. Karena persyaratan tersebut melekat pada izin yang telah dialihkan.
Dosen Departemen Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Karina Dwi Nugrahati Putri menyatakan jika dapat dibuktikan bahwa penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR murni berasal dari keuntungan pengoperasian pelabuhan PT ATU berdasar perjanjian yang sah, maka asumsi bahwa penerimaan tersebut berkaitan dengan peralihan IUP-OP melalui SK Bupati menjadi tidak berdasar.
“Judex Factie telah mengesampingkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan mengenai adanya penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR tidak ada kaitannya dengan peralihan IUP-OP dan bukan sebagai hadiah,” kata Karina. Judex Factie adalah hakim (yang memeriksa) fakta.
Buku yang diterbitkan Rajawali Pers itu disusun berdasarkan anotasi hasil eksaminasi Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri/TIPIKOR Banjarmasin Nomor 40/Pid.Sus-TPK 2022/PN.BJM. jo Putusan Banding Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi Nomor 3741 K/Pid.Sus/2023 dengan terdakwa Mardani H. Maming.
Ada lima kesimpulan eksaminasi terhadap perkara ini. Yaitu perbuatan terdakwa yang menerbitkan SK bupati tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT. Prolindo Cipta Nusantara tertanggal 16 Mei 2011 tidak bertentangan dengan Pasal 93 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Yang kedua pembayaran sejumlah uang oleh PT. ATU dan PT. PCN kepada PT. TSP dan PT PAR tidak ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa selaku Bupati Tanah Bumbu yang menerbitkan SK pelimpahan IUP. Ketiga, keterangan saksi Robert Budiman yang menyatakan ia telah memberikan sejumlah uang kepada terdakwa tidak bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi yang lain atau bahkan tidak didukung oleh alat bukti yang lain.
Keterangan saksi Robert Budiman bahkan bertentangan dengan keterangan sendiri bahwa saksi Henry Soetio tidak pernah menyuruh saksi Robert Budiman untuk memberikan uang kepada terdakwa.
Keempat, Jam tangan Richard Mille RM 11-03 NTPT (dan Jam Tangan Richard Mille RM 11-02 NTPT) adalah jam tangan yang dipesan dan dibeli sendiri oleh almarhum Henry Soetio dan diambil sendiri Henry di Pacific Place Jakarta.
Jam tangan Richard Mille RM 11-03 NTPT tersebut tidak pernah diserahkan kepada Mardani H. Maming. Barang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP sehingga tidak memiliki kualitas sebagai barang bukti.
Kesalahan hakim yang kelima, pembayaran uang pengganti sebesar Rp 110.604.731.752,00 kepada terdakwa merupakan kekhilafan hakim yang nyata. Ketentuan uang pengganti dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Penjelasan umum Undang-undang Tipikor secara eksplisit menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso menjelaskan, eksaminasi yang sudah diterbitkan menjadi buku itu merupakan usaha yang sangat penting bagi kalangan akademisi dalam mengkritisi putusan pengadilan. Sebab seperti alasan peninjauan kembali (PK) selalu ada kemungkinan hakim khilaf sama seperti Kasasi yaitu penerapan hukum yang keliru. Maka kekritisan dalam eksaminasi dan catatan kritis harus diterima kalangan peradilan.
“Dalam beberapa kasus jelas dalam putusan apakah banding, kasasi atau PK ada putusan MA yang mengoreksi putusan kasasi atau putusan tingkat banding, artinya sangat bisa terjadi kemungkinan terjadi kekeliruan,” kata dia.
Topo menyatakan, sudah seharusnya hakim tidak perlu khawatir dengan adanya sikap kritis dari kalangan akademisi yang justru membantu peradilan dalam melakukan putusan yang lebih adil. Hal ini bisa menjadi pertimbangan di luar dari upaya hukum terdakwa.
Pakar hukum Romli Atmasasmita pun setuju dengan adanya kekhilafan hakim dalam memutuskan perkara ini. Bahkan ia juga menyoroti dari sisi politik.
“Secara fakta hukum dari para ahli hukum mengatakan kekeliruannya bukan hanya satu, bukan dua, saya saja (menemukan) delapan. Kalau delapan itu saya mau tanya, bukan sebab hukum ya, politik, Maming itu siapa, bupati bukan? Bupati, dari partai mana? PDIP kan,” kata Romli.
Bahkan, ia bertanya-tanya kalau ada delapan kekeliruan, delapan kekeliruan itu apakah masih bisa disebut kekeliruan atau kesesatan.
“Kesesatan kalau menurut saya, sudah di luar konteks norma, soal moral, ya kan. Kan tidak boleh zalim,” kata dia.
Ia bahkan dengan gamblang menyatakan supaya Mahkamah Agung membebaskan Mardani H Maming (di tingkat PK). Atau setidak-tidaknya dilepas dari segala tuntutan hukum.
FULL