Kontroversi Wacana Penerapan Asas Dominus Litis

Oleh: Achmad Irwan Hamzani*

Wacana penerapan asas dominus litis dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menuai pro kontra di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Kontroversi tentu suatu hal yang biasa dalam mensikapi wacana kebijakan. Apabila asas dominus litis diterapkan akan menggeser asas diferensiasi fungsional yang selama ini diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Asas diferensiasi fungsional merupakan penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. Setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain. Asas diferensiasi fungsional menempatkan setiap penegak hukum sejajar satu dengan yang lain (A.W. Sanjaya, 2022 dalam www.hukumonline.com/).

Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana yaitu kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, dan pengadilan yang mengadili serta memutus. Aparat penegak hukum ini telah memiliki kedudukan sendiri-sendiri dan selanjutnya mengatur dan mempertegas kewenangannya sendiri. Selain itu, adapula aparat pengak hukum yang semula sebenarnya dimaksudkan sebagai lembaga ad hoc, namun saat ini juga sudah punya kedudukan yang kuat, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

RUU KUHP memuat prinsip dominus litis, yang menegaskan bahwa kewenangan penuh dalam menentukan arah dan kelanjutan suatu perkara pidana berada di tangan jaksa penuntut umum. Konsep ini memperjelas peran jaksa sebagai pengendali utama proses penuntutan, termasuk dalam menentukan apakah suatu perkara layak untuk dilanjutkan ke pengadilan atau diselesaikan dengan mekanisme alternatif, seperti restorative justice (R.T. Pakpahan, 2025 dalam www.law-justice.co/).

Wacana penerapan asas dominus litis dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan efisiensi dalam sistem peradilan pidana. Dengan kewenangan yang lebih luas, jaksa memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa proses hukum berjalan secara proporsional, tidak berlarut-larut, dan selaras dengan prinsip keadilan. Hal ini juga memberi ruang bagi pertimbangan aspek non-hukum, seperti kepentingan korban dan dampak sosial (R.T. Pakpahan, 2025 dalam www.law-justice.co/).

Dengan wacana penerapan asas dominus litis, di mana asas ini secara teori dan secara universal melekat pada jaksa, akan menempatkan jaksa sebagai pihak yang menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan. Sebagian kalangan memandang bahwa penerapan asas ini akan “mengambil alih” kewenangan kepolisian dalam mengungkap dan menghentikan suatu perkara. Kejaksaan menjadi sentral dalam penanganan perkara pidana, dan disisi yang lain seolah “mengaputasi” kewenangan kepolisian.

Dengan kewenangan yang sentral ini, dikhwatirkan oleh pihak yang kontra akan menjadikan kejaksaan sebagai lembaga super body. Lebih jauh lagi, muncul kekhawatiran bahwa lembaga superbody rentan dengan abus of power karena tidak ada chek and balance.

Biarlah dalam sistem peradilan pidana seperti sekarang ini, tetap ada pembagian kewenangan. Kalau yang menjadi alasan adalah agar tidak terjadi bolak-balik dari kejaksaan ke penyidik lagi dan sebaliknya, hal itu tidak bisa digeneralisir. Barangkali kasuitis yang bisa diatasi dengan koordinasi, sehingga tidak perlu menggeser atau pengamabilalihan peran.

Apabila ada wacana untuk memperkuat kejaksaan, barangkali dengan memberikan perluasan kewenangan penyidikan bukan hanya tindak pidana korupsi saja. Misalnya tindak pidana pencucian uang yang bukan bagian dari tindak pidana korupsi, ataupun tindak pidana penggelapan. Perluasan kewenangan tidak perlu mengambil alih kewenangan penyidikan lembaga lain.

Sebagai hukum publik yang mengatur semua aparat penegak hukum, perlu kiranya RUU KUHAP dibahas secara partisipatoris. Pemerintah dan  DPR harus bersama-sama atau setidaknya mendengarkan semua pihak terkait baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun advokat. Tidak kalah pentingnya, para akademii mauun pemerhati hukum juga perlu terus memberikan pandangan baik yang pro maupun kontra terhadap wawacan penerapan asas dominus litis.

*Dikutip dari berbagai sumber.

*Achmad Irwan Hamzani adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan

63 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com