Mengukur Modal dan Kemampuan Indonesia di Kancah MEA

Oleh: Siti Ulfa’ati*

BAGAIKAN virus yang mewabah, istilah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Hampir di setiap forum-forum diskusi ramai membicarakannya, banyak sekali seminar yang diadakan juga tak ketinggalan mengulasnya.

MEA adalah integrasi negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Thailand, Laos, Kamboja, Myanmar, Timor Leste, Singapura, Filipina) ke dalam satu kawasan. Terutama perputaran barang dan jasa.

Sejarah MEA

Dengan diberlakukannya MEA mulai 1 Januari 2015, Negara di ASEAN bebas mengekspor barang dan jasa tanpa takut dikenai tarif sehingga Asia Tenggara akan menjadi satu negara besar yang diharapkan bisa bersaing di kawasan Asia setelah Cina.

Perjalanan panjang MEA Dimulai pada KTT Asean di Kuala Lumpur bulan Desember 1997, salah satu keputusa yang diambil adalah ASEAN akan menjadi sebuah kawasan yang terintegrasi menjadi satu bagian dengan iklim yang kompetitif sehingga tingkat kesenjangan sosial antar negara ASEAN akan berkurang. Kemudian pertemuan itu ditindaklanjuti dengan perundingan para menteri ekonomi ASEAN pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur yg sepakat untuk menyusun blueprint pembentukan MEA tahun 2015.

Diharapkan dengan adanya ajang ini Asia Tenggara akan Menjadi kekuatan ekonomi baru. Hasil dari pertemuan ini kemudian digabungkan dengan dua konsep komunitas lainnya, yaitu keamanan dan sosial budaya pada bulan Oktober 2013 di KTT ASEAN yang berlangsung di Bali dan akan dilaksanakan seambat-lambatnya tahun 2020

Modal Indonesia

Menurut Arief Purbawa ada tiga modal Indonesia yang bisa digunakan untuk menghadapi MEA, Pertama, nilai ekspor ke negara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina) cukup besar, mencapai 13,9% dari total ekspor. Kedua, SDA dan SDM kita melimpah ruah, ketiga letak geografis Indonesia dipandang paling strategis di antara negara ASEAN lainnya. Sehingga bila dimanajemen dengan bagus Indonesia akan menjadi negara yang paling tangguh dalam persaingan nantinya.

Salah satu faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan suatu bangsa adalah kapasitas Sumber Daya Manusianya, sebab dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, mereka akan mengolah Sumber Daya Alam (SDA) sehingga bisa menjadi barang siap pakai. Apalagi dengan luas wilayah Indonesia yang menghasilkan banyak sekali SDA.Tetapi pertanyaannya adalah, apakah bisa manusia Indonesia secara maksimal mengolah sumber daya alamnya?

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia belum mempunyai skill yang baik sehingga banyak potensi SDA yang belum dimaksimalkan. Belum lagi menurut Dawam Rahardjo. Indonesia hanya punya aset tetapi kekurangan modal sehingga harus meminjam ke negara-negara asing. Konsekwensinya segala pengelolaan tentu dikendalikan oleh asing.

Tingkat konsumerisme masyarakat Indonesia juga terbilang tinggi, seperti contohnya hampir setiap orang di Indonesia rata-rata minimal memegang dua buah handphone? Dengan asumsi harga HP adalah Rp.1.000.000 dan jumlah penduduk Indonesia 250.000.000, maka pendapatannya adalah Rp 500.000.000.000. Tetapi sangat disayangkan produsen handphone dan alat-alat elektronik adalah Jepang dan Korea. Bahkan kedua negara tersebut menjadikan penguasaan teknologi sebagai komoditas utama. Sementara bangsa Indonesia dari masa ke masa hanya menjadi konsumen semata.

Mendadak MEA

Siap atau tidak siap, sukarela atau terpaksa bangsa Indonesia telah menandatangani kesepakatan MEA sehingga harus ada beberapa langkah yang harus kita persiapkan. Pertama, meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan sebagai pondasi bangsa. Hal ini mutlak sebagai syarat penguasaan ilmu pengetahuan. Penguasaan bahasa asing juga dinilai akan banyak membantu untuk berkomunikasi dengan siapapun.

Kedua, meningkatkan semangat nasionalisme. Ini untuk membentengi diri dari banyaknya barang, jasa yang akan membanjiri suatu negara, jadi ketika melakukan kegiatan perekonomian tidak hanya berpikir untung rugi semata, tetapi juga sudah berpikir apa sumbangsih yang akan kita berikan kepada negara.

Ketiga, mencintai produk dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk membentengi diri dari derasnya barang-barang impor yang akan masuk ke Indonesia. Dengan membeli produk-produk dalam negeri berarti kita akan menyejahterakan pengusaha pribumi.

Kempat, meningkatkan etos kerja. Dengan diberlakukannya MEA, maka pasar ASEAN akan memasuki ajang kompetitif sehingga etos kerja yang tinggi adalah syarat untuk mengetahui selera pasar yang terbaru.

Walaupun MEA diberlakukan untuk mengikis kesenjangan antar negara ASEAN, tetapi kenyatan di lapangan prinsip ekonomi akan berlaku, bahwa keuntungan adalah prioritas yang dicari dan kerugian sebisa mungkin harus dihindari. Sehingga hal ini akan menjadi tantangan sendiri yang harus dihadapi dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

 

*Penulis adalah Kabid Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi Badko HMI Jateng-DIY

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com