Idealisme Versus Politik Kutu Loncat

Oleh: Ilham Marta Dinata*

DUNIA amat sempurna ketika model dunia yang diimpikan masih berada dalam tataran idealisme. Di sana sini tampak indah. Langit biru dengan cakrawala yang sempurna. Apalagi masyarakatnya damai dan sejahtera. Itulah cita-cita utamanya dalam politik dan bernegara. Kita maju selangkah dengan mengajukan satu pertanyaan. Bisakah dunia yang sempurna dalam alam impian itu dihadirkan dalam alam nyata?

Jawabannya, sepanjang manusia hidup, pekerjaan pokoknya adalah mencoba dan berusaha terus menghadirkan dunia yang sempurna dalam alam impian ke dalam kenyataan. Dalam bernegara juga demikian. Siapa pun pemimpinnya dipastikan akan mengerjakan tugas pokoknya, merealisasikan mimpi-mimpinya tentang sebuah dunia ideal kemudian dituangkan dalam berbagai program kerja untuk merealisasikan harapan-harapannya.

Dunia idealisme dengan penuh impian tentang kehidupan yang damai dan sejahtera dipastikan akan berhadapan dengan politik praktis, yang menganggap idealisme hanyalah sebuah utopiah belaka. Maka dalam tulisan tentang Idealisme versus Politik Kutu Loncat ini, penulis ingin menyampaikan tentang idealisme politik di satu sisi, dan di sisi yang lain mau mengatakan bahwa ada fenomena politik model baru yang tengah mewabah di Indonesia, yakni “politik kutu loncat”.

Persamaan Kutu Loncat Biologis dan Sosiologis

Seperti apakah “politik kutu loncat itu?” Untuk tidak salah dalam memahami makna kutu loncat ada baiknya kita memahami terlebih dahulu definisi biologis tentang kutu loncat yang sebenarnya. Kutu loncat adalah salah satu jenis hama dalam dunia pertanian. Ia disebut kutu loncat karena selalu berpindah (loncat) dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan cara imago yakni terbang atau berjalan, dan bisa pula berpindah tanpa sengaja, seperti tertiup oleh angin atau terbawa tanaman yang dipindahkan oleh manusia. Ia berpindah karena di tempat semula telah kehabisan makanan.

Kutu loncat ini juga memiliki impian tersendiri yakni memimpikan menguasai dunia yang dikuasai (ditanami) manusia. Cara memangsa makanannya tergolong lihai, dan juga sangat serakah. Kutu loncat untuk jenis tanaman jagung, misalnya, dia akan masuk ke tongkol jagung melalui ujungnya (periferi). Di ujungnya ia memotong rambut-rambut tongkol, kemudian hidup di bagian dalam ujung tongkol. Setelah itu ia memakan butiran-butiran biji jagung. Bagian tongkol yang digeroroti itu tampak masih utuh, akan tetapi bagian dalam isinya sudah rusak atau habis dimakan. Itulah praktik hidup (makan) yang dilakukan oleh kutu loncat biologis.

Pertanyaan utama kita adalah apakah praktek hidup kutu loncat biologis sama dan serupa dengan praktek hidup kutu loncat secara sosiologis (manusia politikus) dalam dunia perpolitikan di Indonesia sekarang ini? Jawabannya ialah banyak terdapat kesamaannya, meskipun tidak selalu persis sama.

Ciri-ciri kutu loncat biologis masuk ke mangsanya sebagai berikut: (1) selalu masuk melalui periferi, (2) perlahan-lahan menggeroti isinya, menghabiskannya, meskipun batangnya tampak tetap utuh, (3) selalu untuk kepentigan pribadi, bukan umum. Mari perhatian sejumlah politisi sekarang ini yang berpindah dari satu partai ke partai yang lain. Apakah memasuki partai lain melalui periferi? Apakah setelah masuk ia menggerogoti isinya, dan apakah ia bekerja untuk kepentingan pribadi, atau demi memperjuangkan ideologi partainya? Atau kepentingan umum? Kita tidak ingin menyoroti model perpindahan, apakah sama antara kutu loncat biologis dan sosiologis.

Fenomena perpindahan dari satu partai ke partai yang lain adalah persoalan kesadaran etika politik seseorang. Orang yang berada dalam sebuah partai, dia adalah anggota atau hanyalah sebuah elemen yang olehnya nilai-nilai dalam partai diperjuangkan sebagai sebuah cita-cita atau ideologi. Maka keberadaanya bukan menyuarakan aspirasi pribadi melainkan aspirasi dari ideologi kepartaian.

Punya Ciri Khas

Pakar Sosiologi Miriam Budiardjo mengatakan, partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memper- oleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Coba kita perhatian perbedaan figur antara orang-orang dari Partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat. Akan tampak ciri khas dari ideologi partainya dalam eks- presi politik yang ditampilkannya. Bahkan warna ideologi partainya tampak dalam kehidupannya sehari-sehari. Orang-orang dari partai Republik tidak akan pernah bisa berbicara menurut ideologi partai Demokrat. Demikian juga sebaliknya. Maka begitu sulit bagi seseorang di AS untuk berpindah dari partai yang satu ke partai lain. Sebabnya ialah karena merasa tidak nyaman pada warna ideologi yang tidak cocok dengan hati nuraninya.

Kita perhatikan, pernyataan mantan bintang Olimpiade AS, Carl Lewis yang kini maju dalam pencalonan senat dari Wilayah New Jerssey. Dalam pernyataan politiknya baru-baru ini dia mengatakan, terlalu naif bila seseorang masih mempersoalkan perbedaan antara Demokrat dan Republik. Kita mestinya tidak lagi mempersoalkan itu. Yang kita persoalkan adalah warga Amerika yang masih membutuhkan perhatian di bidang pendidikan, dan kesejahteraan. Karena itu dia yakin bisa menang di New Jerssey, meskipun wilayah itu sepenuhnya dikuasai oleh Partai Republik.

Lewis tidak memperjuangkan kepentingannya. Dia sadar bahwa dia hanyalah sebuah elemen dalam memperjuangkan cita-cita partainya. Maka ketika ada fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia yang mana orang menganggap pindah partai menjadi hal yang biasa, maka perlu ditelusuri lebih mendalam apa yang salah dengan partai politik, dan etika politik yang dimiliki tiap politisi di Indonesia? Pasti ada yang salah. Apakah kesalahan itu karena partai terlampau banyak sehingga ideologi yang dimiliki oleh partai hampir serupa/mirip atau sama. Dengan demikian anggota partai merasa pindah dari partai yang satu tidak merasa berbeda secara ideologi. Kemungkinan lain ialah, karena partai sesungguhnya tidak memiliki kepastian ideologi, sehingga yang muncul adalah ideologi pribadi para politisi. Itulah yang diperjuangkan oleh masing-masing politisi yang senang berloncat-loncat partai.

Dengan demikian, orang yang pindah partai tidak merasa bahwa kepindahannya adalah sebuah kefatalan dalam berpolitik. Malahan perpindahan partai dianggap sebagai gejala yang normal, dan sebagai jalan ke- luar untuk mencapai tujuannya.

Menurut Prof Franz Magnis Suseno fenomena pindah partai dianggap biasa itu bisa jadi dilatari oleh masa lalu (Orde Baru) yang tidak menganggap partai adalah segala-galanya. Waktu itu partai dibentuk oleh negara karena sebagai negara demokrasi mengharuskan adanya partai. Jadi partai diadakan sekadarnya, bukan segala-galanya.

Magnis juga sependapat bahwa pengurangan jumlah partai politik bisa jadikan salah satu alternatif. “Dari apa yang saya lihat di era Orde Baru, semua hal begitu terorganisasi dengan baik karena partai politik yang tidak begitu banyak. Sehingga tidak banyak ideologi yang bertebaran. Mungkin tidak seharusnya kita mencontek apa yang rezim Orde Baru lakukan, contohnya pemerintahan yang otoriter. Tapi, pilihan hanya beberapa partai politik yang berkuasa di negara ini mungkin harus dilakukan.

Memang sekarang fenomena partai politik yang menjamur tidak bisa dimungkiri. Masing-masing mewakili berbagai macam golongan di Indonesia, seperti adanya partai buruh atau partai berlandaskan agama. Penggabungan partai politik bisa menjadi salah satu jalan dalam pengurangan partai politik yang ada. Jika memang beberapa partai mempunyai ideologi yang sama, alangkah baiknya jika mereka melebur saja menjadi satu partai,” jelasnya. Mungkin itulah salah satu solusi untuk menghindari dari fenomena kutu loncat sebagaimana yang terjadi belakangan ini. []

*Penulis adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badko Hmi SUMBAGSEL

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com