Merdeka Dari Sakit

Oleh: Agung Prihatna*

Tujuan Nasional Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial. Hal ini tentunya diwujudkan dengan diselenggarakannya pembangunan yang menyeluruh serta berkesinambungan. Salah satu dari perwujudannya adalah pembangunan pada sektor kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

Oleh karenanya, kesehatan menjadi bagian penting dalam pembangunan dan merupakan hak bagi setiap orang, tak terkecuali bagi masyarakat tidak mampu. Hal ini juga dijamin oleh negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dimana setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya dipertegas kembali dalam pasal berikutnya Pasal 34 UUD 1945, dimana negara mempunyai kewajiban untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Persoalan Ekonomi

Masalah dan tantangan utama pembangunan 2015 yang dihadapi Indonesia salah satunya adalah banyak penduduk yang masih berada dibawah garis kemiskinan dan mempunyai kecenderungan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Kedua hal ini disebabkan karena efek domino dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini mencapai 27,73 juta, dengan kriteria miskin yaitu keluarga yang tidak bisa makan 2 kali per hari, keluarga dengan anak drop out sekolah karena alasan ekonomi, serta keluarga yang tidak mampu anggota keluarganya sakit untuk berobat ke pelayanan kesehatan.

Proses pemulihan ekonomi yang sampai saat ini belum mencapai sasaran berakibat terhambatnya peningkatan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Dalam rentang waktu kurang lebih tujuh belas tahun, secara kualitatif ekonomi masyarakat Indonesia tidak mengalami perubahan berarti. Beberapa pengamat ekonomi bahkan memberikan asumsi negatif terjadi penurunan kualitas ekonomi masyarakat Indonesia. Indikasi paling mudah didapat dilihat dari makin membengkaknya angka kemiskinan serta menurunnya daya beli masyarakat.

Kebijakan pengurangan subsidi, yang berakibat naiknya harga BBM makin menenggelamkan masyarakat ke dalam kesulitan ekonomi. Apalagi sejak kenaikan harga BBM banyak pabrik-pabrik terpaksa menghentikan produksi karena tak mampu lagi mempertahankan pengembangan usaha yang sehat. Pengangguran pun terus bertambah karena angka pertumbuhan ekonomi praktis turun atau sekurangnya stagnan. Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menuai harapan akan bangkitnya ekonomi nasional. Pemerintah pun diharapkan mampu menyelamatkan masyarakat Indonesia dari ketenggelaman sulitnya ekonomi.

Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang terpuruk, dan berbagai rentan musibah yang tak dapat dihindari berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat. Krisis ekonomi yang menurunkan kualitas ekonomi masyarakat secara aksioma mudah sekali berujung pada persoalan kesehatan masyarakat. Sebagian, kondisi ekonomi masyarakat paralel dengan perkembangan kualitas kesehatan masyarakat, setidaknya ada keterkaitan langsung antara kualitas kondisi kesehatan dengan kondisi ekonominya.

Kondisi sehat memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kemampuan ekonomi masyarakat. Tetapi situasi sakit sangat tergantung pada kemampuan ekonomi masyarakat untuk mengambil langkah-langkah penyembuhan melalui pengobatan. Masyarakat yang secara ekonomi kekurangan bila mengalami sakit tentu akan sangat kesulitan mengatasi kebutuhan biaya pengobatan. Dengan demikian, kondisi kesehatan berdampak pula pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan.

Disparitas

Secara obyektif, permasalahan yang dihadapi khusus oleh sektor kesehatan sendiri adalah masih tingginya disparitas status kesehatan. Walaupun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, kawasan dan antar urban rural masih cukup tinggi. Hal ini terbukti banyaknya kasus-kasus penyakit seperti gizi buruk dan polio yang ditemukan di daerah-daerah terpencil dan kawasan pedesaan. Angka kematian bayipun pada kelompok termiskin pada 2013, sekitar 6,5 juta anak meninggal karena penyebab kematian yang sebenarnya bisa dicegah. Angka tersebut berkurang dari 6,6 juta pada 2012 dan 12,7 juta pada 1990. Adapun hampir 17 ribu kematian disebabkan oleh kurang gizi, diare, malaria, pneumonia, dan penyakit lainnya.

Menurut data BPJS Kesehatan 2015, Indonesia juga mendapat catatan negara dengan angka penderita kanker yang tinggi. Data Kementerian Kesehatan tahun 2015, rata-rata setiap jam jumlah penderita kanker serviks bertambah 2,5 orang dan meninggal 1,1 orang. Kanker leher rahim atau kanker serviks juga menduduki peringkat kedua sebagai kanker yang paling banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Tahun lalu, berdasarkan data peserta BPJS Kesehatan secara nasional, jumlah kasus kanker serviks di tingkat pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan mencapai 68.883 kasus dengan total biaya sekitar Rp 48,2 miliar, sementara di tingkat rawat inap ada 18.092 kasus dengan total biaya sekitar Rp 123,1 miliar.

Tahun 2014, data Kementrian Kesehatan mencatat 771 rumah sakit pemerintah dengan rincian 14 milik Kementrian Kesehatan, 52 Pemda Provinsi, 456 Pemda Kabupaten, 81 Pemda Kota, 5 Kementrian lain, 121 TNI, dan 42 Polri (Kemenkes, 2015). Meskipun hampir ada diseluruh kabupaten/kota, namun kualitas pelayanan sebagian besar rumah sakit pada umumnya masih dibawah standar. Pelayanan kesehatan rujukan yang belum optimal sehingga belum memenuhi harapan masyarakat. Masyarakat pun masih merasa kurang puas dengan mutu pelayanan rumah sakit dan puskesmas, karena lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi dan lamanya waktu tunggu.

Kartu Indonesia Sehat

Satu dari sekian banyak persoalan yang menuntut keseriusan adalah bagaimana menciptakan masyarakat sehat jasmani. Karena, tak bisa dipungkiri, buruknya kondisi kesehatan masyarakat selalu terkorelasi dengan manajemen birokrasi negara yang menciptakan sistem penanganan kesehatan nasional yang komprehensip. Jika demikian, maka urusan kesehatan rakyat sudah seharusnya menjadi tanggung negara. Karena secara filosofis, kontitusi pun menyatakan demikian.

Salah satu langkah kongkrit pemerintah dalam menyelenggarakan program jaminan kesehatan tanpa terkecuali untuk masyarakat miskin adalah Program Kartu Indonesia Sehat. BPJS Kesehatan yang telah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional di seluruh Indonesia kini mengelola Kartu Indonesia Sehat yang menjadi bagian dari perluasan cakupan peserta tidak mampu. Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 telah mengamanatkan, bahwa Kartu Indonesia Sehat mampu memberikan kepastian jaminan kesehatan menyeluruh bagi setiap penduduk Indonesia agar dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.

Dengan pendekatan universal jaminan kesehatan, diharapkan KIS akan mewujudkan semua penduduk memiliki jaminan kesehatan. Tidak ada lagi kasus penduduk yang ditolak rumah sakit gara-gara tidak mempunyai uang untuk membayar biaya berobat, menghilangkan stigma sebagai warga negara “kelas dua”  kepada masyarakat yang mendapatkan jaminan kesehatan karena identik sebagai orang miskin, serta terpenuhinya hak-hak dasar kesehatan warga negara.

Kita patut bergembira kepada pemerintah dengan hadirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang lahir sebagai wujud menempatkan rakyat pada wilayah tanggung jawab negara. Esensi dari aturan ini terletak pada adanya kewajiban negara yang dirumuskan secara tegas dalam mengakomodasi hak-hak sehat rakyat miskin. Dalam konteks itu, siapapun yang berada di republik ini memiliki hak sehat, tak peduli dia miskin atau kaya.
Namun, layak menjadi catatan bahwa dukungan stakeholder mutlak diperlukan demi suksesnya jaminan kesehatan secara nasional. Karenanya koordinasi berbagai pemangku kepentingan yang intens dan massif akan mewujudkan suksesnya implementasi Kartu Indonesia Sehat. Dengan demikian cita-cita universal health coverage benar-benar terwujud.

*Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com