Cholid Mahmud: Dana Bagi Hasil Pajak Pusat-Daerah Tidak Transparan

YOGYAKARTA – Anggota Komite IV DPD RI, Cholid Mahmud menilai dana bagi hasil pajak yang disalurkan oleh pemerintah pusat ke daerah, termasuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tidak transparan. Menurt Cholid, daerah tidak mengetahui berapa sebenarnya pajak yang diperoleh,

“Provinsi maupun kabupaten/kota ya hanya menerima saja, tetapi bagian segitu itu dari seberapa tidak tahu,” ungkap Cholid saat menggelar Rapat Kerja dengan jajaran Pemerintah DIY dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-DIY, Rabu (07/8/2019), di Gedung Dewan Derwakilan Daerah DIY Jalan Kusumanegara 133 Yogyakarta.

Dijelaskan Cholid, berdasarkan masukan yang dia terima, saat ini saatnya transparansi dana bagi hasil pajak terus didorong agar dana bagi hasil pajak lebih terbuka lagi. Menurutnya, aspek komunikasi menjadi faktor tidak transparannya masalah tersebut.

Sebagai anggota DPD ia berkomitmen mendorong dan mengevaluasi pemerintah pusat untuk bersikap transparan.

“Daerah tidak pernah diberitahu. Harus terbuka. Ini kan duit negara. Tidak bisa disembunyikan,” tandasnya.

Cholid mengatakan Rapat kerja guna Evaluasi Dana Transfer ke Daerah tahun Anggaran 2018 dan 2019 kali ini bertujuan untuk mendapatkan  informasi dan evaluasi atas dana transfer daerah yang sudah maupun sedang berlangsung.

Rapat dihadiri perwakilan Pemerintah DIY yakni Bappeda, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKA) dan Paniradya Keistimewaan. Sedangkan pemerintah kabupaten/ kota diwakili Bappeda serta Dinas Keuangan dan Aset daerah,

“Selain itu, juga dalam rangka menjaring aspirasi terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2020 yang perlu mendapat perhatian anggota Komite IV DPD RI sebagai dasar untuk dibahas dan ditindaklanjuti dalam persiapan RAPBN 2020,” ujarnya.

Menurut Cholid ada beberapa isu penting dalam RAPBN 2020 kaitannya dengan daerah.

Pertama, memastikan pemda melaksanakan tugasnya dalam pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan dasar publik di daerah.

Kedua, penguatan kebijakan DAK (Dana Alokasi Khusus) fisik afirmasi kepada daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) untuk mengejar ketertinggalan kuantitas dan kualitas layanan publik terutama infrastruktur konektivitas.

Ketiga,memperkuat pengalokasian DAK nonfisik berbasis kinerja, terutama bidang pendidikan dan kesehatan. Keempat, peningkatan DID (Dana Insentif Daerah) untuk memacu kinerja pemda. Kelima, penguatan Dana Desa dan pengawasannya.

Dari hasil presentasi diketahui dana transfer terkecil adalah dana hasil bumi dan alam, karena DIY tidak memiliki hasil alam yang besar sebagaimana provinsi lain.

Hal lain yang dirasakan menggganjal adalah terkait kontrak ndelosor yang menyulitkan pemda. Ditambah lagi juknis (petunjuk teknis) dari pusat turun terlambat sehingga tercipta masalah klasik.

Cholid mencontohkan, ada proyek dengan pagu anggaran dari pemerintah pusat misalnya Rp 100 miliar, ternyata saat lelang kontraktor menawar lebih murah Rp 80 miliar.

“Nah, ini jadi masalah. Ini kan unik. Pada satu sisi sebenarnya itu efisiensi tetapi di sisi lain dianggap kinerja pemda kurang bagus karena tidak mampu menghabiskan anggaran,” ujarnya.

Untuk konteks DIY, sudah ada apresiasi kepada OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang bisa melakukan efisiensi.

Sementara pada sistem keuangan pemerintah pusat hal seperti itu tidak ada. Daerah yang tidak mampu menghabiskan anggaran justru dianggap prestasinya kurang bagus. Ini yang tidak bisa diterima oleh logika publik.

Problematika lain yang masuk ke DPD RI menyangkut aplikasi-aplikasi di kementerian yang belum sinkron dengan kondisi di daerah.

“Misalnya di Kementerian Kesehatan ada aplikasi tertentu, kemudian di Kementerian Keuangan ada aplikasi pengusulan namun tidak nyambung dengan prioritas di daerah,” ungkapnya.

Cholid Mahmud juga sempat menyinggung Dana Keistimewaan (Danais). “Panjenengan ada masalah ndak dengan Danais? Nggak usah takut ya, takut nanti ndak dikasih lagi,” ujarnya bercanda.

Perwakilan dari Paniradya menyatakan selama ini transfer Danais tidak ada masalah alias lancar. Masih dalam batasan aman.

Tahun ini Danais sebesar Rp  1,2 triliun.Sedangkan tahun lalu tersisa Rp 37,5 miliar, yang langsung dikurangi saat  transfer Danais 2019.

Sebagaimana disampaikan peserta rapat kerja, menurut Cholid, keberadaan Danais membuat sebagian program kemeterian tidak bisa dijalankan di DIY. 

Misalnya DAK non-fisik bidang pariwisata, museum dan Taman Budaya dari Kementerian Pariwisata serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. DIY tidak bisa memperolehnya karena sudah ada Danais. (kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com