Membumikan Pengawasan Berbasis Masyarakat

Oleh : Vici Herawati*

Sebagai negara yang memilih sistem demokrasi, pergantian kekuasaan melalui  mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat adalah suatu keniscayaan. Di Indonesia pergantian kekuasaan dilakukan secara periodik lima tahunan melalui ajang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih anggota legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah untuk memilih Gubernur, Bupati,dan Wali Kota.

Pemilu mensyaratkan pelaksanaan yang berintegritas untuk menghasilkan pemimpin berkualitas. Dalam rangka mewujudkan Pemilu berintegritas terdapat tiga pelaku utama yang harus saling bersinergi dengan baik, yaknipenyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan pemilih atau masyarakat.

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Integritas penyelenggara pemilu menjadi prasyarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas.

Bukan hal yang mudah menjalankan tugas dan kewajiban sebagai penyelenggara Pemilu. Banyak tantangan yang dihadapi, baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, sejak proses seleksi penyelenggara Pemilu sampai tingkat TPS harus sudah terpilih orang-orang yang memang memiliki mental dan kompetensi yang memadai.

Di pihak lain, peserta Pemilu turut berkontribusi menentukan kualitas pemilu. Sebagai pihak yang berkompetisi, peserta Pemilu seyogyanya bisa melaksanakan regulasi Pemilu padasetiap tahapan. Pelaksanaan regulasi yang konsisten akan menekan terjadinya pelanggaran Pemilu. Selain berjibaku dalam kompetisi, peserta Pemilu juga memiliki kewajiban melaksanakan pendidikan politik kepada masyarakat. Keberadaan partai politik (parpol) harus berkorelasi positif dengan tumbuhnya kesadaran politik masyarakat dari waktu ke waktu, sehingga masyarakatsebagai insan politikdapat menentukan sikap politik secara sadar dan merdeka.

Salah satu indikator penting kesadaran politik masyarakat adalah angka partisipasi dalam Pemilu. Memang, pada Pemilu 2019 tercatat angka partisipasi nasional melebihi 80 persen, angka partisipasi yang cukup tinggi bila dibandingkan Pemilu sebelumnya. Tetapi angka partisipasi penggunaan hak pilih tidaklah cukup untuk menilai kualitas demokrasi. Partisipasi diharapkan tidak hanya sebatas datang ke TPS dan menggunakan hak suara. Tidak sebagai insan politik yang pasif yang ‘memposisikan diri’ atau ‘diposisikan’ sebagai obyek. Lebih dari itu diharapkan masyarakat dapat ikut serta terlibat aktif sebagai subyek dalam pelaksanaan Pemilu.

Keterlibatan aktif masyarakat salah satunya dengan turut mengawasi pelaksanaan Pemilu di lingkungannya guna memastikan pelaksanaan Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.Sebab, Pemilu sesungguhnya milik masyarakat yang akan menentukan pemimpinnya. Ketika proses Pemilu melenceng dari seharusnya, maka yang dirugikan adalah kedaulatan masyarakat itu sendiri. Kedaulatan rakyat, demikian istilah konstitusi kita, harus benar-benar terwujud dengan terselenggaranya Pemilu yang bersih, jujur, dan adil.

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini biasa dikenal dengan istilah pengawasan partisipatif. Pengawasan partispatif menjadi penting mengingat terbatasnya  personel pengawas Pemilu. Sampai saat ini, tingkat partisipasi pengawasan oleh masyarakat terbilang masih rendah. Berdasarkan data Bawaslu Provinsi DI Yogyakarta (DIY)selama pelaksanaan Pemilu 2019, Bawaslu di wilayah DIY menerima total 26 laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran Pemilu, dimana dua di antaranya dinyatakan bukanmerupakan pelanggaran Pemilu. Angka ini tentu masih jauh dari harapan mengingat kompleksitas persoalan Pemilu 2019 yang berpeluang memunculkan banyaknya pelanggaran.

Upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu sejatinya sudah banyak dilakukan oleh Bawaslu. Tercatat setidaknya ada tujuh strategi yang ditempuh Bawaslu, antara lainpengawasan berbasis TImelalui Gowaslu, Pojok Pengawasan, Saka Adhyasta Pemilu, Pengabdian Masyarakat, Media Sosial, dan Gerakan Pengawasan Partisipatif Pemilu.

Khusus Gerakan Pengawasan Partisipatif Pemilu merupakan gerakan sosial masyarakat yang dikembangkan oleh Bawaslu secara sistemik dalam rekruitmen relawan partisipatif Pemilu.Relawan pengawas ini merupakan perpanjangan tangan Bawaslu yang turut mengawasi tahapan Pemilu. Para relawan ini dibekali pengetahuan mengenai regulasi dan pengawasan Pemilu yang selanjutnya diharapkan bisa melakukan pengawasan partisipatif. Pola rekruitmen relawan melalui dua metode, yaitu rekruitmen secara langsung dimana relawan mendaftarkan dirinya untuk menjadi relawan pengawas Pemilu dan metode yang kedua melalui simpul relawan.

Simpul relawan merupakan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang menandatangani nota kesepakatan bersama Bawaslu DIY untuk bergabung melaksanakan pengawasan partisipatif. Selanjutnya, simpul relawan akan mengkoordinir relawan dibawahnya dan melakukan peningkatan kapasitas terhadap relawan-relawan yang dimiliki.

Secara empiris, pelaksanaan program pengawasan partisipatif masih jauh dari ideal. Data Bawaslu DIY mencatat terdapat 2.417 relawan aktif pengawas Pemilu serta OMS. Jumlah ini masih sangat kecil apabila dibandingkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di Provinsi DIY berdasarkan data KPU DIY adalah 2.695.805 pemilih. Beberapa permasalahan yang ditemukan dilapanganmulai dari apatisme terhadap politik khususnya Pemilu, ketakutan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengawasan hingga rumitnya prosedur pelaporan. Berbagai permasalahan ini masih menjadi persoalan berarti dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Hal ini dapat dipahami mengingat masih banyak masyarakat kita belum mendapatkan pemahaman yang mencukupi terkait pelaksanaan tahapan dan pengawasan Pemilu.

Perlu pendidikan politik elektoral berkesinambungan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan posisinya sebagai subyek yang memiliki Pemilu. Tentunya proses ini membutuhkan waktu yang panjang. Perlu suatu gerakan yang terstruktur dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan tidak hanya pada saat tahapan Pemilu. Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, salah satu strategi yang bisa digunakan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui institusi sektoral  atau teritorial.

Institusi sektoral dengan memanfaatkan komunitas yang sudah ada di masyarakat. Masyarakat kita memiliki banyak komunitasyang menjangkau masyarakat dalam skala luas, seperti PKK dan Karang Taruna. Secara teritorial perlu ada kesepakatan pemangku wilayah hingga level terbawah bahwa pendidikan politik elektoral merupakan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya pemahaman bersama bahwa program pendidikan elektoral merupakan kebutuhan masyarakat, program ini dapat menjadi program yang masuk dalam skala prioritas pemerintah dan dilaksanakan secara berkesinambungan.

Ke depan, apabila kesadaran masyarakat terkait hak dan kewajibansudah terbentuk, mengajak masyarakat untuk aktif berperan menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya Pemilu melalui pengawasan partisipatifbukan lagi menjadi hal yang sulit. (*)

*Penulis adalah Anggota BAWASLU Kabupaten Sleman

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com