Menuju Kongres Pemuda Era Digital

Oleh: Chaerudin Affan, SE, M.Kesos*

Pada era awal-awal pergerakan modern di tahun 1910-1920an terdapat banyak organisasi pendidikan atau organisasi kepemudaan di Indonesia. Semangat mereka adalah menuntut perbaikan hidup, keadilan, dan kesetaraan. Ditahun tahun itu pula para pendiri negara sudah mulai bergerilya hingga Eropa sana. Kaum pemuda terpelajar melakukan konsulidasi dan penyadaran kepada masyarakat, atas perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah kala itu.

Pergerakan pemuda dilakukan hampir di setiap daerah. Gerakan mogog kerja juga pernah tercatat dalam sejarah penjajahan saat itu. Hingga akhirnya konsepsi negara republik Indonesia berhasil di sounding oleh para terpelajar dipertengahan 1920-1930. Tan Malaka yang tercatat pernah diserukan melalui bukunya “Naar de Republike Indonesia” ditahun 1925 dan kemudian dilantangkan kembali oleh Soekarno.

Konsepsi sebuah negara merdeka, menjadi nafas baru dari gerakan pemuda dan intelektual di Nusantara. Dengan sigap para tokoh muda seperti Kartosoewirjo, Mohammad Roem, J. Leimena, Soegondo Djojopoespito, Djoko Marsaid, Adnan Kapau Gani, M. Yamin, Amir Syarifuddin Harahap, W.R Supratman, S. Mangoensarkoro, Sie Kong Liong, dan Kasman Singodimedjo merumuskan sumpah pemuda yang merupakan kristalisasi dari pembahasan dalam kongres pemuda kedua 1928. Kongres pemuda melibatkan organisasi-organisasi kepemudaan yang berbasis kesukuan dan organisasi pendidikan. Dalam kongeres tersebut hadir Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), dan Pemuda Kaum Betawi.

Konsulidasi membunyikan gong persatuan perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah dan mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa, terjadi pada tahun 1928. Dengan semangat persatuan, mereka berikrar: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.”

Zaman terus berganti, hingga beberapa puluh tahun kemudian ikrar tersebut bertemu dengan ridho Tuhan, kemerdekaan menjadi kenyataan. Malam itu sebelum pidato kemerdekaan Soekarno dan Hatta di bacakan, kaum muda mengambil peran untuk membujuk kedua tokoh nasional agar segera mendeklarasikan kemerdekaan. Sukarni, Yusuf Kunto, dkk adalah tokoh muda saat itu yang berhasil membujuk Soekarno dan Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan.

Berselang 25 tahun dari kemerdekaan Indonesia, dalam situasi guncang ganjing sosial, ekonomi dan politik, kaum muda kembali menunjukan perannya. Keritik pedas terhadap situasi tersebut berlangsung bertahun-tahun mewarnai surat kabar nasional. Konsepsi-konsepsi pemikiran kaum terpelajar yang terpadu dengan kepekaan terhadap situasi masyarakat menjadi pendobrak, menuju harapan baru. Tidak juga kita lupa pada tahun 1974. Kalangan mahasiswa bersama rakyat melakukan keritik keras terhadap investasi besar-besaran dari luar negeri. Dan tentu belum lekang dari ingatan kita pergolakan menuju reformasi 1998. Kaum muda juga menjadi motor dalam perubahan.

Kini 92 tahun sudah sejak Ikrar para pemuda saat itu dikumandangkan. Zaman sudah berganti berkali-kali, negara tercinta sudah mengalami cobaan yg tidak sekali. Era digital katanya, saat dunia seolah dilipat dengan kemajuan teknologi. Saat ini siilaturahmi dan diskusi bisa dilakukan dari jarak jauh. Informasi yg dulu hanya dimiliki kaum elit kini bisa dengan terbuka diakses lewat internet. Konsepsi bisa disebarkan melalui media sosial. Namun tantangan yang dihadapi juga berbeda dengan zaman sebelunya.

Zaman yang sudah berganti lalu membawa kemajuan teknologi menjadi sebuah keniscayaan yg terbukti. Namun pokok-pokok permasalahan juga seling barganti tidak jarang terulang lagi. Keadilan, kesetaraan, kemiskinan, kelaparan, dan penindasan belum juga terselesaikan. Semangat kebersamaan untuk membawa Indonesia mencapai cita-citanya perlu lagi diingatkan. Memperingati sumpah pemuda 1928 adalah cara mencari spirit kebersamaan untuk menyelesaikan permasalahan yang kerap menyandra Indonesia untuk melangkah kedepan.

Suara pemuda perlu lagi digaungkan, gagasan-gagasan pemuda perlu lagi dipertemukan. Tentu tidak lagi dengan entitas kesukuan, karena sejak 1928 kita sudah berikrar menjadi satu bangsa. Perjalanan kekini sering memisahkan kaum muda atas profesinya. Hal itu digambarkan dengan besarnya ego sektoral yang kerap menjadi momok penghabat sinergisitas dan akselerasi pembangunan. Untuk itu bersamaan tulisan ini, saya mengundang kawan-kawan pemuda dari lintas profesi untuk bergabung dalam diskusi merefleksikan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) Fisip UI. Diskusi akan diselenggarakan secara online melalui media zoom, dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 2020. Kami berharap suara anda bergabung di ruang diskusi. Salam Pemuda… Bahwa sesungguhnya pemuda adalah harapan untuk Indonesia mencapai cita-citanya, yang adil dan makmur.(*)

*Penulis adalah Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com