Ketika dunia memasuki babak baru revolusi digital, Asia Tenggara berdiri di persimpangan sejarah baru. Di tengah derasnya arus inovasi, negara-negara ASEAN sepakat melahirkan Digital Economy Framework Agreement ( DEFA ). Kesepakatan substansial telah ditandatangani awal Oktober di Jakarta dan akan ditandatngani secara penuh tahun 2026. Hal ini menjandi penanda baru yang akan menentukan masa depan ekonomi kawasan ini.
Gagasan DEFA muncul dari kesadaran kolektif, bahwa transformasi digital tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Selama ini, masing-masing negara di ASEAN mengembangkan sistem pembayaran, regulasi data, hingga kebijakan e-commerce dengan cara berbeda. Akibatnya, ekosistem digital di kawasan ini menjadi terfragmentasi dan tidak efisien. Melalui kesepakatan ini, ASEAN berupaya menyatukan standar, memperkuat interoperabilitas, dan menciptakan pasar digital tunggal.
Peluang Ekonomi Digital
Perjanjian DEFA mencakup Sembilan aspek strategis yaitu Cross-Border Data Flows, Electronic Payments, Personal Data Protection, Digital Identities, Talent Mobility Cooperation, IA Cooperation, Competition Policy, Online Safety & Cybersecurity, dan Source Code Protection. Hal ini untuk mendorong terwujudnya visi ASEAN 2045: Our Shared Future. Jika terlaksana dengan baik, nilai ekonomi digital ASEAN diperkirakan dapat melonjak hingga 2 triliun dolar AS pada 2030, dua kali lipat dari proyeksi saat ini.
Bagi Indonesia, DEFA bukan sekadar perjanjian internasional, melainkan momentum strategis untuk memperkuat kedaulatan digital dan meneguhkan posisi sebagai lokomotif ekonomi digital Asia Tenggara. Posisi Indonesia sangat penting dan sangat diuntungkan dengan populasi sekitar 283,5 juta (World Bank, 2024) setara 40 persen populasi ASEAN. Berdasarkan Laporan e‑Conomy SEA (2024), ekonomi digital Indonesia berdasarkan GMV (Gross Merchandise Value) berkontribusi sekitar US$90 miliar atau 36,2%. Jika DEFA telah berlaku, UMKM Indonesia dapat menjual produk ke Malaysia atau Vietnam dengan sistem pembayaran yang sama mudahnya seperti transaksi domestik.
DEFA merupakan peluang strategis untuk memperkuat ekosistem ekonomi digital nasional. Melalui keterlibatan aktif dalam ekosistem ini, Indonesia bisa memperluas ekspor digital, memperkuat posisi startup nasional, dan menarik investasi di bidang teknologi. DEFA juga sejalan dengan visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang digagas oleh BI. Blueprint ini menekankan integrasi, efisiensi, dan keamanan sistem pembayaran nasional di tengah akselerasi ekonomi digital.
Dalam konteks ini, inisiatif seperti QRIS menjadi simbol penting kemandirian dan interoperabilitas sistem pembayaran di Indonesia. Jika kedua inisiatif tersebut disinergikan, Indonesia berpeluang menjadi pionir ekonomi digital yang inklusif di kawasan ASEAN. Sinergi DEFA dan kebijakan domestik dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pasar terbesar, tetapi juga sebagai penggerak utama transformasi digital.
Namun, seperti semua proyek besar, DEFA juga membawa banyak tantangan. Integrasi digital menuntut kesiapan infrastruktur, regulasi, dan literasi yang setara. Tidak semua negara ASEAN memiliki kapasitas teknologi dan regulasi yang memadai. Di sinilah pentingnya kepemimpinan Indonesia, bukan hanya sebagai pengguna pasar, tetapi diharapkan sebagai penentu arah dan penjaga etika digital kawasan. Apalagi isu keamanan data dan privasi kini menjadi perhatian global.
Pemerintah daerah pun harus berperan aktif dalam membangun infrastruktur digital yang merata. Sehingga transformasi ini tidak hanya dinikmati kota besar, tetapi juga daerah terpencil. Dengan demikian, DEFA akan menjadi momentum pemberdayaan ekonomi. Bukan sekadar arus globalisasi baru yang lewat tanpa makna.
Digital Ethics dalam Ekonomi Digital
Peluang besar itu hanya akan berarti bila masyarakat Indonesia ikut menyiapkan diri menyongsong era DEFA. Hal ini bukan sekadar soal melek digital, tetapi juga tentang digital ethics. Etika berkaitan keamanan data, dan kemampuan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Dunia pendidikan perlu menanamkan literasi digital sejak dini. Sementara pelaku UMKM, perlu memperkuat kehadiran mereka di pasar daring dengan strategi yang lebih profesional.
Lebih jauh, etika digital menjadi fondasi moral yang tak boleh diabaikan dalam menyongsong DEFA. Ketika data menjadi minyak baru dan algoritma mengatur perilaku ekonomi, nilai-nilai etis rawan terpinggirkan. Karena itu, masyarakat harus dibekali kesadaran bahwa setiap klik, unggahan, dan transaksi membawa tanggung jawab moral.
Etika digital menuntut kejujuran dalam transaksi, perlindungan privasi, transparansi algoritma, dan penghormatan terhadap martabat manusia di ruang siber. Tanpa etika, ekonomi digital hanya akan melahirkan efisiensi tanpa nurani. Sebuah transformasi ekonomi yang kehilangan arah moralnya.
Dalam perspektif Islam, etika digital berakar pada prinsip masuliyah, amanah, ‘adalah, dan ihsan. Dunia maya bukan ruang hampa tidak bertuan, tetapi bagian dari wilayah tanggung jawab moral setiap muslim. Etika Islam menuntun agar setiap data dijaga, setiap informasi disampaikan dengan benar, dan setiap transaksi dilakukan dengan jujur (QS. An-Nisa’: 58). Etika digital Islami bukan sekadar aturan teknis, melainkan manifestasi dari al-akhlaq al-karimah dalam arsitektur ekonomi digital modern.
Akhirnya, DEFA bukan sekadar dokumen hukum antarnegara. Lebih dari itu, merupakan perjanjian moral tentang masa depan ekonomi Kawasan. ASEAN tidak boleh sekadar menjadi konsumen teknologi global, tetapi juga produsen nilai tambah digital yang berdaulat. Sebagaimana dikatakan oleh ekonom Joseph Stiglitz, globalization works for those who write the rules (globalisasi hanya menguntungkan mereka yang menulis aturannya). Indonesia harus ikut menulis aturan permainan ekonomi digital, bukan sekadar menjadi konsumen produk digital dan pasar pasif.
*Penulis adalah Guru Besar UIN Salatiga dan Pengampu Makul Etika Bisnis Islam














