Fabel Oleh: Dul Waras
Nun, di belantara hutan bernama Indoaisen, selama ratusan tahun Badak, Banteng, Pukang, Anoa yang endemis asli, hidup dengan tenang nan damai. Tak ada ribut soal suku, ras, agama dan golongan. Terlebih, ribut soal makanan. Nggak bingits.
Yup, Indoaisen memang gemah ripah loh jinawi. Segala apa ada. Tak heran jika ada yang menjulukinya miniatur nirwana. Mirip di dunia manusia ada band legendaris Koes Ploes dari negara Indonesia yang menggambarkan negaranya bak surga, “tongkat bambupun bisa jadi tanaman, na na na”.
Suatu ketika, kesohoran hutan Indoaisen terdengar warga hutan di belahan benua lain. Herder (Anjing), Panda, Onta, Pika (sejenis Monyet) dan Kobra. Penasaran, merekapun mengarungi samudera meninggalkan hutan endemisnya.
Singkat cerita, di hutan Indoaisen, mereka benar-benar betah. Ogah balik kampung, eh, hutan maksudnya. Panda yang ganas namun selalu tampil imut berhasil menguasai perdagangan bahan bangunan hingga elektronik. Onta yang terkesan kuat dan besar meski sejatinya rakus (terutama kalau minum dan kawin), berhasil dibidang impor buah manisan, pakaian hingga air suci dari hutan asalnya.
Kobra yang jarang muncul tapi sekalinya muncul menyemburkan bisa, sukses menguasai bidang perdagangan kain hingga industri hiburan joget-joget dan sinetron cengeng yang digemari para betina.
Anjing bahkan hampir di segala sektor, bahkan tambang emas dan minyak, meski sebagiannya sekarang digarap Panda. Pika masih raja industri otomotif tak terkalahkan.
Sementara itu, Banteng, Pukang, Badak, Anoa dan sebagainya yang merasa endemis Indoaisen (bahasa manusianya pribumi), lama lama gerah. Karena Onta, Panda, Herder, Pika dan Kobra semakin berkuasa. Tak hanya ekonomi tapi merambah ke politik.
Namun, sayangnya mereka bisanya cuma gerah. Marah marah dan membenci. Alih-alih melawan binatang asing malah diantara sesama endemis Indoaisen saling caci dan berantem.
Tiap hari otaknya isinya “mendukung dan membenci”. Melawan dengan cara bodoh, isunya sentimen Agama. Segala kemarahan dan kebencian dihubungkan dengan Agama. Agamapun jadi seram. Mereka lupa kalau Agama sejatinya bikin sehat dan damai, bukan bikin tensi tinggi alias kuat marah tapi lemah gerak.
Melihat itu semua Panda, Onta, Herder, Pika, dan Kobra, ngekek-ngekek, sebagian sampai terkencing-kencing sanking senengnya.
Herder: “Emang kita rugi apa di Anjing-Anjingkan, di Panda-Pandakan, di Onta-ontakan, di Pika-Pikakan, di Kobra-kobrakan? Stupid! Ha ha ha”.
Panda: “Haiya, malah dan benci aja telus bial kaga bisa mikil peloduktif, biar kita-kita yang tetap peloduksi”. (Maklum panda susah ngomong ‘R’).
Pika: “Haik! bodoh kok dipiara seumur hidup, pantesan nggak selesai-selesai jadi hutan jajahan”.
Kobra: “Aca! aca!, biarin nggak nyadar kalau pemimpin-pemimpin mereka aja kita yang angkat, sistemnya kita yang bikin biar apa-apa duit. Emang mereka punya duit? Kan kita yang punya duit”.
Onta: “Biarin mereka mengira kita musuhan, biarin mereka dukung dan benci kita. Biarin mereka jadi bahlul, setidaknya tidak tambah pinter dan bisa melawan kita dengan strategi yang bener. Ane do’akan ente-ente semua hewan-hewan Indoaisen tetep istiqomah gitu, yang fenting fulus ane aman”.
“Ha ha ha ha” semua tertawa.
Sementara itu, Banteng, Pukang, Anoa dan lain lain sibuk saling hujat di group whats app. Pagi, siang, sore dan malam, bak minum obat, mereka ramai dan ribut jadi provokator di Sosial Media (Sosmed).
Nun, di dalam goa Macan-Macan bergumam,
“Oh saudaraku, memanfaatkan teknologi aja nggak bisa apalagi membuatnya. Minimal buat media pemersatu gitu loh…Duh Gusti, Mudah mudahan masih ada yang punya akal sehat di hutan Indoaisen. Aamiin”. Doa Macan menutup cerita kali ini. (Bersambung).
Yogyakarta, ujung senja, 20 Desember 2019.
Catatan: Penulis sengaja menggunakan anonym karena berpegang pada perinsip; menulis bukan untuk tujuan agar terkenal.