Oleh: Prof. Dr. H. Dudung Abdurahman. M.Hum
Sebentar lagi lebaran tiba, tetapi tidak seperti biasanya hari raya tahunan umat muslim kali ini terasa kurang semarak, akibat merebaknya pandemi Covid-19. Tradisi mudik di akhir Ramadhan, kini harus puas dengan hanya tetap tinggal di perantauan. Silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman cukup dengan komunikasi daring dan hubungan sosial berjarak. Begitu halnya dengan penyempurnaan ibadah Ramadhan, dengan shalat ied, hanya boleh dilakukan di rumah masing-masing keluarga kecil.
Apakah suasana lebaran seperti itu juga harus mengurangi makna ruhaniah atas kesyahduan Ramadhan yang berpuncak pada idul fitri ? Pertanyaan inilah yang mesti dijadikan bahan bermawas diri, sehingga Covid-19 tidaklah selalu dijadikan kambing hitam terhadap raihan hakiki dari lebaran. Bahkan puncak Ramadhan 1441 H. ini, diharapkan bermakna yang sangat istimewa untuk mendorong semangat masyarakat segera terbebas dari wabah corona.
Seperti dirasakan oleh semua penduduk negeri sekarang ini, momentum lebaran berlangsung dalam suasana keterpurukan masyarakat akibat wabah Covid-19. Suasana ini diharapkan tetap mengispirasi masyarakat untuk bersatu dan bergotong-royong dalam menanggulangi berbagai dampak wabah tersebut. Namun momentum lebaran, yang syarat nilai-nilai sillaturrahmi, juga patut dimaknai lebih luas dari sekedar mudik yang kini dilarang. Lebaran justru dijadikan semangat bermawas diri untuk mengukir persaudaraan (ukhuwwah) yang sejati.
Bermawas diri yang didasarkan pengembangan nilai-nilai luhur dari ibadah Ramadhan kini, diharapkan menjadi modal besar untuk memperkokoh karakter masyarakat. Terutama kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan dalam hidup ini, telah dilatih melalui ibadah puasa agar setiap diri mampu menahan dorongan dan desakan memenuhi kebutuhan hidup yang menjelma menjadi dorongan “hawa nafsu”. Dinyatakan hadits Nabi, bahwa bila seseorang menahan lapar dan dahaga namun tetap melakukan amal buruk seperti omongan palsu, fitnah, sikap menyakiti orang lain, dan sebagainya, maka Tuhan tidak perlu kapada puasanya itu, atau sia-sia belaka ibadah puasanya. Hal ini dapat dimaknai sebagai konsekuensi dari keinsafan mendalam dalam kehidupan yang bermoralitas tinggi dan bebasis al-akhlaq al-karimah.
Penempaan diri ke arah kehidupan yang berbudi luhur selama bulan Ramadhan itu pula telah memberikan hikmah kemanusiaan yang berpengaruh terhadap dimensi kehidupan sosial. Rasa empati kepada orang yang berada dalam kesusahan, dilakukan atas anjuran untuk peduli dan membantu fakir-miskin, yaitu dengan mengeluarkan zakat fitrah dan zakat mal. Ibadah sosial ini, selain berarti penyucian terhadap harta kekayaan, juga menegaskan harta tidak boleh diperoleh melalui cara-cara yang tidak benar, batil, atau dengan penindasan terhadap hak orang lain. Sebagaimana Alquran memperingatkan: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu (QS An-Nisa, 4:29). Pentingnya amal sosial tersebut jelas bermakna meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaan.
Berpuasa secara benar serta dilengkapi amalan-amalan shaleh, pada gilirannya memberikan predikat fitri kepada para pelakunya, berarti mereka kembali kepada kesucian dan kebersihan jiwa, dan mereka kembali memiliki hati nurani yang secara alamiah akan mudah mencintai kebajikan dan kebenaran. Keadaan hati yang sebelumnya tertutup oleh kepentingan diri sendiri, kepicikan, kesempitan, dan sifat-sifat dhalim lainnya, berubah menjadi nurani yang memiliki kepekaan terhadap aturan moral atau akhlak mulia. Kembali ke alam kesucian diri sesungguhnya telah membawa kebahagiaan tersendiri yakni kebahagiaan yang dilambangkan dalam hari Idul Fitri sebagai simbol kebebasan dari segala dosa. Keadaan ini pun merupakan inti kebahagiaan hidup dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dan pola kehidupan yang penuh kedamaian.
Hari Raya Lebaran besok juga diharapkan menjadi simbol kemenangan atas musibah Covid-19 yang tengah menerpa masyarakat. Apabila musibah ini terjadi sebagai ujian Tuhan kepada umat manusia, maka berintrospeksi diri untuk mencapai ampunan-Nya adalah kunci pembuka bagi keselamatan serta kesejahteraan kehidupan yang terhindar dari wabah ini. Tetapi sebaliknya, bilamana musibah ini terjadi karena kelalaian manusia dalam membangun harmoni kehidupan, maka berbagai dampaknya penting disikapi dengan penuh kesabaran, menggunakan hati nurani yang jernih, dan saling pengertian dalam kebersamaan. Penyelesaian berbagai masalah bukan dilakukan berdasarkan kemarahan dan emosional, apalagi atas hawa nafsu berbagai kepentingan yang memutuskan tali persaudaraan.
Demikianlah, lebaran besok sekalipun hanya di rumah saja, diharapkan menjadi tonggak yang dapat menyanggah masyarakat untuk tidak berputus asa dan mendorong mereka terus bergotong-royong atas ketakwaan, sehingga kita segera terbebas dari ancaman virus corona. Insya Allah. (*)
*Sejarawan Islam, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga