Oleh: Latif Pungkasniar
AKU mencintai laut sebagaimana mataku mencintai airmata. Ibuku pernah bercerita bahwa air laut itu berasal dari kepedihan air mata, laut yang dulu tawar itu telah digarami air mata Hawa yang terusir dari surga. Tapi sekarang aku lebih fasih mengeja air laut, air yang mengajariku banyak hal tentang penghianatan. Seperti penghianatan iblis yang menggoda Hawa.
Hawa, sumber segala hidup sekaligus sumber dari segala kesialan dunia. Seharusnya kita para manusia tidak berada di dunia, kita berada di surga. Tidak ada air laut yang asin disana, karena Hawa belum pernah menangis sampai kejer di surga. Air di sana semua susu. Berbahagialah bagi kalian yang suka minum susu!
Air laut yang asin itu kini mendominasi bumi, entahlah apakah banyak tangisan yang tak sanggup diterima tanah? Lalu kembali ke pantai, menuju laut. Mungkin saja begitu. Karena sekarang banyak sekali tangisan yang tak digubris sekarang ini. Apalagi tangisan rakyat jelata, tentu saja.
Tapi apakah kalian tak merasakan bahwa air laut semakin hari semakin asin?
Semakin hari semakin asin! Nyaris pahit malah. Tampaknya air mata hawa mengalir lebih deras dibandingkan pada saat dia terusir dari surga, atau mungkin air mata hawa-hawa yang lain yang belum juga diijinkan mengintip surga. Atau apa? ada gerangan apakah?
#
Bencana itu dimulai saat orang-orang yang rapi itu mulai memfoto daerah pinggir pantai. Bukan hal yang aneh jika yang mengambil gambar bukan orang-orang yang rapi seperti mereka, karena pantai ini meskipun jarang, pantai ini sesekali didatangi pelancong yang nyasar atau pelancong yang iseng, karena pantai disini memang kotor dan sepi.
Sampai pada beberapa waktu lalu orang-orang yang rapi itu kembali. Kali ini mereka membawa serta orang-orang yang lebih rapi dan lebih buncit perutnya, mengenakan jas, berkacamata bening, rambut botak; entah untuk mikir apa. Berbicara serius, terlihat dari dahi yang berkerut-kerut dan mulut yang komat-kamit cepat. Adu pendapat.
Manusia-manusia itu sesekali mengambil sejumput pasir untuk dijadikan bahan obrolan. Entah apa yang berada dalam benak mereka. Percakapan terkadang diselingi gelak tawa dan hembusan rokok yang asapnya langsung dilahap angin pantai, hahaha pantai memang selalu rakus akan rokok!
Tak lama berselang datang seseorang yang tidak rapi, membawa sebuah papan. Papan itu bertuliskan satu kalimat yang pada suatu saat nanti akan menimbulkan banyak polemik.
DISINI AKAN DIBANGUN TAMBANG PASIR
#
Pada mulanya tambang pasir itu berjalan dengan baik, tapi seperti lazimnya sesuatu yang baru dan asing. Tambang pasir itu mulai menuai kesetujuan dan ketidaksetujuan, kubu setuju berpendapat bahwa tambang pasir ini dapat membantu perekonomian masyarakat yang pada awalnya hanyalah nelayan yang penghasilannya hanya seberapa, dengan adanya tambang pasir di desa mereka, kubu setuju berharap taraf hidup masyarakat bisa terangkat, di lain sisi kubu tidak setuju berangapan bahwa tambang pasir itu nantinya hanya akan menjadi bumerang untuk mansyarakat desa, kubu ini berangapan bahan tambang pasir itu hanyalah wujud eksploitasi, pengurasan sumber daya alam yang nanti justru menimbulkan masalah bagi masyarakat pesisir nantinya. Entahlah yang benar yang mana, saya bukan hakim disini.
Sudah jelas saat ini kubu itu kini saling bertentangan, meskipun hanya dibedakan dengan satu kata saja “tidak”! ah betapa hebatnya kata-kata itu, dua kubu bisa saling bermusuhan dengan beda satu kata saja.
#
Persekutuan juga sudah mulai terjadi, kubu setuju bersekutu dengan perusahaan tambang dan kubu tidaksetuju dengan bersekutu dengan LSM. Keadaan semakin meruncing, kedua kubu itu kini tidak hanya beradu argumentasi. Gontok-gontokan sudah menjadi pemandangan yang lazim sekarang ini, semua memegang pendapatnya dengan teguh, perpecahan terjadi seiring dengan perkubuan yang menguat. Suasana memanas, bagai api dalam sekam. Semuanya bisa habis kapan saja. Tak ada yang tahu. Kehidupan pesisir yang biasanya damai dan ramah kini berubah. Keadaan tetap tenang dan diam, tapi tatapan orang-orang disini sudah penuh dengan kecurigaan dan kebencian, terlebih tatapan kepada orang asing yang baru datang, kecurigaan jangan-jangan itu karyawan tambang, atau orang LSM yang membantu kubu tidak setuju.
Pos-pos penjagaan mulai dibangun, jam malam mulai diterapkan. Potensi saling serang kedua kubu mulai menjalar ke anak-anak kecil yang belum tahu apa-apa. Mereka juga mulai berkubu begitu juga dalam hal bermain.
Suasana sepi, lengang dan mencekam.
Ah, dan aku kini tahu kenapa air laut di pantai ini beranjak pahit. Leluhur tentu sesengukan di atas sana. Melihat anak cucunya kini berkubu dan bermusuhan. Di langit desa pesisir itu kini telah jatuh hujan air mata, air mataku. Leluhurmu.
Catatan: Penulis adalah editor buku Erlangga Jakarta