Seputar Soal-soal Khutbah Jum’at yang Tiada Berjawaban

Oleh: Kasmayadi

Cepat-cepatlah dia membilas sekujur tubuhnya dengan guyuran air berkali-kali, menggunakan gayung plastik. Antara mereaksi permintaan seorang temannya yang teriak-teriak dari luar minta supaya lekas selesai mandi, karena ia tengah kebelet, atau perasaannya saja yang terburu-buru hendak ke masjid menunaikan kewajiban berjum’at layaknya kewajiban laki-laki baligh lainnya. Karena azan jum’at baru usai berkumandang, berganti dengan pembacaan khutbah, sedang waktu tidak pernah berhenti barang sejenakpun, sehingga membuatnya terbilang cukup terlambat beranjak ke masjid. Beruntungnya kalau jarak antara rumah dengan masjid tidaklah terlalu jauh, agaknya.

Tidak pula berlama-lama, untuk menghargai teriakan temannya tadi, iapun mencukupkan mandinya. Temannya itu rupanya sudah menunggu-nunggu dari dekat pintu, kelihatan sepintas mengerang-erang seraya mencekik-cekik perutnya. Bagai maling lari terbirit-birit yang takut oleh namanya dipanggil-panggil, ia langsung melompat menubruk pintu yang baru sedikit saja ia membukanya. Dengan cepat-cepat pula temannya itu ambil alih giliran masuk kamar mandi.

Akhirnya dia berwudhu’ sejurus kemudian setelah menggosok gigi dan mencuci muka yang terpaksa dilakukannya di wastafel dapur. Sekedar antisipasi saja kalau-kalau berwudhu’ setelah rambut tersisir dengan rapi, nanti-nanti stelan rambut yang sudah dilumuri minyak Jhony Andrean akan menjadi luntur, apabila terkena air lagi. Maksud hatinya supaya dapatlah bergegas langsung berangkat ke masjid, tanpa harus direpotkan dengan berwudhu atau menyisir-nyisir rambut.

“Setiap musibah adalah sebuah ujian bagi kaum muslim, bagi sekalian kaum mukminin. Berbeda halnya dengan ummat yang lain, bahwa musibah adalah azab dunia bagi mereka!” Tepat setelah mengambil duduk didekat pintu arah utara, sang pengkhutbah terdengar intonasinya seperti tiba-tiba meninggi dan tiba-tiba pula merendah. Apabila suaranya ditinggikan persis seperti orang yang tengah murka-murka bunyinya, akan tetapi apabila suaranya merendah laksana orang berbelas-belas melembut bunyinya. Ya, kenapa ia jadi teringat dengan yang diceritakan Achdiat K Mihardja dalam Novelnya yang berjudul “atheis” yang baru-baru ini selesai dibacanya. Orang Atheis berpendapat bahwa musibah itu adalah sebuah penderitaan yang disebabkan oleh kemalasan manusia sendiri. Sedangkan karena kemalasannya itu, ia lalu berkhayal kalau-kalau ada kekuatan gaib yang dianggap dapat membantu penderitaannya, itulah yang membuat orang akhirnya menjadi percaya kepada Tuhan. Sehingga “Tuhan” bentukan dari kreasi khayalnya itupula yang semakin membelenggu dirinya menjadi malas tidak mau mempergunakan otaknya untuk berfikir. Seiring dengan kemajuan berfikirnya manusia yang ditandai oleh berbagai produk tekhnologi yang membuat kehidupan manusia semakin mapan, seiring itu pula Tuhan akan segera ditanggalkan.” Demikian ceritanya menggambarkan tentang kisah orang-orang atheis, yang tiada percaya sama sekali akan adanya Tuhan.

“Saya bukanlah orang atheis” akunya dalam hati mencoba menenangkan diri. “Saya percaya akan adanya Tuhan, malah dalam firmanNya, Ia menyuruh kita mempergunakan akal untuk berfikir tentang ciptaan-ciptaanNya.”

Sembari mendengarkan khutbah, dia mengawasi keadaan sekitar orang-orang yang mungkin sudah terlebih dulu tiba dimasjid dan terlebih dulu pula mendengarkan khutbah. Tergambar dari mereka ada yang mengangguk-anggukkan kepalanya mungkin tanda sepaham, ada pula yang mengangguk-anggukkan kepalanya lebih banyak dari mereka, mungkin saking khusuknya mereka mendengarkan, tapi mereka rupanya lebih tepat dikatakan seperti orang yang tengah nyenyak sekali lelapnya. Goyang-goyang kedepan-kebelakang seperti orang teler habis minum anggur berliter-liter banyaknya, jadi tiada dapat kendalikan dirinya.

Entah apa mungkin pikiran orang-orang ketika melihat dirinya seperti cengar-cengir tak dapat diam, melengak-lengok sudah ke hadap kiri, sebentar-sebentar ke hadap kanan. Pikirannya hanya ingin memastikan tentang seloroh yang berbunyi, bila anda susah tidur lantaran terkena penyakit insomnia, maka cobalah untuk mendengarkan khutbah jum’at niscaya anda akan mendapatkan kantukmu kembali. Mengenai hal itu benar atau tidaknya, setidaknya ia telah menyaksikan sekian banyaknya orang yang tertidur dalam duduknya ketika mendengar khutbah jum’at. Agaknya sebuah hepotesis yang terbukti bila dalam sebuah karya ilmiah, tengah ia saksikan sendiri bukannya dibuat-buat.

“Semua ini adalah milik Allah. Setiap makhluk berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Kekayaan, jabatan, kegantengan………hanyalah titipan bagi kita. Semuanya adalah milik Allah……”

Apatah lagi perhatian dia menjadi terhenti ketika khutbah itu mengatakan bahwa “semua ini adalah milik Allah,” dan semuanya hanyalah titipan bagi kita. Mulai dirinya membenarkan lagak, merapi-rapikan sarung, dan meneguhkan persilaan layaknya orang yang tengah serius mendengarkan wejangan dari sang guru. Namun semakin ia khusukkan diri mendengarnya, seiring itupula semakin suara pengkhutbah mulai samar-samar kedengarannya, sampai hilang tenggelam oleh pikirannya yang terbang kemana-mana. Bak cahaya mentari yang ditelan malam. Dalam perasaannya, ia seakan mengalami dejavu, seperti pernah menjadi topik bincang-bincang pada saat-saat lalu. Ataupun pernah menjadi semacam perkara yang membuat kegalauan ketika saat itu dirinya acapkali berpikir tentang Tuhan.

“Bila semua ini adalah titipan Allah, maka apalah yang menjadi milik manusia? Sebab setiap kekayaan atau apapun itu adalah menjadi perkara titipanNya. Apa maksud perkara adanya pahala dan dosa? Apa maksud perkara beriman dan kafir?…………Bila semua adalah milik Allah, bilapun manusia sendiri adalah milikNya pula, bagaimana dapat menjelaskan perkara ini? apakah dosa akibat kesalahan yang manusia lakukan juga menjadi dosa milikNya?………….. Akankah Tuhan seperti cuci tangan dari perbuatan manusia yang notabene milikNya pula, apabila menyangkut kesalahan? Ah, benarkah Tuhan dapat berbuat kesalahan? Lalu siapakah yang akan menghukumNya bila berbuat kesalahan………….?

Seperti perdebatan mengenai mana telur dengan ayam yang duluan ada. Kusut seperti benang yang teramatlah kusutnya, pikirannya menjadi semakin sukar terurai. Pertanyaan demi pertanyaan terngiang-ngiang silih berganti, bertimbal-timbalan, bersahut-sahutan.
Khutbah jum’at yang tengah berlangsung itu, terus berjalan tanpa ia tekuni lagi. Perhatiannya sudah tidak tertarik untuk mendengarnya kembali. Seolah ia tidak sedang berada ditempat, terlempar terbawa keluar oleh lajunya arus pikirannya sendiri. Mengasing ditempat, badan hanya diam mematung.

Lesu rasa hatinya seketika ia kembali membawa diri mendengarkan khutbah itu lagi, namun jemu masih menggerayangi hatinya bila mendapati khutbah masih lagi dengan materi yang sama seperti yang mula-mula membuatnya menjadi resah sendiri, bingung dengan pertanyaan yang mungkin timbul oleh keterjangkauan akalnya yang masih terbatas ataupun mungkinpula oleh dirinya yang terlalu kritis, serba terbiasa dengan setting dialogis bukan monologis seperti saat ini, yang tidak memberikanya kesempatan bertanya ketika masih ada yang belum jelas dari isi materi. Keseringan kalau khutbah jum’at yang ia ikuti selama ini, seakan-akan tiada pernah perdulikan so’al-so’al hatinya yang muncul olehnya sendiri.

“Apakah ada ruang kosong bagi manusia untuk melaksanakan kebebasannya, mempergunakan kebebasannya sehingga mendapat pahala atau dosa, baik atau benar, kafir atau tidak, sehingga teritung masuk surga atau masuk neraka. Bukankah bila segala adalah kepunyaan Allah, bukanka berarti pahala dan dosa pun kepunyaan Allah pula? Sehingga tiadalah perkara siksaan atas perbuatan manusia……” Pertanyaan demi pertanyaan serasa baku hantam ngelantur berbenturan, tak keruan, meniru orang-orang yang tertidur duduk itu yang tiada tentu keadaannya. Disebut mau terjatuh karena kelihatan lenggak-lenggok badannya, tidak pula karena masih dalam posisi duduknya semula.

Kedua tangannya menjambak rambut tepat yang tumbuh di ubun-ubunnya, lalu dengan pelan-pelan tapi cukup keras. Bagai khendak merapatkan kembali rasa kepalanya yang sudah seperti retak, nyaris remuk redam berantakan karena pertanyaan-pertanyaan yang tiada berjawaban.

“Bila Allah dekat di urat leher seperti Ia berfirman, lalu kenapa manusia harus mendekatkan diri kepadaNya yang memang sudah dekat?

“Bila itu juga akan berarti Allah dapat pula menjadi jauh dari manusia, bukankah “jauh” menjadi pertanda akan adanya sebuah jarak?……. Jarak yang berarti adanya ruang kosong antara manusia denganNya……. Bukankah kekosongan itu menyisakan ketidakhadiran Allah sendiri didalamnya…………. mungkinkah? Dengan demikian, Allah menjadi bertentangan dengan sifatNya yang Maha Besar, yang berarti melampaui segala-galanya selain oleh sifatNya yang memang Maha Kuasa? Sehingga ada pula yang sampai berani berpendapat kalau-kalau Allah sendiri ada di dalam kotoran sapi oleh karena memang sifatNya sendiri yang melampaui segala. Bukankah demikian? Ia seperti sedang berdialog, bertanya-menjawab dengan so’al-so’al yang muncul, tapi dengan sendiri cuma.

Dia kaku dalam duduk silanya. Seakan sesak rasanya didadanya yang dibikin oleh pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Sesal pun muncul lantaran khutbah jum’at serasa teramat panjang tak berpenghujung, namun tiada tuntas penjelasannya. Waktu berjalan bagai siput disawah, membuat khutbah seperti tiada cukup mendalam uraiannya menurut penilaiannya. Sesekali kepalanya ia naikkan agak mendongak menatap si pengkutbah. Masih saja dengan intonasinya seperti orang yang teramat marahnya apabila suaranya meninggi, dan terdengar membelas-belas apabila suaranya merendah. Sesekali terlihat mengangkat-angkat tangan kanannya, kadang dengan sedikit terkepal ia junjung-junjung keatas melampaui kepalanya, kadang-kadang pula tangannya mengayun-ayun dari samping kiri ke sebelah kanan, bolak-balik beberapa kali saja, persis isyarat tangan yang berarti penolakan. Hati kecilnya pun tiada dapat ditutupi, diam-diam berujar seraya berharap khutbah segera diakhirinya pula.

Dia ingin rasanya cepat-cepat mendapat jawaban atas setiap pertanyaan-pertanyaan itu, seperti cepat-cepatnya rasa inginnya selesai mandi sebelum berangkat jum’atan tadi. Terpikirpula olehnya tentang buku-buku yang ia punyai di rumah, ingin segera dibaca-baca, terbayang-bayang rupa teman-temannya yang ia anggap akan dapatlah rasanya membantu memberikan penjelasan tentang so’al-so’al hatinya. Teringatlah ia tentang pesan bundanya yang jauh di kampung halamannya, yang selalu berseru dengan kasihnya agar ia sering-sering ingat, sewaktu-waktu dimanapun berada, termasuk di rantau orang tempatnya ia sedang berada saat ini. Sewaktu kecil dulu, ketika ia mendengar pesan itu dari sang bundanya, ia masih belum mengerti apa-apa tentang apa yang dimaksudnya, entah apa yang mesti diingatnya pula.

Sesaat suara pengkhutbah seperti tiba-tiba berhenti, semua orang terlihat bergerak-gerak bangkit dari tempat duduknya, seperti berebutan mengambil posisi baris syaf yang masih kosong, berbondong-bondong maju mengisi tempat yang masih kosong, namun ada pula yang terpaksa berbalik kebelakang lantaran sudah tak muat, ketiadaan tempat lagi. Sembari lantunan iqomah menyusul kemudian yang dikumandangkan muadzin, sebagai pertanda sholat akan segera dimulai. Rupanya dengan tiada ia sadari sendiri, khutbah jum’at segeranya usai, tinggal giliran menunaikan sholat jum’at berjemaah.

Iapun melompat dari tempat duduknya, tiada khendak kehilangan bagian syaf persis di depannya itu. (*)

Catatan: Penulis adalah Aktivis Departemen PB HMI 2013/2015

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com