Kejagung Diminta Serius Usut Dugaan Mark Up Mesin Pencetak Uang di Peruri

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) akhir-akhir ini mengeluh terkait terganggunya supply pencetakan uang baru. Hal itu karena rusaknya mesin pencetak uang rupiah di PT Peruri, perusahaan pencetak uang rupiah. Diduga, mesin cetak uang yang dibeli dari perusahaan Jepang dengan merk Komori itu tidak sesuai dengan speck uang rupiah Indonesia.  Sehingga menguatkan dugaan adanya mark up anggaran dalam pengadaan mesin negeri sakura tersebut.

“Berdasarkan hasil audit BPK juga ditemukan kejanggalan di dalam pengadaan mesin cetak uang. Hal itu sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai masukan bagi KPK atau Kejaksaan untuk menyidiki adanya dugaan mark up pengadaan mesin cetak uang Komori Walaupun harga belinya lebih murah dari merek KBA buatan Swiss,” kata pengamat dar Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Widodo Tri Sektianto, Kamis (26/03/2015)

Sebagaimana diketahui, mesin cetak uang merk Komori sendiri merupakan mesin cetak uang yang baru pertama kali digunakan oleh Peruri. Sebelumnya, Peruri selalu mengunakan mesin cetak uang merk KBA buatan Swiss yang lebih banyak populasinya di dunia dan banyak digunakan di hampir 90 persen negara didunia

Sebelum tahun 2007 Peruri Sudah memilih Mesin KBA Giori sebagai mesin pencetak uang rupiah. “Beberapa negara juga mengaku tidak puas dengan meskin cetak dari Jepang, Komori. Saat ditanyakan apakah mereka akan membeli lagi mesin Komori, mereka menjawab tidak. Jadi mereka tidak mau menambah mesin seperti itu lagi dan hal ini menjadi referensi Peruri dan masalah kompabilitaspun dan Performance serta Produktivitas jadi pertimbangan dalam memilih KBA dibandingkan Komori. Selain itu juga waktu pengiriman mesin KBA lebih cepat dibandingkan Komori  walaupun harganya lebih mahal,” katanya.

Adanya kerusakan yang kemudian meyebabkan ketersediaan peredaran uang rupiah di dalam negeri tergangu, menurut Widodo makin memperkuat adanya dugaan ketidakberesan dalam pengadaan mesin tersebut, dan itu bisa meyebabkan deflasi sehingga kontraksi dari persediaan uang akan membuat berkurangnya kecepatan perputaran uang, lalu jumlah transaksi akan menurun dan jatuhnya harga barang dan jasa secara umum.

“Jika hal ini terjadi maka dampaknya terhadap Ekonomi nasional akan membuat daya tarik investasi didalam negeri menurun dan hengkangnya investasi yang sudah ada dari dalam negeri bisa meyebabkan PHK besar besaran,” papar pria yang juga Wakil Ketua Umum FSP-BUMN-B itu.

Ia menambahkan, berkurangnya peredaran uang juga dapat menyebabkan menurunnya persediaan uang di masyarakat dan akan menyebabkan depresi besar seperti yang dialami Amerika dulu, dan juga akan membuat pasar Investasi (saham) akan mengalami kekacauan.

“Dikarenakan harga barang mengalami penurunan, konsumen memiliki kemungkinan untuk menunda belanja mereka lebih lama lagi dengan harapan harga barang akan turun lebih jauh. Akibatnya aktivitas ekonomi akan melambat dan memberikan pengaruh pada spiral deflasi (deflationary spiral). Selain itu juga dampak dari berkurangnya peredaran uang akan meyebabkan kenaikan suku bunga bank yang juga akan berpengaruh pada pertumbuhan Ekonomi dan PDB nasional,” pungkasnya.

“Berkurangnya mata uang rupiah juga memberikan dampak pada kenaikan kurs mata uang asing seperti dollar US terhadap rupiah. Jadi statement pejabat BI dan Peruri yang mengatakan masalah kekurangan peredaran uang di suatu negara tidak punya pengaruh terhadal nilai kurs rupiah sebaiknya mereka belajar lagi tentang dasar dasar ekonomi makronya,” timpalnya. (Bah)

Redaktur: Herman Wahyudi

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com