Oleh: Moh. Khudzaifi*
“Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”
Penggalan isi pidato Bung Karno pada tahun 1966 diatas mampu membakar semangat rakyat Indonesia. Seolah-olah Presiden pertama yang gagah dan berwibawa itu tengah berpesan betapa berharganya masa lalu. Bentangan sejarah sekiranya mampu dijadikan cambuk sakti untuk memecut semangat kita dalam mengisi masa kini dan mendatang lebih baik lagi.
Belajar sejarah Indonesia merupakan proses pengenalan akan masa lalu. Bagaimana para pejuang dengan gigih tanpa letih memperjuangkan Indonesia agar terbebas dari belenggu penjajah. Mengusir kolonial yang menanamkan peradaban scularisme dan liberalisme dengan penuh kelicikan, bahkan dipaksakan dengan senjata terhunus kepada rakyat Indonesia selama 350 tahun lamanya.
Semboyan “lebih baik mati syahid daripada hidup hina karena dijajah”, “mundur selangkah melawan penjajah adalah penghianat”, serta teriakan “ALLAHU AKBAR” mampu mengobarkan nasionalis patriotis dalam diri bangsa. Seolah tak ada tempat terindah kecuali “medan peran” bagi mereka. Hingga pada ahirnya ditengah bahana perjuangan, terdengarlah suara gemuruh laksana halilintar ditengah pekatnya malam gulita. Suara itu terdengar dari arah Jakarta titik Pegangsaan Timur 56, dimana Sang Dwi Tunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku ini di uraikan secara singkat riwayat hidup para tokoh dan perjuangannya dalam meraih, mempertahankan hingga mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya. Mulai dari Agus Salim, sang pejuang hak asasi manusia dan hak segala bangsa. Tjokroaminoto, sang ksatria pergerakan yang oleh Bung Karno dijuluki “Singa Podium”, dan darinya Bung Karno belajar ber-orasi yang mampu menghipnotis pendengarnya.
Hadjar Dewantara yang mampu menggerakkan bangsa dengan pendidikan dan kebudayaan hingga dia memperoleh gelar Bapak Pendidikan Nasional. Termasuk Tan Malaka, sang Revolusioner dari Pandang Gadang yang terlupakan.
Sosok Tan Malaka memang tidak sefamiliar Soekarno, Hatta, Sjahrir dan yang lain. Namun gagasan tentang Republik Indonesia mendahului Soekarno dan Hatta. Buku Massa-Actie yang ditulisnya pada tahun 1926 merupakan analisis tajam terhadap revolusi perjuangan politik menuju kemerdekaan bangsa dan tanah air, yang hanya mungkin akan berhasil kalau ada dukungan yang besar dari massa rakyat. Karya terbaiknya juga terbit sebelum kemerdekaan, Madilog; Materialisme, Dialektika, dan Logika yang berisi esensi pemikiran Tan Malaka tentang bangsa dan tanah air.
Harry A. Poeze, seorang sejarawan asal Belanda mengabadikan Tan Malaka lewat tulisan biografinya yang berjudul Pergulatan Menuju Republik. Hingga pada tahun 1949 Tan Malaka mati dengan tragis. Tembak mati oleh tentara Republik Indonesia mengahiri seluruh kisah heroiknya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sampai hari ini tidak seorang pun ada yang tahu dimana jasadnya dikubur.
Riwayat beberapa tokoh dan kiprahnya ditengah gemuruh perjuangan yang diuraikan secara singkat oleh penulis patut kita jadikan sebagai bagian dari sumber motivasi nasionalis pada diri kita generasi penerus perjuangan para pejuang mewujudkan masyarakat adil makmur seiring ridlo Tuhan yang Maha Esa. Meski hanya catatan kecil, namun penulis berharap semoga tulisannya mampu menghadirkan limpahan keteladanan yang menjadi batu pijakan bagi generasi kini untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik dari segala aspek multidimensional.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai para pahlawannya”. Petikan kalimat tersebut mengisyaratkan keharusan generasi penerus bangsa untuk menghargai para pahlawannya. Menghargai pahlawan tidak cukup hanya dengan menghafal nama-namanya saja, atau dengan mendapat nilai ‘A’ pada mata pelajaran sejarah. Menghargai para pahlawan lebih diindikasikan pada kemampuan memahami pemikiran-pemikiran para pahlawan yang telah diwariskan kepada kita. Melestarikan tradisi dan budaya bangsa, meneladaninya serta mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya
Warisan keteladanan para pendahulu merupakan salah satu kata kunci perbaikan bangsa. Keteladanan adalah warisan yang berasal dari adikodrati kehidupan. Untuk itu, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memetik keteladanan para pendahulunya. Bung Karno berpesan “suatu bangsa ibarat hidup dalam kekosongan, jika tanpa sandaran sejarah”.
Sebagai pemuda pelanjut kepemimpinan nasional di masa mendatang harus mampu memahami dan mengambil hikmah atas perjalanan bangsa, serta mampu memetik warisan keteladanan para pejuang. “para pahlawan memang sudah tiada, namu semangatnya akan selalu hidup dalam sanubari kita. Generasi penerus bangsa sehimpun dan secita”.
*Mahasiswa dan aktif di Ketua Training Manajement Institute for Komunitas Bina Insan Cita
DATA BUKU
Judul : MEMETIK KETELADANAN
Penulis : M. Arief Rosyid Hasan
Penerbit : PB HMI Publishing, Jakarta; 2015
Tebal : xii + 112 hlm; 14 x 21 cm
ISBN : 978-602-71768-2-9