Berguru Kepada Soekarno

Oleh: Moh. Husril Mubariq*

Judul: Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar

Penulis: Jonar T.H. Situmorang, M.A.

Tahun Terbit: 2015

Penerbit: AR-RUZZ MEDIA

Tebal: 736 halaman

ISBN: 978-602-313-026-9

 

Berikan aku 1000 anak muda, maka aku akan memindahkan gunung.

Tapi berikan aku 10 pemuda yang cinta akan tanah air

maka aku akan mengguncang dunia.

(Ir. Soekarno)

 

Sosok pahlawan sejati tak akan pernah hilang dalam catatan sejarah. Eksistensi kepahlawanannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Perjuangan seorang pahlawan sungguh teramat mulia. Sebab itulah, kisah-kisah tentang pahlawan selalu menjadi pemacu semangat bangsa untuk melangkah maju mencapai tujuan dan cita-cita hidup; sebagai motivator ampuh bagi siapapun untuk menempati garda terdepan demi kemajuan.

Soekarno. Dia adalah pahlawan di negeri ini. Kisah perjuangan Bung Karno—demikian nama panggilan akrab Soekarno—sebagai Bapak Proklamator sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia menjadi bahan ajar tersendiri dalam setiap jenjang pendidikan. Setiap guru, pada saat memotivasi anak didiknya, sedikit banyak akan menyinggung soal Bung Karno sebagai tokoh fenomenal yang lantang menolak segala bentuk penjajahan. Apalagi, tatkala sang guru menyampaikan tentang kemerdekaan Indonesia kepada murid-muridnya, nama Bung Karno-lah yang akan disebut sebagai pahlawan pemberani yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.

Semangat Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia patut digugu dan ditiru. Sebagai generasi bangsa, sudah seyogianya kita banyak belajar kepada Bung Karno dalam hal keberanian, ketekunan, ketegasan, bahkan tentang pengabdiannya terhadap tanah air. Dari Bung Karno pula, kita bisa belajar memantik api semangat untuk mengobarkan darah juang demi kemajuan negara dan bangsa. Oleh sebab Putra Sang Fajar itu telah lebih dulu berpulang, maka tak perlu khawatir untuk tetap berguru padanya. Kita bisa belajar melalui buku-buku yang di dalamnya menyimpan sosok Bung Karno.

Buku-buku yang membahas tentang Bung Karno sudah banyak bertebaran. Di antaranya, Bung Karno Difitnah karya M. Achadi, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat hasil karya Cindy Adams, Bung Karno The Untold Stories yang ditulis oleh Wijanarko Aditjondro, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kini, juga hadir Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar, sebuah buku yang mengulas prihal Bung Karno sebagai sosok pribadi, pejuang kemerdekaan, pemimpin negara sekaligus pemimpin bagi sanak keluarganya. Buku yang lahir dari tangan Jonar T.H. Situmorang ini merupakan bahan pelengkap dari deretan buku-buku yang mengabadikan Bung Karno sebelumnya.

Buku setebal 736 halaman ini memuat kisah hidup Bung Karno sedari lahir, saat masa-masa usia sekolah, soal darah mudanya, tentang perjuangan dan dunia kepemimpinannya, hingga munculnya tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis. Dari buku ini, kita dapat berguru banyak hal kepada Bung Karno. Misal dalam hal ketekunan dan kesemangatan belajarnya. Jonar T.H. Situmorang menulis, semangat belajar Soekarno patut diacung jempol (hlm. 52). Bung Karo kecil menyukai pengadilan rakyat dari bangsa Yunani kuno. Sebab itulah, tak heran bila seringkali ia membayangkan kembali pemikiran dan pidato yang membuat hatinya membara. Tak jarang, tatkala teman-temannya telah tertidur, ia mengunci kamarnya dan mulai belajar berpidato sendirian (hlm. 53).

Di lain hal, kita akan belajar dari pemikiran Bung Karno tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Sosok yang mendapatkan gelar doktor sebanyak 26 kali itu menyatakan, “Bukannya kita mengharap, yang nasionalis itu berubah paham menjadi Islamis dan Marxis. Bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu” (hlm. 67). Dapat pula kita belajar mengenai pola kepemimpinan Bung Karno. Sebagai presiden, ia bisa membedakan antara tugas pribadi dan tugas sebagai pemimpin negara. Ia dengan tegas membedakan mana yang menjadi urusan keluar dan urusan negara. Bahkan, ketika ia diusir dari istana, Bung Karno tidak mencari kesempatan dengan membawa barang-barang mewah yang ada di istana. Ia hanya membawa kepunyaannya sendiri dan merupakan barang-barang yang sederhana. Hanya bendera pusaka yang diselamatkan. Bahkan, televisi yang ada di sana tidak boleh dibawa oleh anaknya, yang saat itu diinginkan oleh anak-anaknya sebagai hiburan di rumahnya yang baru. Bung Karno tidak menggunakan kesempatan dengan jabatan yang diembannya (hlm. 399). Lalu, kira-kira bagaimana jika kita membandingkan kepemimpinan Bung Karno dengan kondisi kepemimpinan hari ini? Publik lebih tahu akan jawabannya.

Dalam buku ini kita bukan hanya bisa mengambil saripati dari perjalanan hidup Bung Karno. Namun, kita dapat terhibur dan menghilangkan penat dengan kisah-kisah nyata Bung Karno sebagai lelucon dalam hidupnya. Misal, kisah unik saat Bung Hatta yang tak lain adalah Wakil Presiden kecipratan air seni Bung Karno. Hal ini terjadi tatkala mereka terbang dari Vietnam ke Indonesia setelah memenuhi panggilan pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. Kisah lainnya tentang cara Bung Karno memilih BH (Breast Holder) untuk istrinya, Fatmawati, sewaktu di Amerika. “Bolehkah saya lihat salah satu mangkok daging yang terbuat dari satin hitam itu?” (hlm. 169). Tahukah, bahwa “mangkok daging” yang dimaksud Bung Karno adalah BH yang akan ia beli untuk istrinya? Ternyata Bung Karno juga sosok yang humoris. Dan, banyak lagi cerita-cerita lucu Bung Karno yang dimuat dalam buku ini.

Segalanya memang tidak ada yang sempurna. Termasuk juga bagi Jonar T.H. Situmorang dalam menulis buku Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar ini. Dalam buku yang diterbitkan oleh AR-RUZZ MEDIA ini, terdapat beberapa kesalahan pengetikan. Di antaranya, kata “bahwa” yang ditulis secara berulang (hlm. 48), kata “berani-beraninya” yang ditulis “berani-neraninya” (hlm. 59), kata “pengungsian” yang ditulis “pengungisan” (hlm. 73), dan kata “bangunan” yang ditulis “bangunn” (hlm. 97), serta kata “mengandung” yang oleh Jonar T.H. Situmorang ditulis tanpa huruf “u” (hlm. 102).

Kesalahan ketik masih saja terjadi pada lembar-lembar berikutnya dalam buku ini. Seperti kata “terakhir”, Jonar T.H. Situmorang menulisnya dengan “terkahir” (hlm. 132), lalu “Mbok Sarinah” tertulis “mBok Sarinah” (hlm. 394), kata “membuat” Jonar T.H. Situmorang menulisnya dengan “membuah” (hlm. 476), kemudian kata “telah” yang ditulis ganda (hlm. 538), dan juga kata “mewawancarai” yang ditulis “mewawancari” (hlm. 616).

Selain itu, hal ini juga terjadi pada penulisan nama yang di beberapa halaman tertulis Surjadarma, Suriadarma, dan Suryadarma. Demikian sekedar koreksi tentang buku yang proses penulisannya memakan waktu lebih dari satu tahun—sebagaimana disampaikan penulis dalam pengantarnya—ini. Semoga dapat menjadi pertimbangan bagi penulis demi “kesempurnaan” buku Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar, maupun dalam penulisan buku-buku selanjutnya. Sebab, “kesempurnaan” sebuah buku akan mempengaruhi nilai jual buku itu sendiri. Namun, terlepas dari kesalahan ketik oleh penulis dalam menyelesaikan buku ini, satu hal yang perlu dicatat, bahwa menulis biografi dari tokoh dunia laiknya Ir. Soekarno, bukanlah hal yang mudah dan perlu mengorbankan banyak waktu dan pikiran sekaligus biaya yang tidak murah. Terakhir, jangan mengaku cinta tanah air sebelum membaca buku Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar ini. Wallahu A’lamu bi al Shawab!

 

*Kru Duta Santri PPA. Lubangsa Selatan sekaligus Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com