YOGYAKARTA – Sidang kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Yogyakarta tahun 2013 dengan terdakwa kepala Kantor Kesatuan Bangsa (Kesbang) Kota Yogyakarta, Drs. Sukamto memasuki babak baru. Dalam sidang lanjutan Kamis (12/05/2016), Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta majelis Hakim Tipikor Yogyakarta agar menjatuhkan pidana sebagaimana dakwaan primair.
JPU dalam perkara ini menuntut agar majelis memutuskan dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana tersebut dalam pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 uu no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana dakwaan primer.
“Menjatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun dan 6 bulan dengan perintah agar terdakwa segera ditahan. Menjatuhkan denda sebesar Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Mengembalikan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 900 juta, jika terdakwa tidak membayar uang tersebut paling lama selama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa bisa disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terdakwa tidak cukup membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun,” demikian tuntutan yang dibacakan secara bergantian oleh tim JPU yang diketuai Dwi Nurhatni, SH.
Menanggapi tuntutan tersebut, terdakwa, Sukamto menyatakan akan menyampaikan pledoi (pembelaan) dalam sidang pekan depan.
“Saya akan mengajukan pledoi. Yang jelas saya tidak korupsi Rp 800 juta seperti yang dituduhkan Jaksa. Bantuan sampai ke masyarakat sesuai proposal. Terkait dana Rp 100 juta untuk pembelian karpet PPLPD (Pusat Pendidikan Latihan Prestasi Daerah), barangnya juga sudah kami hadirkan di persidangan kemarin (11/05/2015). Artinya saya benar-benar tidak korupsi,” kata Sukamto di muka persidangan didampingi Penasihat Hukum (PH), Eleveniadi, SH.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua tim PH terdakwa, Hartanto, SE, SH, M.Hum yang dalam sidang tuntutan berhalangan hadir, menyayangkan tuntutan jaksa yang mengabaikan fakta-fakta persidangan. Menurutnya, dari keterangan saksi dan bukti di persidangan, kliennya tidak terbukti menggunakan dana hibah.
“Semua saksi penerima hibah Koni untuk kelompok masyarakat sebesar Rp 800 juta, semuanya mengaku tidak ada potongan, sedangkan bukti karpet untuk kegiatan PPLPD juga sudah kami hadirkan ke pengadilan, berikut bukti pembeliannya, jadi terdakwa ini korupsi apa? Tuntutan JPU yang menganggap terdakwa melanggar pasal 2 atau sesuai dakwaannya, jelas mengabaikan fakta-fakta persidangan,” tegas advokat sekaligus Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini.
Fakta persidangan lain yang dinafikkan JPU dalam tuntutan, kata Hartanto, adalah tetap menyebutkan bahwa tiga mata anggaran, yaitu Bantuan Sarana dan Prasarana Olahraga Tersebar se Kota Yogyakarta, Diklat PSSI, dan PPLPD adalah atas permintaan terdakwa.
“Yang benar dan sudah menjadi fakta persidangan, terdakwa hanya mengusulkan, bukan meminta yang bertendensi memaksa. Tentu sebagai Pembina sebagaimana tupoksi beliau sebagai Kepala Kantor Kesbang, tidak menyalahi prosedur. Kan terkait usulan itu KONI sebagai user dana hibah tidak harus menyetujui, kalau kemudian ternyata disetujui, maka secara formal itu jelas menjadi keinginan KONI sendiri. Hanya KONI yang berwenang mengajukan mata-mata anggaran untuk mendapatkan dana hibah dari Pemkot,” tandas Hartanto.
Selain itu, Hartanto juga menilai JPU mengabaikan keterangan para Ahli yang memberikan pendapat di muka persidangan sebelumnya. Diantaranya Ahli Hukum Tata Negara Prof.Dr. Muchsan, SH.MH, Ahli Bahasa Prof. Dr Faruk, dan Ahli Hukum Tata Negara, Kelik Hendro Suryono, SH. M.H.
Dijelaskan Hartanto, dalam pendapatnya dipersidangan, Prof. Muchsan menjelaskan bahwa mengacu hukum tata Negara, Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan (LHP-BPK) hanya merekomendasikan agar Wali Kota memberikan teguran, maka sebelum hal itu dilakukan, seharusnya tidak ada pihak lain yang menghukum.
“Dan jika teguran sudah dilakukan, maka sudah no problem. Prof Muchsan juga berpendapat bahwa tidak ada unsur pidana terkait dengan terdakwa,” pungkasnya. (kt1)
Redaktur: Rudi F