Oleh: Mukharom*
Ummat Islam hari ini sedang bergembira, dikarenakan sendang merayakan hari kemenangan yaitu Idul Fitri, kemenangan dalam arti telah berjuang selama bulan ramadhan untuk menahan makan, minum dan berhubungan suami istri di siang hari, termasuk di dalamnya banyak godaan yang harus dilawan, sehingga puasa kita selama satu bulan penuh dapat terlewati dengan lancar, hal inilah yang perlu disyukuri dan dirayakan. Ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt tersebut diwujudkan dalam bentuk, diantaranya memakai pakaian yang terbaik, makan minum yang halal dan tidak isrof (berlebihan).
Kata idul fitri, merupakan akar kata dari Id yaitu aada-yauudu artinya kembali. Sedangakan Fitri akar kata ifthar artinya buka puasa, berdasar hadits Rasulullah yang artinya “Dari Anas bin Malik: “Tak sekali pun Nabi Muhammad Saw. Pergi untuk shalat pada hari raya idul fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya” (HR. Bukhari). Bagian dari sunah sebelum shalat Idul Fitri makan dan minum walau sedikit,hal ini menunjukan bahwa 1 Syawal telah tiba dan diharamkan berpuasa. Secara lebih dalam memaknai idul fitri dalam konteks ini berarti kembali kepada asal kejadian yang suci yaitu mengikuti petunjuk Islam yang benar. Bagi ummat Islam, bulan ramadhan merupakan bulan suci, mensucikan diri dari dosa, seperti bayi yang baru lahir. Oleh karena itu, dalam konteks hubungan dengan sang pencipta (hablum minallah), dosa-dosa kita telah diampuni. Sedangkan urusan dengan manusia (hablum minannas) harus diselesaikan dengan saling memaafkan atas segala kesalahan dan dosa dengan sesama manusia.
Kitab suci Al Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133 yang artinya “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa ”. dorongan kuat inilah yang membuat ummat Islam dengan bersusah payah menempuh perjalanan ke kampung halaman (mudik), dengan tujuan saling bermaaf-maafan, karena bagi yang berpuasa telah mendapatkan ampunan Allah, sedangkan kesalahan sesama manusia dengan cara bertemu secara langsung guna mengikrarkan kesalahannya dengan saling meminta dimaafkan, caranya adalah dengan bersilaturrahmi ke sanak saudara maupun orang-orang yang secara langsung berhubungan dengan kita.
Silaturahmi bukan merupakan tradisi akan tetapi merupakan bagian dari syariat, hal ini sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw, bahwa silaturrahmi merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir, beliau bersabda “ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahmi ” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). Beliau juga menjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahmi adalah keluasan rizqi dan umur yang panjang, “ Barang siapa menginginkan diluaskan rizqinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik). Motivasi inilah yang menjadi dasar yang senantiasa terjaga setiap lebaran tiba, walaupun disisi yang lain teknologi komunikasi yang semakin canggih memudahkan kita untuk berkomunikasi, akan tetapi secara fisik tidak dapat dilakukan, maka silaturrahmi adalah solusinya yang dianjurkan agama dengan berkunjung secara langsung, bertatap muka, saling memberikan nasihat dan lain sebagainya. Dengan demikian persaudaraan dapat terjalin dengan baik, persatuan pun dapat terwujud.
Semoga momentum Idul Fitri 1440 H bisa kita manfaatkan dengan baik, dengan mempersiapkan secara lahir dan batin untuk beribadah, memupuk silaturrahmi, bekalnya jangan lupa, kesehatannya dijaga dan berdo’a semoga segala dosa diampuni dan kesalahan dimaafkan, dengan begitu berbahagialah bersama keluarga, karena sudah suci lahir dan batin. Taqwa yang sesungguhnya adalah meningkatkn kapasitas diri yang telah dibina selama bulan ramadhan kepada Allah Swt, pasca Idul Fitri seharusnya rimenya sama bahkan lebih meningkat, itu harus kita persiapkan sebagai bekal kita kelak jika dipanggil menghadapNya, bekal iman, ilmu dan amal shaleh yang senantiasa terjaga dan terpelihara, belum terlambat, oleh karena itu, bersemangatlah untuk mengamalkannya. Semoga kita istiqamah dalam kebaikan, sehingga kita pantas disebut sebagai orang muttaqin (hamba yang bertaqwa). Aamiin. (*)
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) dan Mahsiswa Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang