Oleh: Mukharom*
Halal bihalal, sebuah tradisi yang perlu diuri-uri keberlangsungannya, jika kita membuka peta dunia tentang budaya dan pernak-pernik Hari Raya Idul Fitri yang terdapat di lima benua, maka kita akan menemukan local wisdom (kearifan lokal) satu-satunya di dunia, terdapat di benua asia, lebih khusus lagi berada di asia tenggara, yaitu Indonesia. Jadi, tradisi halal bihalal hanya ada di Indonesia, kita patut bangga terhadap para ulama yang telah mencetuskan sebuah kearifan lokal berupa tradisi halal bihalal yang memberikan manfaat bagi keberlangsungan suatu keluarga dan generasinya, sampai pada mewujudkan keutuhan NKRI dam bingkai persatuan dan kesatuan.
Esensi halal bihalal sebenarnya sudah ada, yaitu pada masa KGPAA Mangkunegara I atau sering dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa. Sungkeman istilahnya, caranya mengundang ponggawa dan para prajurit kerajaan untuk bersalaman saling memaafkan dengan raja dan permaisuri, sangat efektif dan efesien. Selanjutnya budaya ini pun dicontoh oleh masyarakat luas. Akan tetapi, khasanah budaya ini belum menyebut istilah halal bihalal. Baru setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1948, bangsa Indonesia dilanda gejala disintegritas. Hal ini diakibatkan para elit politik saling bertengakar, saling menyalahkan dan intinya tidak seiya sekata, sehingga berdampak pada tragedi pemberontakan yang terjadi di mana-mana, contoh DI/TII, PKI Madiun dan lain sebagainya. Keharusan adanya solusi yang progresif guna mengakhiri konflik internal agar tidak berkepanjangan menjadi sangat penting untuk disegerakan dan ditemukan alternatif pemecahan masalahnya. Oleh karena itu, Presiden Soekarno pada waktu itu memanggil salah satu tokoh ulama ke Istana Negara, beliau adalah KH Abdul Wahab Chasbullah, untuk dimintakan saran dan pendapatnya, setelah melihat, mendengar, bahkan mengalaminya sendiri situasi dan kondisi bangsa yang tidak kondusif serta tidak sehat. Peristiwa ini terjadi pada pertengan bulan ramadhan. Singkat cerita sang Kyai memberikan saran agar dibuat forum silaturahmi nasional. Akan tetapi, Presiden Soekarno meminta istilahnya diganti, karena silaturrahmi merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja. Maka, istilahnya diganti menjadi halal bihalal, di dalamnya mengandung maksud yang sederhana tapi maknanya sangat penting dan menginspirasi, dengan keadaan bangsa dan dinamika pada saat itu, elit politik tidak bersatu, dikarenakan saling menyalahkan. Ilustrasi sang Kyai dalam memberikan penjelasan yang masuk akal dan mudah dicerna adalah bahwa di dalam Islam perbuatan saling menyalahkan, menjelekan orang dal lain sebagainya merupakan bagian dari dosa, dosa itu haram, agar tidak terjadi dosa (haram) maka, harus dihalalkan. Kemudian, Presiden Soekarno mengundang seluruh elit politik pada momentum Idul Fitri dengan agenda silaturahmi nasional yang diberi judul utama “halal bihalal”. Forum inilah sebagai cikal bakal dan babak baru rekonsiliasi para tokoh-tokoh bangsa dalam rangka menyusun kekuatan dan persatuan dalam membangun bangsa Indonesia. Silaturrahmi yang dikemas sesuai dengan budaya bangsa berupa halal bihalal hingga saat ini masih berlangsung baik di instansi pemerintah maupun swasta.
Analisis Kyai Wahab tentang halal bihalal merupakan ide yang sangat cemerlang dengan melihat peristiwa kemudian diejawantahkan dalam bentuk edukasi yang sinergi antara budaya dan ajaran Islam itu sendiri. Hal ini dapat kita baca argumen beliau sesuai dengan syariat dalam memaknai halal bihalal. Pertama, (thalabu halal bi thariqin halal) adalah mencari penyelesaian masalah atau atau mencari keharmonisan hubuungan dengan cara mengampuni kesalahan. Kedua, (halal “yujza’u” bi halal) artinya pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. Budaya halal bihalal menjadi salah satu terobosan yang progresif dalam pemecahan masalah bangsa pada saat itu, menarik dan patut diteladani.
Jika kita amati secara luas situasi dan kondisi bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan zaman orde lama pasca kemerdekaan, ancamannya disintegritas, seolah merupakan sebuah siklus. Bedanya adalah ada faktor penyebabnya, orde lama faktornya perbedaan ideologi, sedangkan kondisi saat ini penyebabnya adalah politik yaitu pemilu. Elit politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam polarisasi, baik pada masa kampanye, maupun pasca pemilu 2019 yang sangat terasa dan belum berakhir hingga saat ini. Sungguh sangat melelahkan dan menguras enegi. Hal ini berdampak pada perpecahan persatuan bangsa. Kita disuguhi parade saling caci maki, saling menjatuhkan, saling sikut, semua menganggap paling benar dan hal-hal negatif yang secara emosional sudah di luar nalar dan jati diri bangsa. Kondisi ini harus segera diakhiri karena memecah NKRI, perlu adanya rekonsiliasi nasional, momentum Idul Fitri harus dimanfaatkan selain sebagai forum silaturahmi juga forum mempersatukan bangsa dengan tujuan yang sama yaitu Indonesia adil, maju, makmur dan sentosa. Rekonsiliasi dalam KBBI artinya perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Rekonsiliasi harus diawali dari pusat oleh para elit, baik elit politik maupun para tokoh bangsa. Diawali dengan duduk bersama saling memafkan karena momentum Idul Fitri, bersatu, saling berjabat tangan, berpelukan antar elit dengan tujuan mempererat persatuan, menghilangkan ego sentris dan lain sebagainya, buatlah forum halal bihalal nasional. Harapannya jika elit pusat sudah akur, di daerah pun akan mengikuti.
Rekonsiliasi dapat terwujud jika kepentingan bangsa dan negara lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Semoga hati nurani para elit terbuka lebar, sehingga rakyat menjadi prioritas utama dalam menikmati kesejahteraan. Memaknai halal bihalal menjadi sesuatu hal yang penting jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi saat ini yang butuh solusi kongkrit para elit. Rekonsiliasi merupakan bagian di dalamnya guna mempersatukan, memulihkan dan menyelesaikan perbedaan yang selama ini menjadi akar masalah. Setelah semua dilakukan, mari kita secara bersama-sama menyusun agenda kebangsaan, keumatan dan ukhuwah, baik ukhuwah islamiah maupun ukhuwah wathaniah. Semoga rekonsiliasi bisa segera terwujud. Aamiin (*)
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) dan Mahsiswa Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.