Oleh: Muhammad Ikhsan Hidayat*
Sejarah perkembangan psikologi mencatat bahwa Sigmund Freud dilahirkan di Cekoslowakia pada 6 Mei 1856. Ia adalah bangsa Yahudi yang tinggal berpindah-pindah dari Negara satu ke Negara lain. Di Negara tempat kelahirannya Cekoslowakia, Freud hanya tinggal selama 4 tahun kemudian pindah ke Wina, Austria. Freud mempunyai kebiasaan dari kecil, yaitu gemar sekali membaca kitab Injil.
Perjalanan keilmuan Freud yang kemudian membuatnya dikenal oleh banyak orang dimulai setelah tamat sarjana muda. Freud giat mempelajari kebudayaan dan hubungan antarmanusia di dunia ini. Hal tersebut dikaji oleh Freud dengan sangat detail bahkan ia berani mengungkap keburukan-keburukan selain kebaikan-kebaikan perilaku manusia. Langkah yang telah ditempuh oleh Freud tersebut kemudian diketahui oleh orang banyak dan membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi Freud, yaitu dibenci oleh masyarakat luas pada zamannya.
Meskipun demikian, Freud tampaknya tidak terlalu memperdulikan penentangan dari mereka. Ia tetap konsisten melakukan penyelidikan berkaitan dengan manusia dan kejiwaannya. Hal itu dibuktikan dengan tindakan konkret dalam kehidupannya. Selain mengkaji secara mendalam tentang kebudayaan dan hubungan antarmanusia, Freud mempelajari secara serius dan mengkritisi teori evolusi Darwin.
Kemajuan ilmu pengetahuan ilmiah pada zaman itu tampak begitu pesatnya. Begitu juga dengan ilmu psikologi. Bidang psikologi mengalami revolusi, terutama dalam wawasan kehidupan jiwa dan kepribadian manusia. Hal tersebut berkat rintisan Sigmund Freud seperti diakui oleh banyak orang, seorang dokter sakit jiwa (psikiater) lulusan Universitas di Wina tahun 1881 dengan spesialisasi psikoterapi. Freud sebagai dokter ahli jiwa, sembari bekerja menyusun teori kepribadian dan metode terapi untuk metode penelitian psikologi. Teori terapi tersebut terkenal dengan sebutan analisis asosiasi bebas. Paham Freud selanjutnya disebut psikoanalisis, seperti yang dipelajari oleh banyak orang di zaman sekarang.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia, didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai relisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.
Vergote menyatakan bahwa seluruh agama pasti didasari secara psikologis oleh psikisme manusia yang paling elementer dan fundamental. Dan tidak menjadi agama yang sejati sebelum mengalami bermacam-macam konflik dan ketegangan. Dengan itu orang akan mempunyai keyakinan religious yang mantap dan matang.
“Agama bersifat komuniter.” Maka dari itu agama harus mempersatukan manusia dalam suatu persaudaraan. Orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik bila ia sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin menghadap Tuhan sendirian. Oleh karena itu kepekaan seseorang terhadap kepentingan komunitas merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap beragama seseorang.
Sigmund Freud menyatakan bahwa agama adalah ilusi, neurosis, menghalangi pemikiran kritis dan pemenuhan sikap kekanak-kanakan. Ia memandang bahwa agama adalah sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini menilik dari arti nama psikoanalisis itu sendiri yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Lebih jauh lagi Freud dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang negatif dan neurotis (sakit saraf/jiwa) sekaligus agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua faktor yaitu:
Pertama, kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak. Faktor ini lebih banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui orang-orang beragama pada usia dini/kanak-kanak yang menganggap orang tua, terutama bapak yang dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, dan pada akhirnya terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian agama adalah sebuah ilusi menurut Freud.
Kedua, ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit. Tidak dapat kita pungkiri adanya sejumlah aturan-aturan di dalam agama dan upacara-upacara keagamaan lainnya. Maka tidak heran jika Freud memandang agama adalah gejala neurosis atau penyakit jiwa dimana ketika manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang bebas lalu dengan adanya agama manusia menjadi makhluk yang terbatas dengan banyaknya aturan yang harus ditaati di dalam agama. Baginya dengan adanya agama malah akan membatasi manusia untuk bertindak sesuai keinginannya atau dengan kata lain terkekang oleh agama. Maka tidak heran jika hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang oleh aturan agama sedangkan dia sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk hidup bebas.
Agama juga digambarkan berupa kekuatan untuk membela dan bertahan atau mental defense dalam menghadapi segala musibah seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir, penyakit, dan lain sebagainya. Manusia beragama ketika dalam masalah seperti ini dipandang oleh Freud sebagai anak-anak yang kemudian lantas mencari perlindungan kepada bapaknya. Itulah salah satu alasan dari Freud yang memandang bahwa agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakan. (*)
*Penulis adalah Peneliti di Pon Pes Dar al-Qolam Semarang