Peran Aktif Bapas Jogja dalam Diskusi UU SPPA bersama Dinas Sosial Provinsi DIY

YOGYAKARTA – Bertempat di Ruang rapat Dinas Sosial Pemerintah(Pemda) Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY), dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak(UU SPPA), Dinas Sosial Pemda DIY dan Tim Pengawas Pelaksana Undang-undang menggelar diskusi dan tanya jawab dengan menggandeng Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta(Bapas Jogja), Jumat(21/02/2020).

 Dalam pembukaan diskusi Kepala Dinas Sosial Pemda DIY, Untung Sukaryadi mengharapkan masukan, solusi untuk kendala-kendala di lapangan, agar bisa direkomendasikan menjadi perubahan baru.

“UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak(UU Pengadilan Anak) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum(ABH). UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada ABH, harapan pihak kami diskusi dan tanya jawab ini bisa menemukan titik temu yang tepat untuk menyelesaikan masalah di lapangan, termasuk persamaan persepsi demi semata-mata kepentingan untuk anak,”harap nya.

Dalam sambutannya Ketua Tim Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Komisi 3 DPR, Puji Purwanti menuturkan bahwa pihaknya berserta tim melaksanakan tugas fungsi pengawasan dari DPR RI untuk mencari data dan informasi.

“Pihak kami melaksanakan tugas untuk mencari data dan informasi yang selanjutnya ketika sudah lengkap akan dikaji dan disampaikan untuk dievaluasi dan direkomendasikan,” tutur nya.

Diskusi yang dihadiri oleh Bapas Jogja , Ketua Panti Asuhan An-Nur, Kepala Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Remaja(BPRSRS) Yogyakarta, dan beberapa instansi terkait, selain membahas tentang UU SPPA juga membahas Peraturan MAhkamah Agung(Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Bapas Jogja yang diwakili oleh Pembimbing Kemasyarakatan(PK) Muda Sri Akhadiyanti, dalam diskusi menyampaikan tentang tumpang tindihnya aturan antara UU SPPA dan Perma Nomor 4 Tahun 2014.

“Pelaksanaan dilapangan masih terjadi multi tafsir, tentang kewenangan penggunaan Perma hanya untuk Hakim atau bisa oleh Aparat Penegak Hukum(APH) lainnya,”ungkap Yanti.

“Satu lagi yang ingin pihak kami sampaikan yaitu tentang status penitipan ABH di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial(LPKS), hendaknya LPKS lebih jeli dan lebih tegas memastikan ke penyidik, penuntut umum tentang kejelasan status titipan bagi ABH, karena diketahui bahwa status penitipan berarti bahwa putusan dipotong masa penitipan, lain halnya yang terjadi sesungguhnya adalah status ABH di LPKS belum jelas,” tambahnya.

Hal tersebut ditanggapi oleh Pengacara LPA, Pranowo. membenarkan  apa yang disampaikan oleh PK Muda Sri Akhadiyanti, bahwa benar adanya tumpang tindih dalam aturan.

“Tumpang tindih aturan ini memang membuat rumit situasi karena akan menyebabkan gesekan antara APH di lapangan, harapnya perlu segera dikeluarkan peraturan pemerintah agar persepsi yang timbul tidak berbeda,” jelasnya.

hal serupa pun disampaikan oleh ketua LPKS,sutoyo ia mengatakan sepakat bahwa apa yang disampaikan dalam diskusi ini memang yang terjadi dilapangan.

“Persamaan persepsi tentang UU SPPA dan Perma Nomor 4 Tahun 2014 harus mempunyai kejelasan dan kesepakatan anatar APH, selanjutnya kaitan dengan penitipan anak, telah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial(PMK) Nomor 26 Tahun 2018 tentang rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial bagi ABH, menurut pihak kami maka seharusnya ada jangka waktu penitipan sehingga jelas untuk ABH tersebut,” ucap nya.

Diskusi berjalan lancar dan telah disepakati bahwa hasil ini akan dibawa oleh tim pengawas pelaksanaan Undang-Undang ke Komisi 3 DPR RI.

Ditemui seusai melaksanakan rapat internal struktural Bapas Jogja, Kepala Bapas Jogja, Muhammad Ali Syeh Banna menyampaikan bahwa Bapas Jogja mempunyai peran aktif dan penting dalam pendampingan ABH.

“Pelaksanaan UU SPPA maupun Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA pada prinsipnya perlu persamaan persepsi antara APH, dan ini telah sering dilakukan, agar tidak timbul gesekan antara APH yang hasilnya tidak baik untuk kepentingan ABH, semaksimal mungkin apa yang pihak kami lakukan atau APH lakukan tidak mencederai hak anak, harap pihak kami bahwa hasil diskusi ini menjadi rekomendasi untuk dikaji ulang sebagai rekomendasi pelaksanaan untuk semata-mata kepentingan dan hak anak,” pungkas nya.(hen).

Redaktur : Fefin Dwi S

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com