Oleh: Mustari
Tunjuk ajar Melayu dimaksud di sini adalah yang rumusannya terdapat dalam buku Tunjuk Ajar Melayu (TAM) dikumpulkan dan tulis oleh Tenas Effendy, “adalah segala jenis petuah, petunjuk, nasihat, amanah, pengajaran, dan contoh teladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam arti luas. Menurut orang tua-tau Melayu, “tunjuk ajar Melayu adalah segala petuah, amanah, suri tauladan, dan nasihat yang membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhai Allah, yang berkahnya menyelamatkan manusia dalam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat.” (TAM: 7)
Yang disebut tunjuk ajar Melayu// menunjuk dengan ilmu// mengajar dengan guru//. Yang disebut dengan tunjuk ajar Melayu// menunjuk kepada yang perlu// mengajar supaya tahu. (TAM: 7).
Suku-bangsa Melayu merupakan salah satu etnis yang mendiami beberapa wilayah di Indonesia, khsusnya Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Dalam sejarah bahasa Indonesia, etnis Melayu menduduki posisi yang istimewa karena dari bahasa Melayulah asal bahasa Indonesia yang dipakai hingga kini.
Persoalan tunjuk ajar sebenarnya bukan monopoli orang Melayu karena setiap etnis pasti memiliki tunjuk ajar yang bisa disebut sebagai kearifan lokal, seperti pada etnis Bugis yang dikenal memiliki pappaseng (pesan-pesan kearifan) dan lain sebagainya. Namun pada tulisan kali ini, penulis fokus pada TAM. Pertimbangannya: (1) TAM sudah terbukukan dengan rapih dan bisa diakses oleh siapa saja. (2) Bahasa dalam buku TAM mudah difahami dan tidak memerlukan terjemahan khusus, kata per kata.
Seperti disebutkan pada awal tulisan, tunjuk ajar Melayu adalah semacam pedoman hidup bagi orang-orang Melayu. Jika timbul persoalan dalam hidup dan kehidupan, maka sepantasnya merujuk kepadanya untuk mencari penyelesaian atau jalan keluarnya. Pesan-pesannya disampaikan dalam bahasa puitis yang enak dibaca dan didengar karena ada rima-rima tertentu yang teratur pada setiap lariknya.
Supaya Melayu tetap terbilang// tunjuk ajar wajib disandang// petuah amanah wajib dikepagang// adat lembaga wajib dikenang//. Supaya Melayu tetap terpuji// tunjuk dan ajar pemayung diri// bila Melayu tak mau terkeji// tunjuk ajar hendaklah kaji. (TAM: v).
Sayang, tidak banyak orang Melayu yang memiliki dan membaca kitab TAM ini. Lalu di mana kaitan TAM dengan penanggulangan wabah covid-19 yang sedang melanda dunia termasuk di Indonesia dan khususnya di Tanah Melayu? Jika ingin mencari resep obat penyembuh atau vaksin pencegah covid-19 di TAM tentu tidak akan ketemu karena sejatinya pesan-pesan kearifan yang ada dalamnya bukan petunjuk pengobatan apalagi mujarobat. TAM adalah kitab petuah yang sarat dengan pesan-pesan moral.
Covid-19 berdampak, bukan saja pada kesehatan, tetapi juga pada praktek keagamaan, budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Setiap hari kita disuguhi berita-berita dampak covid-19 seperti kematian, karantina, kehilangan pekerjaan, kegiatan ekonomi yang mandeg, penolakan penguburan jenazah terdampak, stigmasisasi pada keluarga terdampak, dan lain sebagainya yang bermuara pada renggangnya kohesi sosial masyarakat. Bagi orang-orang yang arif dan matang emosinya mencoba menggali hikmah di balik musibah ini dengan bersabar dan meregulasi pikiran lalu melakukan hal-hal positif. Sehingga mereka bisa mengubah kondisi yang semula negatif menjadi positif dan berarti bagi kehidupan dan lingkungan.
Tapi bagaimana dengan masyarakat awam yang mudah bingung karena logika saat ini sudah terbali-balik. Dulu, berbidah itu lebih baik di rumah ibadah, sekarang lebih baik di rumah. Dulu besalaman itu baik karena menggugurkan dosa, sekarang bersalaman itu dituduh akan menularkan virus. Dulu bersilaturrahmi itu baik karena mendatangkan rizki, sekarang dilarang bersilaturrahmi karena dicurigai membawa virus. Dulu semua orang diposisikan dalam praduga tak bersalah, sekarang semua orang diduga “bersalah”. Tidak mudah, memang, memahami fenomena jungkir balik ini bagi masyarakat awam. Maka di sinilah TAM akan dikaji dengan harapan memberikan pencerahan.
TAM memuat beberapa bab, salah satunya adalah bab “Petuah Amanah Kesetiakawanan Sosial” yang memuat banyak tunjuk ajar tentang rekatkan masyarakat. Dan menjadi relevan di tengah ancaman retaknya kohensi sosial di saat wabah covid-19 ini. Tentu memerlukan terjemahan untuk penyesuaian inplementasi. Mari simak beberapa petuah dari serangkaian panjang petuah yang ada dalam bab tersebut.
Kalau mengaku saudara// banyaklah petuah dan amanahnya// banyak pula tunjuk ajarnya// banyak pesan yang dibawanya// supaya kekal tali darah// supaya kekal tali saudara// supaya sempurna menjadi manusia. (TAM: 617).
Sejatinya manusia itu bersaudara tanpa pandang bulu, dan jika sudah menngaku saudara maka ada petuah, amanah, tunjuk ajar, dan pesan yang harus disepakati bersama agar tali darah dan tali persaudaraan tidak putus, kemanusiaannya menjadi utuh dan sempurna meski di tengah wabah sekali pun. Apa tanda kemanusiaan yang sempurna?
Kalau sudah mengaku saudara//, tulang urat jangan bekira// makan minum sama menyelera// rugi ditampung laba diterima//. (TAM: 618).
Konsekuensi sebuah persaudaraan adalah hilangnya sekat-sekat untung-rugi dalam hitungan ekonomi.
Ke hulu seaib semalu// ke kuala seadat selembaga// ke laut sama seturut// ke darat sama sepakat// ke tengah seiring langkah// ke tepi seayun kaki// ke bukit sama bersakit// ke lurah sama bersusah//. (TAM: 618).
Jika sudah mengaku saudara, ke manapun arah perjalanan, tetaplah seiring sejalan, sesusah sesenang, seaib semalu, seadat selembaga, seturut sepakat, seiring langkah, seayun kaki, sesakit sesusah. Betapa rekatnya kohesi sosial yang dituntunkan oleh tunjuk ajar Melayu. Di tengah wabah pandemi covid-19 yang melanda dunia, ajaran dalam TAM menjadi sangat relevan untuk diimplementasikan dengan tetap mengikuti protokol pencegahan yang telah digariskan. Dengan demikian kita berparap tidak akan lagi mendengar kasus-kasus penolakan, stigmasisasi, kehilangan pemasukan, dan seterusnya terhadap keluarga terdampak. Maka usaha-usaha untuk merekatkan kembali kohesi masyarakat terdampak seperti yang dilakukan oleh komunitas Kartini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, patut diapresiasi.(*)
*Penulis adalah anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dan dosen tetap pada jurusan BSA Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga.
Sumber rujukan:
Tenas Effendy, 2006. Tunjuk Ajar Melayu (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan Penerbit Adicita).