Cerpen: Esti Yaani
Nama dia Joni Ferari. Dia selalu menyukai namanya yang begitu keren, ditengah teman-temannya yang sekedar Udin, Bayu, Bagas, atau Dimas. Dia selalu menyukai kebebasan yang diberikan orang tuannya, di tengah temannya yang harus kena pukul kalau terlambat pulang. Dan dia selalu menyukai amukan ibunya karena dia percaya itu pertanda sayang dari si ibu.
Dia terlihat sama seperti anak yang lain, ceria, suka bermain sampai tidak kenal waktu, dan pulang jika sudah lapar saja. Aku ingat saat pertama kali dia masuk sekolah, karena ingin duduk paling depan ia berangkat sehabis shalat tahajud. Bukan Subuh lagi. Aku ingat ketika dia jatuh lalu dengan gagahnya bilang “Tidak apa-apa”, padahal di rumah ia menangis dan minta dibawa ke puskesmas. Aku juga ingat betapa manis dia menangis minta pulang, karena takut belajar mengaji dengan pak Ustadz yang katanya galak.
Ini salahku, membawa ia ke dalam masalah yang tidak ia ketahui. Benar, aku masih terlalu naif kala itu, mengikuti ego remajaku yang naik turun dengan begitu mudah. Jika aku diberi tiga permintaan yang pasti akan terwujud, aku akan meminta hidup seribu tahun, agar aku bisa meminta maaf dengan layak kepadanya.
“Selamat pagi Joni, lihat kakak membawa coklat kesukaanmu.” Aku menumpuknya dengan coklat yang kubeli lima bulan lalu.
“Maafkan Kakak, karena baru sempat datang.” Aku tatap ia lamat-lamat, menghela napas panjang sembari berkata pada diri sendiri, ‘bayi dua tahunku cepat sekali tumbuh’.
Aku tidak bisa setiap hari di dekatnya, tapi nenekku bilang Joni adalah anak yang cerdas. Ya, aku dan Joni memutuskan tinggal bersama kakek dan nenek sepuluh tahun lalu. Nenek bilang Joni begitu pandai dalam Matematika dan Seni. Kelas empat SD dia sudah menguasai perhitungan dasar trigonometri dan logaritma, kelas enam SD dia sudah menguasai Matematika Pascal dalam pemrogaman, dan lukisan yang ia buat saat umur enam tahun sudah dipamerkan selama satu minggu di galeri seni. Entah apa yang ia makan selama aku tidak di rumah, tapi dia begitu pandai, bahkan kakek dan nenekku yang merawatnya selama ini masih heran.
“Bagaimana keadaan Joni?”
“Sama saja Nek.”
“Ini bukan salahmu, ini salah Nenek yang tidak bisa mendidik Ibumu dengan benar.” Aku tidak menatap wajah nenekku, tapi suaranya bergetar seperti menahan tangis.
Aku hanya menangis setelah itu, entah nasehat apa yang diberikan nenekku tadi. Aku tidak mendengarkan. Aku sudah memutuskan tidak akan mengingat masa laluku, tapi sepertinya Joni tidak. Mungkin karena dia masih terlalu kecil saat itu, sehingga semua ingatannya begitu menyenangkan. Aku merasa bersalah, tapi aku tidak akan mengalah untuk menyalahkan ayah dan ibuku. Entah benar atau tidak, karena terlalu asyik menagih hak-haknya sebagai orang tua, terkadang mereka lupa akan kewajibannya memberi hak kepada anaknya. Hormati orang tua, turuti perintahnya, dengarkan nasehatnya, seperti kata-kata ajaib yang membuat anak menjadi salah apapun masalahnya. Anak benar? Tidak mungkin.
“Dokter, Dokter!” Aku berteriak sebisaku.
“Adik saya kenapa?”
“Bisa kita bicara sebentar.” Aku tidak suka bahasa wajahnya.
Pukul dua pagi. Udara makin dingin dan rumah terasa makin sepi, bahkan jangkrik yang sedari tadi menemani sudah lelap di dalam mimpi. Aku duduk di teras rumah, ditemani teh yang mungkin sudah dingin dan nenekku yang sudah pulas di kursi. Apa yang harus aku lakukan? Permintaan adikku begitu sulit. Meminta maaf pada orang tuaku.
“Halo.” Aku memutuskan menurunkan egoku.
“Siapa ini? Malam-malam menelepon.” Nada tingginya tidak berubah.
“Ini aku Bu.” Aku mencoba membulatkan kembali niatku. “Aku minta maaf.”
Dia tertawa, “Apa kau anak perempuanku? Apa kepalamu terbentur?”
Aku belum siap mendengar kata-kata kasar yang mungkin mereka lontarkan,“Datanglah ke sini, karena Joni ingin bertemu dengan kalian.” Aku menahan tangisku sebisa mungkin.
“Beri kami uang dulu, baru kami” Aku memutus telponku, aku sudah tidak tahan lagi menahan tangis ini.
Aku menatap gundukan tanah di depanku, sembari menunggu orang-orang berpakaian hitam itu satu persatu pergi. Awan Cumulonimbus datang begitu cepat pagi ini, mungkin sudah tahu ada yang bersedih di sini. Angin datang tidak lama, bersama rintik air yang senang hati membantuku. Membuat hujan bersama hujan kecil yang aku buat. Maafkan aku tidak bisa membantumu, maafkan aku yang tidak pernah merasakan pahitnya hidup sepertimu, maaf karena aku menjadi kakak yang buruk untukmu.
Aku ingat cerita batu bertangkup yang selalu ibuku baca sebelum tidur, dan seingatku hanya cerita itu yang ia bacakan. Mungkin benar gosip yang aku dengar lima bulan lalu, bahwa pamor batu bertangkup sudah turun. Sudah tidak ada lagi ibu yang mau datang berkunjung, meminta uang, makanan, atau pakaian untuk menyenangkan anak-anaknya. Dari gosip yang kudengar, ia sudah lapuk dimakan waktu.
Nama dia Joni Ferari. Dia selalu menyukai namanya yang begitu keren, ditengah teman-temannya yang sekedar Udin, Bayu, Bagas, atau Dimas. Walaupun ibukku tidak sengaja menemukan nama itu di bungkus makanan. Dia selalu menyukai kebebasan yang diberikan orang tuannya, di tengah temannya yang harus kena pukul kalau terlambat pulang. Walaupun sebenarnya, ayah dan ibukku tidak peduli ia akan pulang atau tidak. Dan dia selalu menyukai amukan ibunya karena dia percaya itu pertanda sayang dari si ibu. Walau yang sebenarnya ayah dan ibuku tidak ingin melihatnya berkunjung ke rumah, yang jaraknya lima rumah saja.
Hujan telah berhenti, orang-orang sudah pergi hanya tersisa aku, kakek, dan nenekku. Aroma tanah di pemakaman begitu berbeda, mungkin karena aromannya bercampur dengan bunga yang aku tabur tadi. Mataku sembab dan sedikit kabur karena menagis terlalu lama, aku tidak yakin tapi aku melihat ayah dan ibukku. Dari jauh. Mereka terlihat mengusap pipi mereka beberapa kali. Aku tidak tahu itu benar atau tidak, tapi jika itu benar aku senang. Jika itu tidak benar, aku ingin itu menjadi benar untuk satu kali ini saja. Di tempat peristirahataanya, untuk menyaksikan Joni bahagia di kehidupan ketiganya. (*)
*Penulis adalah penggiat sastra dan budaya tinggal di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pagerbarang, Kabupaten Tegal.