Diversi, Hukum Alternatif Bagi Masa Depan Anak Berkonflik Dengan Hukum

 Oleh:  Sri Akhadiyanti, S.Pd

Dewasa ini banyak sekali tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur, mulai dari tindak pidana ringan maupun berat yang sampai menghilangkan nyawa orang lain. Anak-anak yang telah melakukan tindak pidana ini di dalam Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak kemudian disebut sebagai Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum atau Anak pelaku yaitu anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam undang undang yang khusus mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur yaitu Undang Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,  ada salah satu alternative penyelesaian masalah untuk Anak Berkonflik Dengan Hukum di luar persidangan formal yaitu yang disebut dengan diversi. Hal ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi masa depan Anak Berkonflik Dengan Hukum.

Mungkin banyak masyarakat yang belum tahu tentang diversi, dengan aturan-aturannya. Menurut Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Lalu kalau diversi sebagai alternative pemberian hukuman bagi anak yang berkonflik dengan hukum, pasti masyarakat bertanya-tanya apakah semua tindak pidana bisa diselesaikan melalui langkah diversi? Ada syarat-syarat tertentu sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa perbuatan Anak Berkonflik Dengan Hukum yang bisa dilakukan diversi adalah tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Artinya apabila perbuatan yang dilakukan oleh anak ancaman pidananya 7 tahun ke atas atau sudah pernah mendapatkan penetapan hukum yang syah maka tidak dapat dilakukan diversi, sehingga setiap anak selama hidup hanya  berhak satu kali untuk penyelesaian kasusnya melalui diversi.

Kemudian apa tujuan dari diversi tersebut? Tujuan diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan pelaku, menyelesaikan perkara anak diluar proses persidangan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang Sitemsadilan Pidana Anak.

Lalu bagaimana pelaksanaan dari diversi tersebut? Pelaksanaan Diversi ada 3 tingkatan, mulai dari tingkat penyidikan, kejaksaan, dan pengadilan. Diversi dilaksanakan melalui musyawarah yang dipimpin oleh fasilitator, apabila diversi itu ada pada tingkatan penyidikan maka diversi dipimpin oleh penyidik.  Apabila diversi di tingkat kejaksaan maka sebagai fasilitator nya adalah penuntut umum, dan apabila di pengadilan maka sebagai fasilitatornya ada Hakim.

Dalam setiap tingkatan pelaksanaan diversi tidak bisa terlepas dari peran seorang Petugas Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Yang mana Petugas Pembimbing kemasyarakatan dalam proses diversi tersebut bertugas untuk membuat laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan diversi. Pembimbing Kemasyarakatan juga bertugas sebagai wakil fasilitator yang mendampingi anak pelaku pada saat proses diversi, melakukan pembimbingan terhadap anak manakala kesepakatan diversi mengatakan anak harus dibimbing oleh BAPAS, dan melakukan pengawasan terhadap kesepakatan diversi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan diversi baik penyidik, Jaksa  Penuntut Umum maupun Hakim harus berkoordinasi dengan petugas Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Di dalam proses diversi wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Disamping itu hal penting yang harus diperhatikan dalam proses diversi bahwa di dalam diversi tidak boleh ada pemaksaan khususnya dari pihak korban, sehingga suara hati dari pihak korban harus diperhatikan, apabila pihak korban tidak menyepakati hasil musyawarah diversi maka diversi tersebut dianggap gagal, dan korban tidak bisa dipaksa untuk mau menerima kesepakatan diversi tersebut.

Hal ini sejalan dengan amanat dari Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa kepentingan korban juga harus diperhatikan sehingga diversi tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak korban. Namun ada beberapa jenis tindak pidana yang bisa dilaksanakan tanpa persetujuan pihak korban diantaranya tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban atau tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Setelah proses diversi berlangsung  maka akan tercapai suatu kesepakatan diversi. Adapun kesepakatan diversi tersebut dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial(LPKS) paling lama 3 bulan, dan pelayanan masyarakat. Apabila kesepakatan diversi pihak anak pelaku harus membayar ganti rugi, maka petugas Pembimbing Kemasyarakatan harus mengawasi pelaksanaan pembayaran ganti rugi tersebut. Apabila kesepakatan anak dikembalikan kepada orang tua maka biasanya anak akan menjalani masa pembimbingan di BAPAS selama 3 bulan, dan akan dibimbing oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan. Disamping itu petugas Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pengawasan dari hasil kesepakatan diversi tersebut, misalnya anak harus melakukan pendidikan  pelatihan di LPKS maka Petugas Pembimbing Kemasyarakatan akan mengawasi pelaksanaan pendidikan selama di LPKS.

Namun demikian petugas Pembimbing Kemasyarakatan akan melaksanakan tugas tersebut setelah turun penetapan  diversi dari pengadilan yang akan digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan pembimbingan maupun pengawasan.

Apabila anak tidak melakukan kesepakatan diversi, maka diversi tersebut dianggap gagal, sehingga petugas Pembimbing Kemasyarakatan bertugas membuat laporan sesuai tingkatan diversi, baik di penyidikan, kejaksaan maupun Hakim, dan proses hukum anak tersebut akan dilanjutkan ke proses persidangan formal. Dengan demikian diversi tersebut dikatakan gagal apabila tidak ada kesepakatan pada saat pelaksanaan musyawarah diversi atau anak pelaku tidak melaksanakan kesepakatan diversi tersebut.

Sebagai penutup bahwa dalam pelaksanaan diversi tersebut menggunakan pendekatan restorative justice yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/keluarga pelaku, korban/ keluarga korban dan pihak-pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali ke keadaan semula bukan pembalasan.(*)

 

*Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda yang bertugas di BAPAS Kelas I Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com