Menakar Potensi Dispensasi Nikah Pasca Revisi UU Perkawinan

Oleh : Afif Zakiyudin

Menikah merupakan ketentuan yang diajurkan oleh Rasul Saw dan termasuk dari sunah-nya, secara tegas Rasul Saw menyebutkan bahwa siapa saja yang tidak mengikuti bukan termasuk dari ummatnya. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Islam, tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, sebagaimana tertuang dalam Q.S Ar Rum 21: “Dan diantara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir”.

Diantara tujuan lain dari pernikahan adalah menghindari zina. Seorang laki-laki secara natural akan bangkit hasrat seksualnya seiring dengan sampainya dia pada tahap baligh, baligh dalam fiqih bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi basah (noctural orgasm) yaitu keluarnya cairan semen seorang laki-laki disaat tidur sebagai tanda bahwa ia mulai masuk masa pubertas. Ini menandakan hasrat libido sudah mulai tumbuh Sementara itu, pubertas bagi seorang wanita beberapa diantaranya ditandai dengan tumbuhnya rambut pada area tertentu, perubahan bentuk tubuh dan juga mulai muncul jerawat.

Laki-laki adalah gender manusia yang memiliki sifat agresif dalam hal seks. sedang di sisi lain Islam melarang perbuatan zina. Atas karakter tersebut, Rasululullah menganjurkan anak muda untuk segera menikah, karena pernikahan akan memelihara mata dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina. Rasul Saw, dalam sabdanya : Wahai pemuda, barangsiapa yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena pernikahan itu dapat menutup mata (dari godaan) dan menjaga kemaluan (dari zina). Bagi yang tidak mampu menikah, maka hendaknya berpuasa karena itu adalah obat (penurun syahwat).

Pada akhir hadits yang sama Nabi menekankan bahwa jikalau belum mampu menikah maka dianjurkan untuk berpuasa agar nafsu syahwatnya menurun. Melihat begitu urgennya sebuah pernikahan maka perlu dibuat suatu aturan penegakkannya, sebagai bagian dari cita-cita penegakan hukum yang mengandung maksud menciptakan kondisi kehidupan yang damai, tenteram, dan berkeadilan. Keluhuran cita-cita hukum itu termanifestasi dalam bentuk pemahaman yang menegaskan bahwa pernikahan adalah fitrah manusia.

Betul bahwa tujuan pernikahan tidak semata-semata untuk pengamalan ajaran Rasul Saw, menjaga diri dari perbuatan maksiat, pemenuhan hasrat biologis dan untuk memperoleh keturunan saja namun inti dari semua tujuan itu adalah guna membina rumah tangga yang islami yakni rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Makna Sakinah Ma Waddah Wa Rahmah

Sakinah ma waddah wa rahmah, dalam arti sederhana secara bahasa masing-masing mempunyai arti damai tentram, harapan dan kasih sayang. Sakinah berasal dari kata litaskunu, menurut Ibnu Katsir berarti juga lita’tafu yang artinya saling mengikat hati (Q.S Al Anfal 63), ikatan hati yang dimaksud disini adalah iman, bukan harta, kedudukan apalagi wajah seseorang. Sakinah disebut juga Tadma’inubiha atau merasa tenang dengannya,

Ma waddah, Ibnu Katsir mengartikannya sama dengan al mahabbah (rasa cinta), cinta menjadi hal yang penting dan harus ada dalam pasangan suami istri. Hasan al Basri menyatakan bahwa ma waddah adalah makna kinayah dari nikah yakni jima’ (hubungan) yang merupakan konsekuensi dari sebuah pernikahan. Sebagai metamorfosa dari hubungan suami istri, jika rumah tangga diibaratkan sebagai mesin maka ma waddah adalah penggeraknya. Diantara wujud dari ma waddah adalah dengan saling memberi hadiah, saling mengingat kebaikan, selalu berkomunikasi dan saling terbuka.

Wa rahmah, kata dasarnya adalah rohmah yang artinya kasih sayang. Implementasi dari kasih sayang dalam sebuah rumah tangga adalah saling menjaga, melindungi dan saling membantu memahami hak dan kewajiban masing-masing yang satu diantaranya bagi laki-laki atau suami adalah mencari dan memberi nafkah. Dari sini, bilama digabung arti dari keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah adalah keluarga yang selalu diberikan kedamaian, ketentraman, dengan penuh cinta dan kasih sayang. Makna ini terangkum dalam do’a untuk pengantin yang sering kita baca disetiap kali hadir dalam pernikahan handai taulan yakni “barakallahulaka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair” yang artinya semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.

Hal yang Perlu dipersiapkan dalam Pernikahan

Dalam upaya mewujudkan tujuan pernikahan, tentu memerlukan persiapan dan pemahaman bersama bagi calon suami dan istri dalam hal “ilmu rumah tangga” karena seorang muslim selalu akan mendasari segala aktivitasnya dengan ilmu sehingga ia akan paham pada aturan yang benar dan bisa menempatkan diri pada sikap yang benar, terlebih dalam urusan rumah tangga, urusan yang tidak sesaat melainkan sebuah ikatan suci atau perjanjian agung (mitsaqan ghalidza) antara suami dan istri untuk hidup bersama.

Merujuk hal tersebut, Islam pada hakikatnya menganut dua asas pernikahan yaitu monogami dan lestari. Monogami berarti seorang laki-laki menikah hanya dengan seorang perempuan dan lestari diartikan bahwa setiap pernikahan seorang muslim hendaknya sekali untuk selamanya, dengan kata lain, berpoligami sah-sah saja dan memang diperbolehkan namun syarat dan ketentuan harus betul-betul ditetapkan bagi siapa saja yang hendak berpoligami, pun demikian dengan perceraian tidak dilarang oleh agama namun harus dipastikan bahwa perceraian itu sebagai solusi terakhir penyelesaian problematika rumah tangga.

Dewasa ini, fenomena keretakan rumah tangga atau gagalnya pernikahan secara nyata telah mendistorsi pernikahan kedalam bentuk pengamalan agama secaraartifisial-duniawi pernikahan dimaknai sekedar sebagai “lembaga penyalur” hasrat biologis semata. Banyak pernikahan atau kehidupan rumah tangga di Indonesia berlangsung dibawah mentalitas yang salah (error of mentality), ini disebabkan karena pernikahan tidak lagidibangun di atas sikap yang penuh tanggung jawab.

Sikap bertanggung jawab terkait erat dengan taraf kedewasaan dalam perkembangan kehidupan manusia. Dalam perspektif ilmu hukum, taraf kedewasaan itu dimaknai sebagai parameter yang dapat menyatakan bahwa seseorang telah cakap hukum atau mampu melakukan perbuatan hukum.

Dispensasi Nikah dalam Undang-undang Perkawinan

Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia menunjukkan parameter kedewasaan adalah ketika seseorang telah dipandang mampu untuk menikah dengan alasan bahwa pernikahan merupakan wadah bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk memikul tanggungjawab.Kedewasaan sebagai paramater cakap menikah tampaknya telah memicu lahirnya silang pendapat yang mewujud pada persoalan perlu dan tidaknya usia perkawinan ditentukan. Secara jelas, sebagian isi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur ketentuan usia perkawinan di Indonesia adalah sebagai berikut;

  • Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2).
  • Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita16 tahun (pasal 7 ayat 1).
  • Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada di dalam kekuasaan orang tua (pasal 47ayat 1).
  • Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).

Bagi kebanyakan orang beranggapan bahwa dewasa itu adalah ketika seseorang menginjak pada usia tertentu dan usia 17 tahun seringkali dikaitkan dengan usia dewasa, sehingga ketika sudah berusia 17 tahun diwajibkan untuk memiliki kartu identitas penduduk. Pertanyaannya kemudian, jika usia 17 tahun sudah dianggap dewasa maka usia yang lebih dari itu tentu dianggap lebih dewasa, tapi apakah benar kedewasaan itu identik dengan usia? Karena banyak dilihat orang yang sudah berumur justru bertingkah kekanak-kanakan dan sebaliknya seorang remaja yang masih belasan tahun justru bisa bersikap layaknya orang tua. Sehingga kesimpulannya adalah dewasa bukan soal usia namun tentang bagaimana cara berpikir dan bersikap.

Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terbaru mengalami revisi pada tahun 2019, pada pasal 7 yang semula usia minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita16 tahun kini menjadi 19 tahun bagi kedua belah pihak. Menteri Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat itu, Yohana Yambise mengatakan bahwa revisi dilakukan untuk melindungi hak anak dan terciptanya perkawinan yang sehat dan sejahtera.

Lebih lanjut ahli kedokteran sekaligus Konsultan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Julianto Witjaksono mengatakan bahwa kehamilan diusia dini rentan dengan penyakit dan kelainan karena secara biologis perempuan dibawah usia 20 tahu belum siap sehingga beresiko tinggi bagi ibu dan bayi. Sementara itu Saparinah, Guru Besar Fakultas Psikologi UI mengemukakan bahwa laki-laki dan perempuan yang menikah diusia yang terlalu muda belum memiliki kematangan emosional sehingga percekcokan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga rawan terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan trauma bahkan kematian bagi korban. Sehingga atas dasar itulah kemudian pemerintah berupaya untuk merevisi ketentuan usia dalam UU Perkawinan.

Revisi UU perkawinan utamanya pada ketentuan soal usia, mulanya ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI melalui Ketua Dewan Pimpinan, Amidhan Shaberah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan, ia berpendapat bahwa Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai agama (Islam), sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Amidhan menambahkan, bahwa Islam tidak menetapkan batas usia pernikahan. Islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dalam beberapa tanda yaitu pertama anak perempuan telah berusia 9 tahu atau lebih dan telah haid (mestruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berusia 9 tahun atau lebih dan telah mimpi basah. Ketiga, laki-laki atau perempuan telah mencapai usia 15 tahun tanpa syarat haid dan mimpi basah. Jadi kedewasaan dalam Islam, adalah rentang usia antara 9 sampai dengan 15 tahun sehingga penetapan batas minimal usia menikah 16 tahun bagi perempuan sudah mencerminkan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai Islam.

Melalui perdebatan dan dinamika politik yang ada, pada akhirnya revisi UU Perkawinan disahkan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan kesepakatan bahwa usia miminum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Dalam keterangannya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Totok Daryanto mengemukakan bahwa revisi UU Perkawinan mewajibkan pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang bahayanya perkawinan usia dini ditinjau dari berbagai aspek. Bagi laki-laki dan perempuan yang hendak menikah tapi belum memenuhi syarat umur minimal harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan setempat dan pengajuannya harus disertai alasan kuat dimana pengadilan harus menghadirkan calon laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan.

 Undang-undang Perkawinan memuat aturan dispensasi perkawinan yang berbeda dengan rumusan UU sebelumnya. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Artinya, seseorang boleh menikah diluar ketentuan itu jika dan hanya jika keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilhan lain (ultimum remedium). Dalam UU Perkawinan terbaru “Penyimpangan” dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai. Bagi pemeluk agama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri bagi pemeluk agama lain.

Keadaan “menghendaki” yang dimaksud diatas adalah adanya alasan mendesak atau suatu keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa untuk tetap dilangsungkannya pernikahan tersebut. Alasan-alasan tersebut harus benar-benar dibuktikan dan tidak sekedar klaim. Dalam UU Perkawinan yang baru, telah berusaha mengakomodir dengan keharusan adanya bukti-bukti yang cukup, diantaranya surat keterangan tentang usia kedua mempelai yang masih dibawah ketentuan UU dan surat keterangan tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut mendesak untuk dilakukan. Disamping itu juga, perihal orang tua mempelai jika sebelumnya yang dimintai keterangan oleh hakim hanya terbatas pada pemohon (yang mengajukan dispensasi) pada UU Perkawinan yang baru ini hakim wajib mendengar keterangan kedua mempelai yaitu pemohon dan juga keterangan dari calon besan.

Pernikahan dibawah batas usia bukanlah persoalan sederhana, disatu sisi ius constitum yang berlaku di Indonesia tidak menghendaki adanya pernikahan dibawah usia disisi lain UU juga membuka peluang adanya hal lain diluar itu. Demikian juga dengan Pengadilan Agama, lembaga peradilan yang berwenang dalam perkara dispensais nikah (bagi pemeluk agama Islam) dalam mengadili perkara dispensasi nikah dihadapkan pada pertimbangan dua kemudharatan yang ada yakni mudharat akibat menikah diusia dini dan mudharat jika dispensasinya ditolak.

Dari dua pertimbangan itu, hakim lebih sering mengabulkan permohonan dispensasi nikah dengan menimbang bahwa kemudharatan yang timbul akibat ditolaknya permohonan dispensasi lebih besar dibanding dengan kemudharatan yang terjadi akibat dari pernikahan dibawah usia itu sendiri. Dari permohonan yang ditolak, sangat memungkinkan bisa merusak keturunan (al nasl) dan juga kehormatan (al irdl) kedua calon mempelai.

Untuk itu, dalam legal reasoning-nya hakim dapat memberikan penetapan berdasarkan pada fakta hukum yang ada dengan merujuk keterangan dari orang tua (pemohon dan calon besan), kedua calon mempelai dan saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan. Lebih luas lagi, penetapan hakim juga harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang baik secara syar’i, yuridis, sosiologis dan juga pertimbangan kesehatan.

Jika dikaitkan dengan maqashidu al syariah (tujuan hukum Islam), hemat penulis sebagaimana dikemukan oleh A. Khisni bahwa paling tidak ada tiga hal utama yang harus dipertimbangan dalam menjatuhkan penetapan dispensasi nikah secara berurutan pertimbangan tersebut harus mengacau pada pertama, keselamatan jiwa anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap jiwa (hifzhun al nafs), kelanjutan pendidikan anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap akal (hifzhu al aql) dan keselamatan keturunan yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap keturunan (hifzhu al nasl). (*)

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com