Oleh: Armunanta Dwi Handaka
Publik kerap kali dihadapkan dengan kasus pembunuhan. Seperti kasus pembunuhan yang terjadi di Sumenep, Madura. Diketahui korban (Mulyadi) tewas dengan luka di sekujur tubuhnya akibat sabetan celurit, kapak dan pedang pada 2 Desember 2021. Diduga, pembunuhan terhadap Mulyadi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan asmara yang mana korban menyatakan cinta kepada istri pelaku. Adapun kasus pembunuhan lain yang melibatkan seorang anak dibawah umur. Pembunuhan terjadi pada 16 November 2021 di Pakem Sleman setelah pelaku menyetubuhi korban dengan ancaman senjata tajam, pelaku membunuh korban secara sadis lalu menggeledah saku korban dan mengambil uang yang ada di saku sejumlah Rp. 50.000.
Hal ini tentunya menambah daftar kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, kasus kejahatan pembunuhan pada tahun 2018 sebanyak 1.024 kasus, 2019 sebanyak 964 kasus dan 2020 sebanyak 898 kasus. Walaupun berdasarkan data tersebut menunjukkan penurunan grafik kasus pembunuhan. Namun, hal tersebut masih saja marak terjadi apalagi pada tahun 2021 ini. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari Kepolisian Republik Indonesia Daerah DIY, terjadi peningkatan kasus pembunuhan dari tahun 2017 hingga 2021. Dengan rincian pada 2017 terjadi satu kasus, 2018 terjadi dua kasus, 2019 terjadi empat kasus, 2020 sebanyak tiga belas kasus, dan 2021 sebanyak dua puluh lima kasus.
Pembunuhan dewasa ini marak terjadi karena adanya berbagai faktor seperti faktor ekonomi, percintaan, maupun psikologis. Faktor yang paling mempengaruhi seseorang untuk melakukan pembunuhan adalah faktor psikologis. Seorang manusia menampilkan suatu perilaku selalu didorong karena adanya proses psikologis dalam diri manusia tersebut. Menurut Albert Bandura (1973) perilaku kejahatan manusia merupakan hasil proses belajar psikologis, mekanismenya diperoleh melalui pemaparan perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang disekitarnya dan kemudian terjadi pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan sehingga semakin mendukung orang untuk meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya permasalahan tertentu yang dialami oleh seorang individu dan didukung karena adanya lingkungan seperti media yang selalu memaparkan tindak kriminalitas, keimanan yang kurang stabil, pikiran yang tidak jernih, dan emosi yang tidak terkontrol mengakibatkan seseorang nekat melakukan tindak pidana pembunuhan. Adapun faktor lain yang berhubungan dengan masalah psikologis seorang pelaku pembunuhan adalah adanya masalah interpersonal antara pelaku dengan korban seperti adanya dendam, sakit hati atau sengketa yang akhirnya sulit memberi ruang bagi perbincangan hangat antar manusia.
Diketahui bahwa tindak pembunuhan merupakan salah satu perilaku agresif yang sangat tidak dibenarkan dan menyimpang dari norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pembunuhan sering diartikan sebagai kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam KUHP buku II bab XIX yang terdiri dari 13 Pasal yaitu Pasal 338 sampai Pasal 350. bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi pembunuhan biasa, pembunuhan dengan pemberatan, pembunuhan berencana dan pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas oleh korban sendiri. Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II seperti pembunuhan biasa diancam dengan hukum penjara maksimal 15 tahun, pembunuhan dengan pemberatan diancam hukum penjara seumur hidup atau penjara sementara maksimal 20 tahun, pembunuhan berencana diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara makismal 20 tahun, pembunuhan atas permintaan sendiri bagi orang yang membunuh diancam hukuman penjara maksimal 12 tahun. Adapun untuk anak yang berusia 14 tahun dan dibawah usia 18 tahun berdasarkan UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dalam Pasal 81 Ayat 2 bahwa “ Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Hal ini ditujukan untuk melindungi Hak Asasi Manusia setiap orang dan juga Indonesia adalah negara hukum sehingga segala perbuatan yang melanggar ketentuan hukum Indonesia wajib mendapatkan sanksi secara tegas dan adil.(*)
(*) Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Madya pada Bapas Kelas I Yogyakarta