Analisis Hukum Terhadap Pelaku Usaha yang Menggunakan Permen Sebagai Kembalian Transaksi

Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah S. H*

Permen sering digunakan sebagai alternatif pengganti uang kembalian oleh pelaku usaha dalam bertransaksi, terutama toko kelontong atau minimarket. Mereka berdalih tidak ada uang kembalian sehingga konsumen diberikan tawaran, diganti permen atau kembalian tersebut diamalkan. Perbuatan tersebut terdengar lazim di telinga masyarakat Indonesia yang tidak perlu dirahasiakan.

Tawaran untuk mengganti kembalian (susuk) dengan permen atau disumbangkan merupakan perbuatan yang dapat merugikan konsumen karena pilihan tersebut adalah sepihak atau sebelumnya tidak ada kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Dampak dari kejadian tersebut wajar saja jika ada konsumen yang cemberut, menggerutu, marah-marah, hingga ada yang menolak keras. Langkah tersebut dilakukan karena perbuatan sewenang-wenang pelaku usaha dalam melakukan transaksi.

Sejatinya, di Negara Indonesia yang menganut civil law system tidak memperbolehkan mengganti uang kembalian dengan permen atau diamalkan (disumbangkan) karena terdapat regulasi yang mengaturnya secara normatif. Konsumen ketika membeli (melakukan pembayaran) dengan uang, sudah sepantasnya mendapatkan hal yang sama karena itu bukan barter. Jika ada pelaku usaha yang ingin mengganti dengan permen atau disumbangkan, konsumen dapat menolaknya karena permen bukan alat pembayaran, melainkan barang dagangan.

Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya berhak menerima haknya (pembayaran) berupa uang dan pengembalian juga harus sama, yaitu mata uang rupiah. Ketentuan pasal 21 ayat (1) UU No. 7 tahun 2011 memaparkan bahwa setiap transaksi memiliki tujuan, penyelesaian kewajiban harus dipenuhi dengan uang, dan transaksi dilakukan di wilayah Indonesia. Apabila pembayaran tidak sesuai (dalam hal ini dikasih tawaran diganti permen atau disumbangkan), menurut ketentuan pasal 33 ayat (1) jika melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1) dapat diancam hukuman pidana paling lama satu tahun atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Hukum perlindungan konsumen juga menyoroti kasus ini agar terciptanya keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum demi terciptanya masyarakat adil makmur. Ketika mengalami penyelewengan dari pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajibannya, konsumen dapat mengajukan pengaduan melalui web bpkn.go.id dengan memilih “kirim pengaduan”. Bukan hanya itu, apabila masih kebingungan dapat mengadukan kepada LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) yang biasanya terdapat di kota atau kabupaten di bawah BPKN RI.

Menerima hak (pengembalian) konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha yang harus dijalankan tanpa alasan. Pelaku usaha sesuai ketentuan pasal 15 UU No. 8 tahun 1999 dilarang melakukan transaksi atau menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara memaksa atau cara lain yang menyebabkan gangguan psikis dan fisik pada konsumen. Penawaran untuk mengganti kembalian dengan permen atau diamalkan dapat mempengaruhi psikologi konsumen dalam melakukan transaksi. Namun, jika hal tersebut terjadi (melanggar ketentuan pasal 15 UU Perlindungan Konsumen), pelaku usaha dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah.

Maka dari itu, pelaku usaha ketika melakukan transaksi harus mewaspadai bahwa ada regulasi yang memantaunya agar lebih waspada dan teliti. Konsumen juga demikian, harus cerdas dan menganalisis agar tidak mudah dibohongi pelaku usaha di dalam transaksi karena posisinya yang lemah. Ketika semuanya check and balance dan tidak ada kecurangan, maka ketertiban dan keadilan akan tercapai. (*)

*Penulis adalahKetua Biro Penyuluhan dan Penerangan Hukum DPC PERMAHI Semarang 2020/2022

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com