Menghapus Bayang Bulan Separuh Purnama yang Pongah

Cerita Pendek Oleh: Ja’faruddin. AS*

bulan separuh purnama
ilustrasi bulan separuh purnama. Foto: ist

MALAM menghaparkan diri untuk direbahi mereka yang lelah usai bergelut dengan hidup. Tapi aku masih merunduk sepi, menggelepar dalam jerat kesunyian pekat, bercahayakan bulan separuh purnama.

Dalam terjaga aku tak mampu menembus angin yang bisu. Di ujung mata terlintas tapak-tapak menjauh dari batas nikmatnya mimpi. Seolah-olah sedih memang bagian dari kealpaan yang harus ku tenggak di setiap helaan nafas. Luka demi luka tertancap di hati, mendayu perih.

Aku larut termangu di bayang pongahnya bulan separuh purnama yang terbahak mencibir nasibku.

“Maaf saya tak bisa membantu. Saya sendiri dalam kesusahan,” Kembali ku eja balasan WhatsApp kawan yang dulu selalu ku tarik tangannya ketika terjatuh.

Ku mengaduh lagi pada Yang Maha Mendengar, mengapa semua menjauh ketika aku tak berdaya. Aku masih yakin Dia tak tuli, meski rintihanku seperti catatan yang tak sampai kepada pena. Rangkaian keluh kesahku hanya menjelma serpihan gelisah. Ya, mungkin jumlah dosaku tak lebih sedikit dari bintang yang menaburi langit dan menabir ampunan -Nya.

Aku mencoba meraup kembali peluh yang terlanjur terburai. Sungguh sesal kini telah menjalar, membungkus dan menutup nadi. Ternyata hanya kesia-siaan aku menumpahkan air mata.

Tak ingin lagi aku mencari hikmah  kenapa Dia sematkan hati yang begitu rapuh sebagai pelengkap jiwaku? Semua tanya hanya serupa luka menganga dan lambat laun semakin kering dimakan kejamnya usia.

Tanpa jawab, tiada ada jalan. Hanya ada sepi dan hampa yang tertinggal. Bongkahan-bongkahan khayal yang sempat tersusun, benar-benar urung menjadi pucuk piramida tuk menggapai nyata. Semuanya luluh lantak, sirna tanpa sempat menatap dan berucap selamat tinggal.

“Coba berbenah, renungi apa yang salah pada dirimu, perbaiki, berusaha lagi, jangan menyerah!”

Kadang ada suara yang tiba-tiba mengusik, seperti jarum yang merangsak, membuka selaput dinding kepasrahan. Ada pula gugus-gugus akal budi yang tercetak dari doa-doa parau yang entah dikirimkan siapa . Semua seakan ingin aku menyingkapi tirai yang membendung cahaya. Tapi sayang, aku terlanjur redam dan membeku.

Selalu saja menyeruak ragu, memunculkan bayangan betapa sempitnya gerbang menuju jalan kebahagiaan. Aku merasa betapa suratan hidup ini memang harus didera siksa. Aku tak bisa menjadi tuan atas nasibku.

“Ayo bangkit dan buktikan, kau tak hanya berkata-kata,” dan makhluk tanpa wujud turut menjadi sang bijak.

Suara-suara dari ruang tak berdimensi itu hanya semakin mengoyak batin dan membentuk liang luka mahaluas.

“Cukup! Berhenti! Dan Enyahlah kau!”

Aku menjerit, berteriak mengucap segala umpatan. Suaranya laksana serpih sebuah planet  dari tubuh sebutir bintang, penuh gaung  tiada jeda berguguran di angkasa.

Di setiap malam-malam yang terus menggerogoti usia, aku terus dirundung mahluk-makhluk yang hanya menebar harapan-harapan palsu. Mereka menghanguskan impian, membenamkan jalan yang pernah tergambar dalam samudera mimpi silam.

Tak ada lagi bayangan masa depan gemilang. Semua hanya serupa gumpalan awan panas. Seperti gunung pahala yang diganjar lava penderitaan hingga lebur.

Malam seakan menumpahkan semua arang hitam, sampai merimbun di jantungku, lalu diterjang nyala yang meluapkan bara, ketika mengingat semua kegagalan. Darahku meletup dan pecah lalu memburai disapu kilat halilintar.

Aku enggan bertanya lagi mengapa masih diberi nafas dalam sangkar kegelapan. Kuulurkan indraku pada waktu yang masih berdegup dan tak lagi mencari sisik melik yang teramat pelik. Aku tak ingin lagi berkeringat dingin meratapi nasib, berbaring dan mendelik dalam gelap sembari menangisi dosa-dosa.

Carut marut angan dan nafsu, semua melebur. Tak lagi ada rindu kepada sorot cahaya khayali kemasyhuran. Ya, sebab itu hanya akan melenggangkan seagung bayang yang melintasi layar masanya.  Akan ku kubur dalam-dalam kebanggaan yang terlampau sarat cacat, melupakan catatan para pengingkar. Kusudahi bimbang yang mengombang-ambingkan antara pilihan bertindak atau takluk.

Gelondongan udara perlahan memisahkan pena dari kertasku. Hanya ada sisa ruang untuk satu kata. Ku torehkan titik untuk mengakhiri segala cerita penderitaan ini. Tentu saja, dengan sisa kepasrahan yang terakhir sembari menunggu sang fajar tiba []

*Penulis adalah Jurnalis jogjakartanews.com

 

 

58 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com