Edutek  

Ketika Gelar Sarjana Tak Lagi Istimewa

SUMENEP – Dulu, identitas sebagai penyandang gelar sarjana barangkali merupakan suatu prestasi yang membanggakan bagi siapa saja yang mampu meraihnya. Gelar sarjana, seolah menjadi puncak tertinggi dari sebuah pencapaian.  Alasannya sangat sederhana; tidak semua orang bisa! Sebab, untuk mencapai gelar tersebut, seseorang butuh keberanian, tekad yang kuat, cita-cita yang tinggi, kualitas intelektual yang mumpuni, dan tidak jarang juga ditentukan oleh faktor ekonomi. Bila hal itu tidak ada, maka jangan harap sesorang bisa meraih gelar sarjana dengan begitu mudahnya.

“Dulu kampus itu kan jauh ya, tidak semua daerah ada. Jadi untuk bisa kuliah, mesti keberanian dulu yang dikumpulkan, berani gak mengambil langkah untuk merantau ke daerah dimana kampus yang dituju itu ada,” kata pengamat pendidikan yang juga salah satu pemilik Yayasan TK Dharma Wanita, Sumenep, Sumarlina Ningsih kepada Jogjakartanews.com, Senin (30/03/2015).

\“Jika keberanian itu ada, maka langkah selanjutnya adalah bulatkan tekadnya. Maksudnya, pastikan bahwa tujuannya memang untuk kuliah, menimba ilmu. Jangan sampai sudah nyampe di daerah tujuan, misalnya Jogja ya, tiba-tiba kebawa arus teman-teman yang tidak benar, akhirnya (tujuannya) belok, kuliah berantakan, kan kacau, nah jadi itu,” pungkas Ibu dari tiga anak itu. Menurut perempuan berusia 40 tahun itu, cita-cita juga merupakan faktor penting seseorang memiliki tekad yang kuat. Jika tidak punya cita-cita yang kuat sulit bagi sesorang untuk dapat membulatkan tekad.  

“Intelektual juga harus ada ya, tidak bisa dong kalau intelektualnya tidak mumpuni masuk ke perguruan tinggi, nanti yang ada juga dianya gak lulus-lulus. Terus ekonomi juga penting. Kalau ekonomi lemah, tidak stabil, ini bahaya juga,” katanya lagi.

“Makanya ini kenapa kemudian gelar sarjana pada waktu dulu sangat prestisius. Karena mampu memenuhi dan melewati itu semua dengan penuh perjuangan, tidak semua orang bisa melakukannya. Lah coba lihat sekarang, modal berani sama pegang duit orang tua saja berangkat, meski tekadnya gak kuat, cita-cita tidak ada, intelektual juga gak, asal wisuda, wes kelar. Prestasinya gak ada sama sekali. Atau yang modal ekonominya pas-pasan, gak punya keberanian, tekad juga gak ada, cita-cita apalagi, bisa kuliah juga karena banyak kampus-kampus murah di daerahnya, akhirnya  bisa sarjana juga. Jadi gampang sekali, semua orang bisa,” tambahnya.

“Parahnya, selesai juga karena jasa skripsi. Cumlaude karena ujian sering nyontek. Ini fakta ya, bisa disurvei sendiri. Jika sudah begitu lantas apa arti dari gelar Sarjana? Habis kuliah ujung-ujungnya pengangguran juga,” timpalnya.

Karena itu, dia menyarankan agar kampus lebih ketat lagi dalam melakukan seleksi dan tidak semata-mata mengejar keuntungan dari banyaknya siswa yang bayar SPP. Sebab menurutnya, percuma Indonesia melahirkan banyak gelar sarjana tapi di satu sisi berimbas pada makin banyaknya pengangguran. “Jadi kalau seleksinya ketat, prosesnya perkuliahannya juga ketat, ada persaingan yang ketat disana, ini akan memunculkan motivasi di tingkat pelajar kalau mau kuliah, jadi sarjana, ya harus pintar dan banyak belajar, Sehingga mendapat gelar sarjana benar-benar terasa istimewa,” pungkasnya. (Ian)

Redaktur: Aristanto Z.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com