Menjawab Tantangan Pengawasan Pemilu dengan Kewenangan Baru

Oleh: M. Abdul Karim Mustofa, MSI*

Satu tahun yang lalu, tepatnya 15 Agustus 2018 menjadi hari hari bersejarah bagi Bawaslu dimana tanggal tersebut menjadi momentum bagi 1914 orang dari 514 Kabupaten/Kota dilantik Bawaslu RI sebagai pengawas pemilu (Bawaslu) tingkat kabupaten serentak di seluruh Indonesia. Momentum itu juga memastikan perubahan status panitia pengawas pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota yang sebelumnya berstatus adhoc berubah menjadi permanen, artinya Panwaslu yang semula bekerja hanya setiap tahapan pemilu sekarang berubah menjabat 5 (lima) tahun sekali, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Eksistensi Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu dalam setiap giat pemilu diperkuat oleh  UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), kedudukan dan kewenangan Bawaslu semakin diperkuat serta diperjelas, baik secara kelembagaan maupun secara fungsi dan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Penambahan kewenangan ini dilakukan tentunya dalam rangka menjamin pelaksanaan pemilu dilakukan secara jujur, adil, demokratis dan berkepastian hukum.

Dinamika sejarah pengawas pemilu

Bila kita coba menelisik sejarah pengawas pemilu di Indonesia maka kita bisa membaca sejarah pelaksanaan pemilu pertama kali pada tahun 1955, dimana pada saat itu sama sekali belum mengenal adanya lembaga yang mengurusi pengawasan pemilu. Sejarah singkatnya, keberadaan lembaga pengawas baru ada pada pemilu 1982 yang dilatarbelakangi oleh protes yang dilakukan PPP dan PDI sebagai peserta pemilu saat itu selain Gokar. Protes kedua partai tersebut terkait banyaknya pelanggaran dan manipulasi/kecurangan yang dilakukan oleh petugas pemilu di tahun 1971 dan 1977 yang terjadi secara massif.

Protes kedua partai tersebut akhirnya direspon Pemerintah dan DPR dengan melahirkan gagasan untuk meningkatkan kualitas pemilu tahun 1982 dengan memperbaiki undang-undang. Pemerintah pada akhirnya menyetujui untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Pemerintah juga merencanakan sebuah lembaga baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU) bersama Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslak) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.

Selanjutnya pada masa reformasi tuntutan pembentukan lembaga peneyelenggara pemilu yang mandiri, imparsial dan independen semakin menguat, maka kemudian dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Begitu juga dengan Panwaslak berubah menjadi Panwaslu. Selanjutnya dalam UU 12 Tahun 2003, Panwaslu yang sebagai lembaga adhoc melepaskan diri dari struktur KPU mulai dari tingkat pusat sampai dengan kecamatan. Kemudian lembaga pemilu ini dikuatkan kembali dengan UU nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Baru kemudian dengan terbitnya UU 15 tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu secara tegas lembaga pengawas pemilu dikuatkan dengan dibentuknya lembaga tetap pengawas pemilu di tingkat provinsi dengan nama Bawaslu Provinsi. Dinamika lembaga pengawas pemilu selanjutnya adalah sesuai dengan UU 7 tahun 2017 tentang pemilu dimana lembaga adhoc tersebut menguatkan untuk berubah status dan kewenangan, dari Panwaslu untuk Kabupaten/kota berubah menjadi Bawaslu Kabupaten/kota secara permanen.

Kewenangan baru

Seiring perubahan Panwaslu dari status adhoc ke permanen berimplikasi pada tambahan kewenangan baru bagi Bawaslu. Penguatan peranan Bawaslu diatur dalam Pasal 93 sd 95 UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Dalam salah satu pasal tersebut, wewenang baru Bawaslu antara lain adalah menerima dan memeriksa dugaan pelanggaran serta melakukan investigasi di dalamnya. Selain itu, Bawaslu juga dapat menentukan dugaan dan mengeluarkan putusan terkait pelanggaran yang terjadi dalam pemilu. Jelaslah, bahwa Bawaslu kini bukan sekadar lembaga pengawas tetapi juga lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi peradilan, sehingga tata cara menyelesaikan pelanggaran administrasi pun mengikuti model persidangan.

Kewenangan baru bagi Bawaslu yang lain adalah melakukan proses penyelesaian sengketa Pemilu, kini kewenangan Bawaslu bukan lagi sekedar mengajukan rekomendasi untuk diselesaikan oleh penyelenggara Pemilu, tetapi sudah dapat memutuskan suatu sengketa lewat proses persidangan atau ajudikasi. Tentang penyelesaian sengketa proses pemilu (PSPP) ini sebagaimana yang didefinisikan Pasal 466 UU Pemilu 7 tahun 2017 sebagai sengketa proses yakni sengketa yang terjadi antara calon maupun peserta pemilu dengan keputusan KPU selaku penyelenggara pemilu. Peran Bawaslu dalam kewenangannya  memutuskan PSPP adalah sebagai quasi pengadilan, tentunya berbeda dengan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, kewenangan MK yang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat dalam empat sisi. Pertama, kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, kedua memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan ketiga memutus pembubaran partai politik. Keempat, kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemlu. Dengan begitu, MK tidak berwenang menangani sengketa proses pemilu, sehingga diselesaikanlah oleh Bawaslu berdasarkan UU Pemilu 7 Tahun 2017.

Putusan Sengketa Proses Pemilu di DIY

Putusan Bawaslu menyangkut sengketa proses pemilu 2019 khususnya di DIY yang sudah ditangani oleh Bawaslu Kabupaten/Kota serta Bawaslu DIY hingga pelaksanaan tahapan pemilu 2019  tercatat 11 kasus, ditangani Bawaslu DIY 3 kasus, dan Bawaslu Kabupaten/kota 8 kasus. Dari 11 kasus tersebut terdapat 2 (dua) permohonan sepakat dalam mediasi, 8 (delapan) permohonan tidak sepakat dalam mediasi dan dilanjutkan adjudikasi, 1 permohonan tidak diregister dan putusan Bawaslu yang final dan mengikat serta sudah ditindaklanjuti KPU ada 10 permohonan.

Di luar penanganan dugaaan pelanggaran dan sengketa proses pemilu 2019, Bawaslu DIY selama pelaksanaan tahapan Pemilu 2019 selalu menekankan upaya pencegahan dan mediasi sebagai solusi atas potensi tumbuhnya konflik politik di masyarakat. Bawaslu hadir memainkan peran penting dan eksistensi strategis dalam mengawasi dan mengawal pemilu yang berintegritas, semoga dengan usia 1 (satu) tahun Bawaslu Kabupaten se Indonesia ini mampu menunjukkan kiprahnya dalam mengawal demokratisasi di Indonesia serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu selanjutnya.

 

*Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com