Oleh: Zamzam Afandi Abdillah (Zafad)
Tasawuf merupakan gerakan revolusi mental dan sepiritual dalam Islam. Kelahiranya merupakan reaksi terhadap kehidupan yang sudah terlampau hidonis saat itu. Pada perkembangannya, tasawuf tidak berhenti sebagai praktik ritual yang berkonsentrasi pada penyucian jiwa, pembersihan hati, kesalehan pribadi dan sosial serta secara ketat menggapai akhlaqul karimah, namun ia telah menjadi sistem pengetahuan yang mapan baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Pada fase ini, tasawuf melakukan tugasnya sebagai kritik terhadap tradisi keilmuan dan pemahaman keislaman yang sudah established pada masanya; filsafat, teologi (ilmu kalam) dan fiqh (jurespudensi).
Secara epistemologis, dalam tradisi filsafat dan teologi, akal atau rasio diapandang sebagai instrumen sekaligus sumber pengetahuan, sedangkan pengetahuan fiqh lebih dominan bersumber pada teks (suci). Berbeda dengan ketiga disiplin pengetahuan tersebut,tasawuf menjadikan hati yang kasyf (tersingkapnya tabir penghalang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan) sebagai sumber pengetahuan, tentu melalui proses panjang setelah menempuh jalan kesufian yang berliku. Tasawuf atau tepatnya para pelaku tasawuf (sufi), pada dasarnya tidak mengabaikan akal maupun teks untuk memperoleh pengetahuan, hanya saja mereka memiliki konsep dan pengertiannya sendiri yang berbeda denga para filusuf, teolog dan jurists (fuqaha’). Namun dalam tulisan singkat ini, hanya pemahaman sufi terhadap teks bahasa yang akan dibicarakan.
Bagi sufi, teks bahasa atau bahkan kosa kata sebuah bahasa, tidak saja memiliki makna leksikal, gramatikal maupun makna kontekstual, namun ia memiliki makna yang tak terbatas yang tersembunyi di kedalaman (batin) teks tersebut. Ini sejalan dengan pandangan ontologis mereka yang melihat setiap yang ada (wujūd, being) memiliki dua dimensi; lahir dan batin. Dalam pandangan sufi, bahasa dan komponen pembentuknya; fonem, huruf, kata, frasa, kalimat dan wacana bukan sebatas alat komunikasi, tapi merupakan wujūd atau kāināt (being) yang menyimpan banyak misteri. Kata “S}aum”, misalnya, bagi sufi memiliki dua dimensi; ‘Ibārah (ujaran, expression) dan Ishārah (allusion). ‘Ibārah ialah ujaran yang yang memiliki makna pasti dan tidak memberi celah pemaknaan lain,sedangkan Ishārah ialah ujaran yang tidak memiliki makna pasti tetapi sekedar memberikan signal-signal dan terbuka untuk diberi multi makna. Dalam terminologi fiqh, kata S}aum dimaknai sebagai “menahan diri untuk tidak makan dan minum” mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan syarat dan rukun tertentu yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata puasa. Dalam prespektif fiqh ini, sepanjang syarat dan rukun terpenuhi, puasa tetap dianggap sah meskipun orang yang sedang berpuasa melakukan perbuatan tercela semisal menggunjing, ngrumpi, atau mengeluarkan perkataan yang menyakiti hati orang baik verbal maupu literal, atau bahkan melakukan tindakan kriminal sekalipun. Pengertian seperti inilah oleh para sufi dainggap sebagai pemahaman yang sangat artifisial, baru berhenti pada aspek lahir atau ‘ibārah.
Tidak puas dengan pemahaman yang eksoterik ini, para sufi mencoba memaknai puasa atau S}aum secara lebih dalam lagi. Menggali makna intrinsik, lapisan makna esoteris yang diisyaratkan dalam kata S}aum dengan memuali mendefinisikan puasa menurut mereka. Abd al-Karīm al-Jīlī (767 H/1365 M-832H-1428M) salah seorang sufi besar dari Gilan, Persia, misalnya, mendefinisikan puasa sebagai “menjauhi segala tuntutan atau keinginan setiap pribadi agar ia dapat memiliki atribut s}amadiyah (teguh, luhur, unggul) yang dengannya, al-Haq (Tuhan) termanifestasi pada dirinya. Definisi tersebut menjelaskan bahwa puasa bagi sufi bukan sekedar meninggalkan makan dan minum dalam durasi waktu terntentu yang bersifat bendawi, namun lebih jauh lagi meninggalkan juga segala atribut atau sifat-sifat lain sehingga dalam dirinya hanya tersemat atribut s}amadiyah Tuhan.
Itulah yang mereka sebut dengan puasa batin, bukan sekedar puasa lahir seperti yang dipaparkan oleh al-Qushayri, salah seorang sufi masyhur,penulis kitab al-Rasālah al-Qushayriyah yang banyak menjadi rujukan para sufi lain. Ia membagi puasa dalam dua kategori;1) S}aum z}āhir (puasa lahir) yaitu menahan diri dari semua yang membatalkan puasa disertai niat, dan 2) S}aum bāṭin (puasa batin) yaitu menahan menjaga hati dari segala penyakitnya, menjaga ruh dari semua yang dapat memadamkan sepirit menuju Tuhan, serta menjaga rahasia pengalaman sepiritual agar tidak jatuh pada orang yang bukan ahlinya. Al-Qushayri juga membuat dua kategori puasa; a) S}aum lillāh, b) S}aum billāh. Orang yang menjumpai bulan puasa kemudian ia berpuasa, maka dia disebut puasa lillāh. Orientasi puasanya ialah mencari pahala, sekedar menjalankan kewajiban ibadah, lebih mementingkan aspek lahiriyah, menahan diri dari semua yang membatalkan puasa menurut fiqh. Akhir dari puasanya ialah bila matahari sudah tenggelam. Sedangkan puasa billāh ialah puasanya orang yang dapat merasakan kehadiran Sang Pencipta bulan puasa.Orientasi puasanya ialah agar dapat lebih dekat dengan Tuhan, memperbaiki kemauan, memperhatikan aspek batin, menahan semua yang dapat merusak puasanya karena ada isyarat dari Tuhan. Akhir dari puasanya ialah bila ia telah dapat merasakan kehadiran Tuhan (mushāhadah).
Dengan redaksi yang berbeda namun memiliki subtansi yang sama, juga betitik tolak dari prespektif z}āhir dan bāṭin, Imam al-Ghazālī membagi puasa ke dalam tiga tingkatan; 1)S}aum al-‘Umūm (puasa orang kebanyakan), mengendalikan perut perut dan alat kelamin dari semua keinginan, 2) S}aum al-Khuṣūṣ (puasa kalangan tertentu), mengendalikan indera pendengar, penglihat, mulut, kaki dan anggota tubuh lainnya untuk tidak melakkan perbuatan yang berimplikasi dosa ,3) S}aum Khuṣūṣ al-Khuṣūṣ (puasa golongan sangat terbatas), yaitu puasa hati agar tidak terasuki hal-hal yang hina, pikiran-pikiran keduniawiyan dan megrahakan sepenunya hanya pada Allah.
Demikian, sekilas puasa dalam prespektif tasawuf. Sebuah upaya memaknai dan menjiwai puasa agar seiring dengan harapan Tuhan “la’allakum tattaqūn”, semoga berimplikasi pada sikap taqwa, yakni perlindungan, pemeliharaan, penjagaan diri dari semua hal yang merugikan baik lahir maupun batin. (*)
*Penulis adalah Alumni Pesantren Lirboyo, Staf Pengajar pada Fak.Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta